Sosok-sosok mengerikan menghampiri Ernest dan memaksanya untuk pergi bersama mereka. Apa yang harus Ernest lakukan?
***
Aku tak tahu berapa lama aku tidur. Rasanya sudah lama sekali. Tak tahu juga apakah saat ini pagi, siang, atau sore. Tempat ini tetap temaram, walau tampaknya sudah tidak lagi malam. Dedaunan lebat dari pohon-pohon tinggi membuat cahaya matahari tidak leluasa menerobos hingga ke bagian dasar hutan ini.
Aku mulai kesal, mengapa belum ada tanda-tanda tim penyelamat datang? Di zaman serba canggih sekarang ini, harusnya pesawat yang jatuh di mana pun di bumi ini, lebih mudah terdeteksi lokasinya. Ada banyak satelit bertebaran di langit, mana mungkin satu pun tak bisa menemukan titik keberadaan pesawat jatuh ini.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Mereka payah sekali!” umpatku marah pada mereka-mereka yang tidak bisa menemukan aku dengan cepat.
Pesawat komersil itu cukup besar, jalur terbangnya pun jelas. Seharusnya tim pencari bisa menelusuri wilayah yang dilalui pesawat itu.
Sampai kapan aku harus bertahan di sini? Apa mereka mau membiarkan aku di sini selama seminggu? Bagaimana jika aku tak sanggup bertahan … Aku memejamkan mata dan menggeleng. Aku sudah membulatkan tekad, tak akan berpikir buruk, harus tetap optimis. Keyakinan yang akan membuatku bertahan hidup, aku tak boleh menyerah.
Setelah menelan beberapa kunyahan rumput, aku merasa sudah lebih sehat. Aku berusaha mengangkat tubuhku, aku ingin bisa berjalan dan ingin berkeliling, mencari tas apa saja yang tersisa, memeriksa isinya, berharap ada makanan yang bisa kumakan.
Aku meraih patahan dahan pohon yang cukup kokoh. Aku berusaha berdiri, dengan berpegangan pada pohon besar di dekatku. Aku angkat tubuhku pelan-pelan, sementara tangan kananku bertumpu pada patahan dahan yang tadi kuambil.
Perlahan, aku akhirnya bisa berdiri hanya bertumpu dengan kaki kiri, sedangkan kaki kananku tak kuat menjejak. Entah ada patahan di sebelah mana, aku tadi berusaha menapak dengan kaki kanan dan rasanya nyeri sekali.
Dalam posisi berdiri seperti ini, aku melihat sekeliling Lebih jelas sekarang, terlihat keadaan yang kacau balau. Seolah isi seluruh pesawat dituang dari langit berjatuhan ke bumi.
Jasad-jasad yang berserakan sudah tak jelas lagi bentuknya. Beberapa di antaranya perutnya menganga, sepertinya itu yang kemarin disantap anjing-anjing liar, karena perut adalah bagian paling empuk. Aku rasa anjing-anjing yang kemarin datang tak akan kembali ke sini karena jasad-jasad itu sudah mulai membusuk. Tapi aneh, aku tidak mencium aroma busuk. Padahal jasad-jasad itu sudah beberapa hari di sini.
Aku mengalihkan pandangan ke barang-barang yang berserakan. Koper dan tas yang pecah terlempar ke mana-mana. Beberapa isinya berhamburan. Aku melihat satu koper besar, bertumpuk dengan tas-tas. Di sekelilingnya baju-baju berserakan. Jaraknya dari tempatku berdiri hanya beberapa meter. Oh, tentu saja, dalam kondisiku sekarang ini, satu meter pun rasanya jauh sekali. Tapi kali ini aku akan mencoba berjalan ke sana.
Tangan kananku gemetar memegang patahan dahan pohon yang kujadikan tongkat.
Aku angkat kaki kiriku yang kondisinya lebih baik dari kaki kananku, lalu kujejakkan lagi sekitar tiga puluh sentimeter dari posisi semula. Lalu kupindahkan tongkat di tanganku menjadi lebih maju. Perlahan tangan kiriku melepaskan pegangan dari dahan pohon besar. Namun, tubuhku goyah kemudian aku terjatuh. Kaki kananku terasa semakin sakit.
“Aaargh!” teriakku. Aku meringis dengan mata memejam.
Aku tersentak hingga tubuhku jatuh terlentang. Ketika aku membuka mata, aku melihat sosok dengan posisi kepala yang aneh. Wajahnya tak terlihat karena tertutup rambut. Tapi yang membuatku sesak napas, sosok itu berdiri!
Apakah ternyata ada penumpang lain yang juga masih hidup?
“Hei! Kamu masih hidup juga? Kamu nggak apa-apa?” tanyaku pada sosok itu.
Keluarlah.
Aku tidak melihat sosok itu bicara, tetapi aku mendengar suara itu, seolah dibisikkan dekat telingaku. Aku terbelalak saat melihat sosok itu melayang ke arahku!
Aku pasti berhalusinasi. Apakah benturan keras menyebabkan otakku terganggu? Aku masih memelotot dan mulutku terbuka, saat sosok itu sudah berada tepat di depanku. Dia membungkuk dan mendekatkan kepalanya ke wajahku. Lalu perlahan, kepala yang semula rebah di pundak itu menegak, kemudian berputar ke arah depan, hingga tampak wajahnya dan aku menjerit histeris.
Wajah itu, wajah Prily yang sudah dalam keadaan rusak!
Aku menutup mata dengan dua tanganku yang gemetar. Otakku pasti sudah tak beres, hingga aku mengalami halusinasi separah ini. Itu bukan hantu Prily. Aku tidak percaya hantu itu ada. Lagipula, bukan hanya Prily korban pesawat jatuh ini. Kenapa hanya hantu Prily yang muncul? Namun kata-kataku itu terpatahkan tatkala aku membuka mata, dan di sekelilingku berdiri banyak orang, dengan keadaan tubuh yang parah. Ada yang perutnya terkuak dan isinya sudah tak ada, ada yang menenteng satu tangannya, ada yang menenteng kakinya … Aku menggeleng-geleng, mengerjap beberapa kali. Berharap pandanganku normal lagi dan semua bayangan sosok-sosok dengan penampilan memilukan sekaligus mengerikan itu lenyap. Lagipula, ini belum malam, kan?
Saatnya kamu keluar dan pergi bersama kami.
Suara itu terdengar kompak bagai paduan suara. Apakah aku sedang sekarat, sedang diambang kritis hingga di alam bawah sadarku roh-roh mereka yang sudah tiada itu berusaha membujukku untuk ikut mati juga? Tidak, aku tak boleh lemah dan kalah oleh bujukan mereka. Aku harus bertahan, aku harus tetap hidup.
Aku kembali menutup mata, tak ingin melihat penampakan menganggu itu lagi.
Lalu aku mendengar suara teriakan-teriakan. Aku tajamkan pendengaranku, meyakinkan diri yang kudengar itu memang suara manusia, bukan makhluk-makhluk lain.
Aku membuka mata, menghela napas lega sosok-sosok menyeramkan tadi sudah menghilang. Aku membuka mulut, aku ingin berteriak memberitahu mereka bahwa aku masih hidup.
“Halo! Aku di sini!” ucapku dengan suara parau.
Aku melambaikan tangan dan tersenyum lebar ketika kulihat beberapa orang berseragam tim penyelamat mendekat ke arahku. Tiap dua orang memindahkan jasad korban ke kantong-kantong jenazah.
Aku menegur orang yang baru selesai membereskan jenazah di sampingku.
“Pak, tolong, saya haus dan lapar, badan saya sakit semua. Tolong bawa saya keluar dari hutan ini,” kataku padanya.
Aku mengernyit heran. Orang itu bergeming, tak peduli padaku, tak mendengar ucapanku. Ada apa? Mengapa mereka tidak peduli padaku korban yang masih hidup? Bukannya seharusnya aku yang paling pertama mereka bawa keluar dari tempat celaka ini?
“Hei, Pak! Gimana sih? Kenapa saya dicuekin?!” ujarku mulai kesal. Tetapi, bapak itu tak peduli. Dia tidak menoleh ke arahku. Dia dan temannya malah pergi membawa jenazah yang sudah tersimpan di kantung jenazah. Tak lama datang dua orang laki laki ke arahku. Aku menyambut mereka dengan senyum.
“Tolong cepat bawa saya keluar dari sini, Pak. Saya sudah nggak tahan. Saya ingin luka-luka saya cepat diobati,” ucapku pada kedua orang itu.
Tak ada yang menyahut, bahkan mereka tidak balas tersenyum. Mereka memeriksa tubuhku. Lalu menggelar … Aku terbelalak. Mereka menyiapkan kantung jenazah di sampingku. Apa maksudnya? Mereka membopong tubuhku dan memindahkan ke kantung jenazah itu.
“Hei! Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku! Aku masih hidup! Kalian gila!” ujarku sambil berusaha melepaskan diri.
Pergilah bersama kami.
Aku terbelalak. Prily dan korban-korban lainnya kembali menampakkan diri. Mereka berdiri berjajar, seolah menunggu aku bergabung dengan mereka.
“Tidak! Ini pasti mimpi!” bantahku.
Aku menggeleng beberapa kali. Tiba-tiba aku merasa seolah baru terbebas dari cengkeraman kuat. Tubuhku melayang. Dan aku melihat diriku sudah berada di kantong jenazah. Wajahku memilukan, tubuhku penuh luka. Kaki dan tangan kananku patah. Perutku … menganga tanpa isi.
“Tidak mungkin!” Aku masih menyangkal. Aku yakin aku masih hidup. Aku harus bertemu ibu kandungku, aku harus tahu apa alasannya menyingkirkan aku dari hidupnya. Aku tak akan berhenti sampai aku menemukannya.
Tamat
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Penulis yang telah menerbitkan lebih dari 30 novel, di antaranya adalah "Aku Tahu Kapan Kamu Mati" dan "Merindu Cahaya de Amstel"