Alone Chapter 4 by Arumi E | iilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Alasan pelarian Ernest adalah email misterius yang datang bersama selember potret seorang perempuan.
Sebenarnya email apa yang diterima Ernest? Lalu, siapa sebenarnya perempuan itu?
***
Hujan yang turun tidak terlalu deras, tapi mampu memadamkan api yang membakar beberapa bagian puing pesawat. Aku mengatupkan mulut yang selama hujan sempat kubuka. Kerongkonganku sudah tidak kering lagi. Aku juga berhasil menampung air hujan di potongan benda berbentuk cekung. Air itu akan kusimpan untuk nanti jika aku merasa haus lagi.
Tubuhku lembab dan basah. Aku berharap kalau luka dan kehujanan yang kualami, tidak akan membuatku demam. Aku harus kuat. Aku harus bisa bertahan sampai ada bantuan yang datang
Tangan Ernest patah I Ilustrasi oleh Hipwee
“Tanganmu itu aset, Ernest!”
Peringatan keras itu berkelebat lagi dalam kepalaku. Sejak aku kecil, hingga kini usiaku dua puluh empat tahun,Mama tak bosan mengulang-ulang kalimat itu. Mama selalu memaksakan kehendaknya, tak peduli aku setuju atau tidak.
“Karena itu, jaga tanganmu baik-baik. Kamu nggak perlu melakukan hal lain kecuali berlatih piano,” pesan Mama selanjutnya.
Ketika usiaku sebelas tahun, aku telah mampu memainkan komposisi piano concerto Beethoven #5 hingga mendekati sempurna.
Semuanya dimulai sejak usiaku enam tahun, saat itu aku tertarik melihat piano tua di sudut ruang keluarga. Mama melihatku memainkan piano itu dengan nada hampir tepat walau saat itu aku belum paham komposisi musik apa pun. Mama tercengang tak menyangka. Ia berulang kali memutarkan CD musik klasik, lalu memaksaku mendengarkan dan mempelajarinya. Anehnya, itu bukan hal yang sulit bagiku. Jari jemariku seolah menari dengan sendirinya saat menyentuh tuts-tuts piano itu, aku memainkannya persis seperti yang kudengarkan.
Aku tak paham, dari mana kuperoleh bakat itu. Sejak itu, aku diharuskan rutin berlatih piano setiap hari. Mama lalu mendaftarkan aku dalam berbagai perlombaan memainkan piano concerto. Aku sering menang, hingga mendapatkan beasiswa kuliah di jurusan musik sebuah universitas swasta.
Setelah lulus kuliah musik, resmilah aku menjadi pemain piano profesional. Aku bermain dalam recital piano solo atau bersama pianis lain, juga ikut serta dalam pertunjukan orkestra di dalam dan luar negeri.
Seharusnya aku bangga dengan prestasiku itu. Tetapi tidak, perlahan kegelisahan yang dulu masih samar, semakin kentara sejak beberapa bulan lalu. Aku ingin melakukan hal lain yang lebih kusukai.
Diam-diam aku mulai memahat. Memahat adalah simpul dari segala hasrat dan minatku. Memahat dan bermain piano, dua hal yang saling bertolak belakang. Jari jemari tanganku mulai mengeras. Beberapa kali terluka oleh alat pahat. Jika Mama tahu, pasti marah sekali karena aku telah menyia-nyiakan aset yang menurutnya sangat berharga ini.
Aku tersenyum sinis. Dan lihatlah sekarang, tangan kananku hampir hancur. Ruas-ruas jari manis dan jari tengahku patah. Lemas tak bertenaga. Jika tak segera ditangani, mungkin akan membusuk. Aset berharga ini bukan lagi aset berharga.
Siang tadi aku memutuskan melarikan diri dari konser recital piano soloku yang akan dilaksanakan malam harinya. Entah kepanikan macam apa yang telah aku ciptakan. Aku tak peduli, aku tak mau memikirkan akibat dari perbuatanku ini. Tekadku sudah bulat. Aku harus pergi ke sebuah tempat di Kalimantan Timur untuk menemui seseorang yang telah menitiskan bakat bermusiknya kepadaku. Siapa sangka, pelarianku yang pertama kali ini berakhir di sini. Dalam keadaan yang tidak pernah kubayangkan, apalagi kuharapkan. Tapi tidak, di sini bukan akhir. Aku tak akan menyerah.
Aku mencoba berdiri, tapi … ah, kakiku sakit sekali. Kaki kananku terluka cukup parah. Aku harus mencari sesuatu yang bisa kuikatkan menempel pada kakiku bagian bawah untuk menopang tulang tumit kananku agar tak bergeser lebih parah. Tanganku meraba-raba sekelilingku, mencari benda apa saja yang cukup kuat.
Pandanganku masih belum benar-benar jelas. Ini hutan belantara, sekarang sudah malam, tanpa nyala lampu dan api telah padam, tersisa bara dan asap mengepul yang masih tersisa dari badan pesawat yang terpotong menjadi dua bagian. Sedikit cahaya dari langit masih mencuri-curi kesempatan menelusup di sela dedaunan dan ranting pepohonan.
Tanganku menyentuh sesuatu, agak lunak dan basah. Aku segera membuangnya jauh-jauh. Tanpa melihatnya aku sudah dapat menerka benda apa itu. Potongan tubuh entah siapa.
Tanganku masih mencari-cari, hingga kutemukan sepotong kayu sisa dahan pohon yang patah. Kutempelkan di sisi dalam kakiku, lalu kubebat dengan sobekan kain yang kutemukan di dekatku. Aku tak peduli itu sobekan pakaian siapa. Dalam kondisi seperti ini, aku harus mati rasa.
Kecuali masih sama-sama hidup, aku tak perlu berbelas kasihan kepada makhluk yang sudah mati. Di hutan rimba ini, maka berlakulah hukum rimba, siapa yang kuat, itulah yang bertahan.
Sembari meringis menahan sakit, ingatanku kembali pada email yang kuterima tiga minggu yang lalu. Bukan hanya satu email, tetapi tiga email berturut-turut dikirimkan seminggu sekali dari alamat email yang bernada provokatif, revealedernest@honest.com.
Email pertama dan kedua tidak aku gubris, walau isinya disebut oleh si pengirim sebagai informasi penting tentang siapa aku sebenarnya. Tetapi isi email ketiga yang kuterima seminggu lalu, berhasil mengusik rasa penasaranku.
Kamu nggak merasa heran, kenapa wajahmu berbeda dengan saudara-saudaramu yang lain?
Ernest mendapatkan email misterius berisi potret seorang perempuan I ilustrasi oleh Hipwee
Kalimat tanya dalam email ketiga itu menarik perhatianku. Klise. Persis dalam kisah-kisah sinetron di televisi negeri ini. Tapi pertanyaan itu bukanlah ide baru yang dijejalkan ke kepalaku.
Belasan tahun lalu, aku sudah memikirkannya. Sudah sejak lama aku merasa berbeda dengan anak-anak Mama yang lain.
Aku seorang laki-laki dengan tubuh tinggi tegap proporsional. Kulitku putih. Rambutku hitam lebat. Alisku juga tebal dengan bentuk yang bagus. Kelopak mataku tipis, walau mataku cukup lebar. Sangat berbeda dengan kedua kakak perempuanku. Mereka mirip Mama, tidak tinggi, sedikit gempal, berkulit sawo matang, berkelopak mata lebar.
Sejak aku beranjak remaja, aku sudah merasa hidup di keluarga yang salah. Aku tak tahu di mana Papa. Mama tak pernah bercerita tentang Papa. Bahkan aku belum pernah melihat fotonya. Mungkinkah aku mirip Papa? Hanya itu satu-satunya harapanku.
Segala keresahanku mulai terusik, saat kuterima email itu, disertai sebuah foto seorang perempuan cantik berwajah oriental yang mirip aku. Memandangi wajah perempuan dalam foto itu, seolah mengoyak batinku. Entah sugesti atau bukan, aku merasa seperti memiliki ikatan batin. Foto itu yang membuatku nekat memutuskan meninggalkan recital pianoku dan segera terbang melintasi pulau untuk mengunjungi perempuan itu.
Jika aku bertemu dengannya nanti, banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tentang ayahku, tentang mengapa aku terpisah dengannya, dan ribuan pertanyaan lainnya yang selama bertahun-tahun berkecamuk dalam kepalaku.
Tetapi langkahku terjegal di sini. Di hutan belantara ini. Kucoba menenangkan pikiran dengan kembali berbaring dan memejamkan mata. Membiarkan tubuhku beristirahat. Kuputuskan bergerak lagi esok pagi. Agar bisa kulihat keadaan sekeliling dengan jelas.
Ernest mendengar suara binatang buas di kejauhan I Ilustrasi oleh Hipwee
Aku baru saja terlelap beberapa menit saat telingaku mendengar suara lengkingan halus. Mataku kembali membuka dan waspada. Menyadari ini hutan belantara. Banyak mahluk lain yang tinggal di sini, dan kami telah masuk tanpa izin.
Suara hewan apa tadi? Anjing hutan? Atau makhluk pemangsa lain?