Mendengar tentang sunat, apa yang kamu rasakan? Ngilu di kemaluan? Ya, sunat atau khitan udah menjadi sebuah tradisi di sebagian wilayah di Indonesia. Bahkan, ajaran Islam mewajibkan mereka yang laki-laki untuk dikhitan sebelum akil balig. Jadi, kamu dan teman-temanmu yang cowok kemungkinan besar udah pernah merasakan pengalaman sensasional yang satu ini di masa kecilnya.
Terus, pengalaman macam apa sih yang sebenarnya cowok-cowok rasakan pada saat disunat? Buat kamu yang pengen tahu atau sekadar mengenang masa lalu, yuk simak artikel ini sampai kelar!
ADVERTISEMENTS
1. Sebuah pertanyaan lugu muncul ketika kecil, saat kamu melihat bentuk penis papamu atau kakak lelakimu untuk pertama kalinya.
“Ih, tit*t Papa kayak kepala triceratops!”
Waktu kecil, kamu mungkin pernah mandi atau ganti baju bareng papa atau kakak lelakimu. Terus, kamu merasa heran karena bentuk penis mereka yang beda denganmu. Tapi, namanya anak kecil, kamu pun melupakan rasa penasaran ini selepas tidur siang.
Untungnya, celetukanmu itu gak dijawab papamu dengan: “Kata Mama, bentuk tit*t papa bagus, kok!”
ADVERTISEMENTS
2. Pertanyaan tentang sunat pun muncul lagi ketika teman-temanmu di kelas mulai sunat satu per satu. Pertanyaan wajib: “Sakit gak?”
Ini biasanya kejadian pas SD. Ketika salah satu temenmu baru sunatan, dia kadang jadi pusat perhatian buat diinterogasi oleh mereka yang belum sunat.
Kamu: “Eh, gimana rasanya? Sakit, gak?”
Teman yang barusan disunat: (Dengan gaya bicara anak kecil) “Ah, gak sakit, kok. Aku ‘kan lakik.”
Kamu: “Coba sini pegang.” (Kamu pun menepuk selangkangannya tanpa dosa.)
Teman yang barusan disunat: (Nangis kejer.)
Akhirnya kamu pun ditegur Pak Guru. “Jangan diulang ya, Bambang. Sakitnya tuh di sini, mBang. DI SINI!” (Nunjuk-nunjuk hatinya yang rapuh karena masih jomblo.)
ADVERTISEMENTS
3. Karena belum bisa membayangkan sunat itu kayak gimana bentuk dan rasanya, kamu pun cuma bisa menebak-nebak sembari bertanya sama papa dan mamamu.
Kamu: “Ma, sunat itu diapain, sih? Emang sakit, ya?
Mama: “Sunat itu… (jelasin panjang lebar, padahal belum pernah sunat.)”
Papa: “Ah Mama tuh teori doang. Sunat itu… dipotong ‘burungnya’! MWA-HAHAHA!”
Kamu pun jadi ngeri sendiri membayangkan “burung” kesayanganmu itu bakal dipenggal gak lama lagi.
ADVERTISEMENTS
4. Ketika satu per satu temanmu mulai disunat, kamu pun makin resah.
Dalam hati, ‘Duh, mampuuus! Bentar lagi giliran gue disunat!’
>,<
ADVERTISEMENTS
5. Akhirnya kamu memberanikan diri mengunjungi teman atau saudaramu yang kebetulan lagi jadi penganten sunat.
Selain menjenguk, kamu juga punya satu niat lagi: survey lapangan! Kamu pengen tahu gimana rasanya disunat, kayak apa bentuknya, dan apa yang kamu dapet dari sana.
Di luar dugaan, temanmu cukup sumringah menikmati pestanya, meski teteup sambil nahan perih. Tapi, kamu tetap ngilu ngelian “bentuk jadi” dari burung temanmu yang terbalut perban.
ADVERTISEMENTS
6. Saat itulah, kalimat paling membuat bergidik anak kecil terlontar dari kerabat sekitar.
“Bambang ‘kan udah gede. Kapan mau disunat?”
Ternyata gak cuma orang-orang dewasa yang stres gara-gara pertanyaan “kapan”: kapan lulus, kapan punya pacar, kapan nikah, kapan punya anak, dan seterusnya. Bocah lelaki juga mengalaminya di usia yang masih sangat muda. Sungguh tega.
7. Setelah ngeles dengan ribuan kata “nanti”, kamu pun sadar mesti menyiapkan diri secepatnya.
Meski masih takut, kamu lebih suka menanggung rasa sakit daripada rasa malu gara-gara belum disunat. Akhirnya kamu pun ngomong sama ortumu:
“Ma, Pa, Bambang siap. Mohon doa restu.”
8. Tekadmu makin kuat karena kamu dikasih iming-iming bernada positif.
Misalnya, kamu diiming-imingi ukuran “burung” yang tambah besar tanpa perlu ke Mak Erot dan duit angpau yang berlimpah dari orang-orang yang menjenguk kamu.
9. Saat hari H, kamu udah merasa santai. Tapi, nyali terbang entah ke mana ketika mantri khitan tiba di rumahmu.
“Hayoo, sunat dulu ya.”
“NOOOOO, AI DON WANNA DAIIIII!”
10. Keadaan diperparah dengan celetukan kakak atau sepupu laki-lakimu yang iseng buat nakut-nakutin.
Kakak cowok: “Mampus lu, sakit banget lho.”
Untungnya bapak mantri khitan menenangkan kamu, “Gak sakit, kok. cuma kayak digigit semut.”
Iya, sakitnya emang cuma kayak digigit semut. Semut rang-rang. Seratus ekor.
11. Kamu gak bisa melakukan hal lain selain pasrah dan berserah pada yang di atas.
Dengan ditunggui kerabat dekatmu yang kuat ngeliat darah, prosesi khitan pun dimulai. Di luar dugaanmu, proses yang paling sakit itu adalah saat mantri menyuntikkan bius lokal ke kemaluanmu yang lunglai. Selebihnya, kamu gak merasakan apa-apa.
12. Buat yang tinggal di kampung, kamu juga mesti rela jika proses sunatanmu jadi tontonan publik.
Beberapa anak sebayamu berusaha ngintip dari balik pintu atau jendela. Duh, tengsin banget kalau ada orang yang kamu taksir di situ!
“Jangan lihat aku! Nanti aku gak bisa menikah!”
13. Setelah proses yang menyakitkan itu selesai, kamu pun mengenakan sarung barumu dengan bangga.
Untungnya, gak ada orang yang bereaksi kayak gini:
“Ciee, tit*t baru! Kenalan dulu sini”
*injak-injak pake sepatu.*
14. Sayangnya, bencana baru datang ketika biusnya ilang…
Itulah hari di mana seorang lelaki begadang semalaman. Untungnya ibu kamu setia mengipasi area genitalmu. Pukpukpuk.
15. Besoknya, pesta sederhana pun digelar buat memamerkan burung barumu. Sekalian menggelar lapak bagi yang mau ngasih angpau dan hadiah.
Lengkap dengan peci, baju koko, serta sarung kebesaran, kamu pun jadi raja sehari dan duduk di singgasana. Kerabat, tetangga dan beberapa temanmu pun berpose dengan tit*t barumu kamu. Gak lupa, mereka juga membawa hadiah atau sekadar uang sumbangan pereda ngilu.
Trik buat ngingatin tamu yang suka ‘lupa’ ngasih duit: pura-pura aja ngitung atau ngibasin duit pas dia mau salam sama kamu.
16. Ngeliat jumlah uang saku dari sumbangan yang kamu terima, kamu pun dengan polosnya berkata:
“Ma, kalau tiap sunatan Bambang dapet duit segini banyak, gak papa deh kalo bulan depan Bambang disunat lagi.”
Maklum, kamu belum begitu paham seberapa penting peran anumu itu buat masa depan.
17. Tapi, kamu juga mesti rela menahan ngilu dan berpantang makanan tertentu selama seminggu.
Sama dokter, eh, mantri, kamu gak diperbolehkan makan telur atau gorengan.
“Tapi, gorengan itu bagian dari hidup aku, Pak!”
18. Ketika penismu berangsur-angsur membaik, kamu pun mencoba melakukan studi banding.
Burungmu udah mulai sembuh, tapi kamu masih merasa aneh aja sama bentuknya. Buat mastiin bentuk penismu yang itu normal, kamu pun mencoba melakukan beberapa studi banding ke teman-temanmu yang udah sunat.
“Eh, aku pengen studi banding, nih. Liat doong…”
Dan kamu pun lega saat tahu bentuk milikmu gak jauh beda dengan milik aku, dia, dan mereka. Fiuuh~
19. Tapi, ngaku deh, sampai sekarang kamu masih percaya bahwa sunat itu berperan dalam perubahan ukuran penismu.
Padahal sunat gak sunat, penis tuh tetep bakal tumbuh seiring perkembangan kita. Diboongin papa kamu tuh. Tapi kamu juga gak masalah sih, toh besar atau enggak, si “adek” tetep jadi kesayangan kamu.
20. Dan kalau diminta buat mengalami rasanya sunat untuk yang kedua kalinya, kita semua akan sepakat menjawab: OGAH!
Kalian—kamu dan burungmu—tumbuh bersama bagai saudara kembar. Kalian saling menyayangi. Jadi jelaslah kalau kamu ogah terjadi apa-apa sama anumu, apalagi merasakan ngilu yang sama di masa kecil untuk yang kedua kalinya!
Nah, itulah sedikit perasaan kaum cowok saat disunat. Buat yang udah sunat, kamu wajib ngeshare artikel ini sebab kita pernah merasakan ngilu yang sama di bawah sana.