Jika mengikuti pemberitaan terkait film-film Indonesia yang rilis beberapa waktu belakangan, maka kalian mestinya sadar bahwasanya mulai berbondong-bondong adanya pejabat-pejabat yang ikut menyumbang komentar terhadap film-film tersebut. Yang paling santer terdengar sih sosok-sosok seperti B. J. Habibie, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Tak jarang mereka diwartakan menghadiri pemutaran karya anak bangsa, yang berlanjut dengan selentingan pujian bernada formal untuk film yang ditonton.
Entah memang sekadar formalitas atau meningkatkan nilai jual film di masyarakat, tim rumah produksi memang pada dasarnya mengundang mereka untuk menghadiri pemutarannya. Kalau diingat-ingat kebanyakan film yang ditawarkan ke para pejabat itu memang yang bertemakan gambaran ideal bangsa. Komentar mereka pun bisa dibilang seragam, tak jauh-jauh dari sanjungan basa-basi seputar cerita atau akting pemainnya.
Padahal, menurut Hipwee–tentu tanpa memaksa kalian berpendapat sama–nggak semua film yang mereka tonton itu layak menerima pujian yang bebas kritikan. Memuji sih boleh, tapi seyogianya tetap ada kritikan juga agar para pegiat sinema bisa terdewasakan dan terbantu mendapatkan masukan untuk membuat karya baru ke depannya. Berikut adalah beberapa contoh film korban strategi penjualan tersebut.
ADVERTISEMENTS
Judulnya 3 Srikandi – 3 atlet panahan wanita Indonesia yang mengharumkan bangsa. Tapi kok isinya cuma drama?
Apresiasi patut diberikan kepada tim rumah produksi Multivision Plus yang berani mengangkat kisah nyata atlet panahan Indonesia menjadi sebuah film. Kabar ini tentu buat kamu berdecak karena jarang sekali ada film yang bercerita tentang olahraga di wilayah panah-memanah, bukan cuma olahraga”se-membumi” bulutangkis atau sepak bola di Indonesia. Kamu pun jadi tahu kalau ternyata olahraga panahan pernah menyumbangkan medali di Olimpiade lho. Selain itu kamu juga sadar terdapat drama politik yang menghiasai dunia olahraga Tanah Air saat itu.
Film bertema olahraga ini memang sarat akan kerja keras dan kegigihan para 3 Srikandi yang diperankan cukup baik oleh 3 aktris Indonesia. Sayangnya, cerita ini jauh lebih menonjolkan drama keluarga dan cinta dibanding hal ihwal olahraga cabang panah itu sendiri. Padahal ini kesempatan emas untuk memperkenalkan cabang olahraga yang antah berantah itu, minimal terkait cara menghitung skor. Saking terpinggirkannya elemen teknis panahan di dalam film ini, alur cerita rasanya tak akan banyak berubah andai olahraga yang dibawa adalah berkuda, lempar lembing atau karambol sekalipun.
Agak geli juga ketika menjelang akhir film terdapat drama saat tokoh yang diperankan Bunga Citra Lestari (BCL) disenggol hingga jatuh oleh lawan dari negara lain. Duh, Gusti sedih sekali rasanya adegan yang lebih pantas ada dalam kisah kompetisi basket atau cheerleader anak SMA di teenlit itu tetap dihadirkan.
Ah ya ada yang tertinggal, backsound yang digunakan juga terlalu mencoba heroik. Beberapa adegan, terutama saat tokoh Donald memutuskan datang ke pusat pelatihan setuju untuk melatih para atlet panahan wanita pun cukup berlebihan dan terkesan terlalu mendramatisir. Yah, lagi-lagi ini memang soal drama.
Tapi jika memang tim rumah produksi ingin membangkitkan kembali jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia, saya pikir mereka cukup berhasil dengan mengangkat kisah atlet panahan ini menjadi sebuah film. Apalagi penanyangannya beberapa hari menjelang hari kemerdekaan Indonesia dan berbarengan dengan perhelatan Olimpiade Rio 2016. Sah-sah saja menambahkan drama agar seru, sayangnya jangan sampai melupakan bahwa ini film bertema olahraga. Takutnya, jiwa nasionalis yang ditanamkan hanya bersifat temporer, palsu, dan sekadar berdasarkan nuansa–seperti halnya muatan drama dan backsound-nya yang terlalu berapi-api– bukan dari logika atau perenungan akan nilai-nilai perjuangan yang nyata.
Ada dua film lagi. Klik Halaman Selanjutnya yak!