Alone Chapter 5 by Arumi E | iilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ernest masih terluka dan terasing sendiri, tetapi ternyata masalahnya belum selesai di sana. Kali ini, Ernest harus berjuang untuk melawan segerombolan pemangsa pemakan bangkai. Apakah Ernest bisa selamat kali ini atau dirinya berakhir jadi santapan?
***
Suara melengking itu terdengar lagi, lalu disambut gonggongan. Sepertinya bukan hanya satu, mereka seperti bersahutan. Dari suaranya, aku menduga itu anjing. Apakah anjing milik tim penyelamat? Apakah anjing-anjing pencari itu sampai lebih dulu ke sini? Tumbuh secercah harapan di hatiku. Aku ingin berteriak, agar anjing-anjing itu tahu aku ada di sini. Tapi belum sempat aku berteriak, aku mendengar geraman, lalu suara bergemelutuk. Aku berusaha mengintip apa yang terjadi. Aku terhenyak, tubuhku gemetar. Aku melihat seekor anjing sedang menunduk di atas perut sesosok jasad yang posisinya agak jauh dariku. Bukan hanya mengendus-endus, tapi anjing itu memakan jasad itu.
kelompok anjing liar tengah memangsa mayat I Ilustrasi oleh Hipwee
Aku panik, tapi aku masih bisa berpikir jernih. Aku berusaha diam tak bergerak. Aku ingat, sesuatu yang tergeletak di sebelahku. Sebuah ide mendadak terbetik. Sambil menahan nyeri, aku memaksakan diri menyeret tubuhku, berusaha menggapai sesuatu di sebelahku itu. Sakit, sungguh sakit, mulutku terbuka seperti berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar
Setelah susah payah menyeret tubuhku, akhirnya aku bisa mencapainya. Kuulurkan tangan sejauh-jauhnya agar dapat meraihnya. Dapat! Jari-jariku berhasil menyentuhnya, ternyata tubuh itu milik Prily. Tubuh Prily terasa dingin saat aku menarik lengannya ke arahku. Posisinya yang miring dan berada di atas bongkahan kursi pesawat, letaknya lebih tinggi daripada aku, membuat tubuhnya jatuh menggelinding ke arahku lalu berhenti tepat di atas tubuhku.
Aku berharap bersembunyi di balik tubuh mati, membuat anjing itu mengira aku juga sudah mati dan jasad di atas tubuhku ini akan lebih dulu mengenyangkan mereka.
Sayangnya, suara tubuh Prily yang bergulir sebelumnya membuat beberapa benda yang tersenggol ikut bergerak dan menimbulkan bunyi. Anjing itu refleks menoleh ke arah sumber suara. Aku menutup mata dan berusaha bernapas sepelan mungkin. Aku khawatir suara jantungku yang berdebar keras terdengar oleh anjing itu.
Terdengar suara menggeram yang semakin dekat, lalu terdengar seolah seperti saling berbicara satu sama lain.
Grrh!
Aku mengintip dengan membuka sedikit mataku, jantungku serasa berhenti berdetak melihat anjing itu sudah di dekatku, mulai mengendus-endus jasad di atasku. Aku menahan napas, lalu menarik napas sangat pelan, berusaha agar anjing itu tidak bisa mendeteksi keberadaanku.
Ernest bersembunyi di bawah mayat I Ilustrasi oleh Hipwee
Anjing itu mulai menjilat-jilat mayat di atasku. Kudengar suara anjing lainnya, lalu terdengar suara mulut sibuk mengunyah. Aku menahan napas ketika anjing di dekatku itu mengendus kepalaku hingga hidungnya yang berair menyentuh pipiku. Refleks aku melirik.
Mataku beradu pandang dengan sepasang mata hijau berkilat. Kali ini rasanya jantungku benar-benar berhenti. Aku pasrah, andai kemudian hewan buas itu tergiur ingin melumat tubuhku juga.
Anjing itu menggeram sambil membuka sedikit mulutnya, memamerkan taringnya yang tajam. Air liur menetes dari ujung-ujung taring atasnya yang runcing.
Aku takut. Tentu saja aku takut. Itu perasaan yang sangat manusiawi. Tapi di balik rasa takutku, tiba-tiba muncul keinginan untuk bertahan hidup. Tidak, aku tidak ingin mati begitu saja. Apalagi mati dilumat anjing hutan.
Di saat kritis seperti ini, kucari-cari benda apa saja dengan tangan kiriku yang lebih kuat. Berharap bisa kugunakan sebagai senjata untuk menghalau binatang buas itu. Aku berharap keberuntungan memihak padaku. Tempat ini dipenuhi puing-puing, harusnya aku bisa menemukan potongan puing atau apa saja yang bersisi tajam dan bisa kumanfaatkan sebagai senjata.
Anjing itu masih menggeram. Ia mengendus kepalaku sekali lagi. Lalu terdengar lengkingan dari temannya yang tadi datang bersamanya. Sepertinya itu adalah suara memanggil. Lalu bagai dikomando, anjing itu segera bergerak menghampiri temannya.
Aku menahan napas, masih tak yakin apakah sekarang ini aku sudah boleh bernapas teratur. Keraguan ini muncul karena berkali-kali aku hanya berani menarik napas dan mengembuskannya sangat perlahan berusaha agar dada dan perutku tidak bergerak. Aku bahkan terpaksa menahan napas cukup lama, bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali. Kini kuhirup udara kuat-kuat. Tak peduli bau anyir dan tak sedap jasad di atas tubuhku ini ikut terhisap.
Aku tercengang ketika mengintip, muncul tiga ekor anjing lagi. Masing-masing mendekati jasad-jasad yang bergelimpangan. Tak jauh dariku, dua ekor anjing liar sedang sibuk mengerumuni satu jasad. Aku tak mau membayangkan apa yang sedang mereka lakukan. Saat ini aku hanya ingin fokus mencoba menyelamatkan diri. Aku menggeser tubuhku meninggalkan jasad yang sudah mulai membusuk itu dengan sangat perlahan. Kudekati sebongkah puing yang terjerembab di dekat sebuah pohon besar.
Keinginan bertahan hidup ternyata membuatku memiliki kekuatan lebih dari sebelumnya. Aku bisa bergerak hingga agak jauh. Aku berharap dapat berlindung di balik bongkahan puing yang lumayan besar itu. Kuabaikan segala rasa sakit dan nyeri. Beberapa kali terdengar suara bergemeretak dari tulang-tulangku yang retak. Aku mengatupkan mulut rapat-rapat, supaya tak berteriak kesakitan. Hanya air mata yang mengalir akibat nyeri amat sangat yang kurasakan.
Setelah bersusah payah, akhirnya aku berhasil mencapai bongkahan puing itu. Ukurannya lumayan besar, tubuhku cukup untuk disembunyikan di baliknya. Kemudian aku hanya bisa menunggu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku mendengar suara anjing-anjing lainnya. Mungkin mereka anjing dalam satu kelompok. Anjing pertama dan kedua tadi mungkin datang untuk mengecek keadaan. Setelah itu mereka memanggil teman-teman sekelompoknya mengabarkan banyak makanan di area ini, atau lebih tepatnya banyak mayat yang bisa mereka makan di sini.
Ernest mencoba bersembunyi di balik pohon I Ilustrasi oleh Hipwee
Aku terus menunggu, entah berapa lama. Mungkin satu dua jam. Hingga aku tak mendengar lagi suara anjing-anjing yang tadi berkeliaran di antara reruntuhan pesawat.
Aku berusaha tidur, berharap esok bisa bangun dengan kondisi yang lebih baik. Tiap kali terluka, aku selalu yakin tubuhku bisa memulihkan dirinya sendiri.
Aku memejamkan mata, terbayang lagi wajah perempuan mirip denganku. Perempuan yang fotonya dikirim lewat email itu. Aku tak tahu apakah dia masih secantik di fotonya ketika muda. Tetapi, aku pasti bisa mengenalinya. Mungkin usianya sekarang sekitar pertengahan empat puluhan atau lebih sedikit. Masih tergolong muda. Lalu, jika benar dia ibu kandungku, dia juga pasti tahu siapa ayah kandungku.
“Siapa namanya?” Aku sering bertanya-tanya sendiri seperti itu. Bahkan aku pernah mencari di internet, nama-nama asli orang Samarinda, aku juga membaca tentang budaya Kalimantan Timur. Aku ingin menerka-nerka seperti apa kira-kira karakter ibuku dari budaya daerah kelahirannya.
“Pasti dia lebih baik dibandingkan Mama yang sikapnya keras dan selalu ketus. Dari wajahnya yang kulihat di fotonya, ibu kandungku itu sepertinya lembut dan penyayang.”
Aku pernah berharap seperti itu. Kemudian terpikir juga olehku, jika memang ibu kandungku itu baik, kenapa bukan dia yang merawatku? Mungkin mentalku tak akan setertekan ini jika yang merawat dan membesarkan aku adalah ibu kandungku sendiri.
Apakah harusnya aku marah karena ibu kandungku sendiri malah membuangku, menyerahkan aku ke orang lain yang kejam?
Apa Ibu pikir hidupku bahagia? Aku memang sering mendapat penghargaan, diundang untuk tampil di acara-acara musik yang elegan, bayaranku tinggi, tapi Mama yang memegang seluruh uang hasil jerih payahku. Tentu aku diberikan uang untuk peganganku, tapi hanya 10% dari honorku. Mama beralasan, sebagian besar uang honorku itu untuk biaya penunjang penampilan, juga untuk ditabung dan investasi. Mama khawatir, jika aku memegang sendiri uangku, aku akan boros dan membuang uang untuk hal yang tidak perlu. Usiaku sudah dua puluh empat tahun, tapi uangku masih dikontrol oleh Mama. Mama juga mengangkat dirinya sendiri menjadi manajerku. Dia sendiri juga yang menentukan honornya berapa.
Walau keadaanku sekarang memilukan, tapi aku merasa lega. Aku sudah terbebas dari Mama. Aku yakin, besok tim penyelamat sudah bisa menemukan lokasi jatuhnya pesawat ini. Aku pasti akan baik-baik saja.
Aku tertidur dengan keyakinan seperti itu. Tak ada pertanda apa pun, bahwa ternyata perkiraanku meleset.