Alone Chapter 3 by Arumi E | iilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ernest yakin kalau tubuhnya tidak utuh lagi setelah menemukan sepotong kaki.
Lalu, bagaimana caranya Ernest bisa bertahan saat dia terdampar sendirian dengan tubuh cacat?
***
Lagi-lagi aku mengernyit saat kucoba mengangkat tangan kananku. Perih, nyeri dan kini aku tahu apa yang tak beres dengan tangan kananku ini. Kulit punggung telapak tanganku mengelupas. Menyisakan daging putih bercampur gosong dan darah yang telah berubah warna menjadi kecoklatan. Dua jariku sepertinya patah. Nyeri di kaki kananku kembali menyergap. Aku mengalihkan pandang ke arah kaki kananku itu.Â
Aaaah!!
Kali ini aku berteriak histeris. Di paha kananku tergeletak sepotong kaki setengah gosong. jangan-jangan itu kakiku?
Aku panik, susah payah kusentuh sepotong kaki itu dengan tangan kananku yang lemah. Lalu kulemparkan menjauh dari atas paha kananku. Sebongkah puing tak terlalu besar tergeletak menutupi lutut hingga aku tak bisa melihat bagian kakiku dari lutut ke bawah.
Tidaaak!
Ernest panik karena kakinta tertimpa puing pesawat I Ilustrasi oleh Hipwee
Aku tak bisa menerima jika kakiku benar terputus. Tak berkaki di lokasi antah berantah ini sama artinya dengan mati perlahan-lahan. Kusentuh puing itu. Panas dan berat saat aku mencoba mendorongnya. Kupaksakan tubuhku agar bisa duduk tegak. Dengan kedua belah tangan yang kekuatannya tak normal lagi, kucoba menyingkirkan puing pecahan pesawat itu.Â
Ugh!Â
Puing itu menggelinding menjauh. Lalu pandanganku menelusuri paha kanan, lutut, tulang kering hingga jari jemari kakiku.
Thank God!
Tenyata kakiku masih utuh.Celana panjangku terkoyak hingga sebatas paha. Tulang keringku terlihat berkilau dan menyisakan luka lebar menganga. Pecahan puing tadi telah merobek kaki kananku. Pantas saja terasa nyeri bukan main.Â
Aku menghela napas lega. Tubuhku masih utuh walau penuh luka dan remuk di beberapa bagian.Â
Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Beberapa kali tadi aku sudah berteriak memanggil siapa pun yang mungkin masih hidup, tetapi tak ada yang menjawab.Â
Lalu, kepada siapa aku bisa meminta tolong? Adakah penumpang lain yang juga selamat? Apakah ada yang kondisinya lebih baik dari aku?
Untuk yang kesekian kalinya, aku menghela napas berat. Kupejamkan mata, sejenak menenangkan diri. Entah bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari tempat yang dipenuhi pepohonan yang lebat dan tinggi ini. Sepertinya lokasi jatuhnya pesawat ini sangat jauh dari peradaban.Â
Mungkin aku harus memulihkan tubuhku pelan-pelan. Aku harus kuat, aku harus bisa berdiri. Aku harus mencari di antara puing-puing yang berserakan, sesuatu yang bisa dijadikan tongkat untuk menopang tubuhku agar bisa berdiri.
Ernest berusaha berdiri meski tubuhnya terluka I Ilustrasi oleh Hipwee
Setelah aku bisa berdiri, aku harus berusaha bisa berjalan. Akan ada tantangan selanjutnya, bagaimana caraku bisa keluar dari hutan lebat ini? Berat, sungguh berat, usaha yang harus kutempuh jika aku benar-benar ingin keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat.
Aku berusaha mengangkat kakiku lagi. Berat sekali, tubuhku masih lemah. Tapi apa yang bisa membuat tubuhku menguat? Aku menoleh ke sekelilingku, mengabaikan pemandangan seram yang terlihat. Hingga mataku menemukan sesuatu seperti ujung tas. Sesuatu itu tertutup puing pesawat yang tidak terlalu besar.
Aku mengulurkan tangan dan berusaha menggapai benda itu. Sekuat tenaga aku menarik lenganku, jari-jariku gemetar mendekati benda yang jaraknya tinggal beberapa sentimeter lagi.
Aku sentakkan lenganku hingga akhirnya ujung benda itu tersentuh oleh jariku. Bibirku membentuk senyum samar, merasa senang hanya karena tumbuh secercah harapan. Aku menyentakkan lengannku sekali lagi hingga akhirnya jari-jariku bisa menggapainya, pelan-pelan aku berusaha menggeser benda itu hingga berada dalam setengah genggamanku. Baru kemudian kutarik pelan-pelan.
Napasku tersengal-sengal. Energiku seolah habis hanya untuk mengambil benda itu yang ternyata memang sebuah tas. Beberapa bagian tas berbahan kulit tebal itu sebagian telah koyak, tapi masih ada bagian dalam kondisi tertutup. Aku membuka tas itu, berharap di dalamnya ada sesuatu yang bisa kumakan. Aku keluarkan semua isinya. Bedak, cermin, lipstik, dan alat kecantikan lainnya. Sebagian pecah hingga isinya keluar sebagian. Ada dompet yang agak kotor terkena tumpahan foundation. Aku mencari-cari lagi, kali ini aku berharap menemukan ponsel. Tapi tak ada. Mungkin ponselnya tidak dia masukkan ke dalam tas.Â
Aku menuang keluar seluruh isi tas itu. Tak ada roti yang kubayangkan, tetapi ada dua bungkus cokelat batangan yang telah penyok. Segera kumakan cokelat itu, untuk menambah energiku. Kuhabiskan setengah batang. Sisanya kusimpan untuk kumakan nanti.
Sekarang, aku butuh minum. Tapi tentu saja tak ada minun yang tersedia. Aku tahu, keadaan akan semakin parah jika tiba-tiba hujan. Aku akan basah kuyup dan kedinginan. Tapi demi beberapa tetes air yang bisa diminum, aku tetap berharap hujan turun.
Saat ini di luar sana, pasti sudah ramai berita tentang pesawat komersil dari Jakarta tujuan Samarinda yang tiba-tiba jatuh. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau dengan teknologi masa kini yang semakin maju, pasti tidak akan membutuhkan waktu lama sampai titik jatuh pesawat itu ditemukan.
Namun, berapa lama mereka bisa menemukan tempat ini? Apakah besok bantuan akan datang? Apakah aku sanggup bertahan hingga besok pagi?
Aku mengerjap, menghalau pikiran buruk yang terlintas dalam kepalaku. Aku tak ingin terperangkap di sini berhari-hari lalu perlahan mati dan membusuk karena tak ada yang bisa menemukan dan menyelamatkan aku.Â
Aku mencoba menghilangkan rasa cemas dengan memikirkan hal lain. Aku berusaha mengingat wajah-wajah yang pagi tadi aku tinggalkan. Mama. Wajah Mama adalah yang pertama muncul. Garis tegas dan keras wajahnya yang semakin banyak dihiasi guratan-guratan usia. Wajah yang sangat jarang tersenyum. Bahkan aku lupa, kapan terakhir kali pernah melihat Mama tersenyum. Mama lebih banyak bicara daripada tersenyum. Saat ini, dia pasti sedang marah luar biasa karena aku luput dari pengawasannya.
Aku baru menyadarinya sekarang. Bu Surti asisten rumah tangga di rumah pasti jadi korban kemarahan Mama karena telah membiarkan aku pergi.Â
Pagi tadi, sebelum yang lain bangun, tepat pukul setengah enam, diam-diam aku menyelinap keluar rumah, tanpa berpamitan pada siapa pun, termasuk Bu Surti, walau ketika itu aku mendengar suara Bu Surti sudah sibuk di dapur. Sekarang, baru aku menyesal. Mama pasti akan melampiaskan kemarahannya pada Bu Surti.
Di usiaku sekarang ini, aku masih tinggal bersama Mama. Bukan kemauanku, tapi itu keharusan yang ditetapkan oleh Mama.Â
Bertahun-tahun aku menjadi anak penurut. Selalu melakukan apa yang diperintahkan oleh Mama. Aku hanya mengenal Mama. Bahkan seingatku, sejak kecil aku tidak pernah tahu siapa papaku. Mama mengurus aku dan saudara-saudaraku sendirian. Entah dari mana Mama mendapat penghasilan, yang jelas, semua kebutuhan kami terpenuhi.
Mama juga yang mengatur karirku sebagai pianis sejak awal, kemudian menjadi manajerku setelah aku semakin dikenal dan banyak tawaran tampil di berbagai konser dan acara bergengsi.Â
Ernest yang selalu diatur oleh mamanya sejak kecil I Ilustrasi oleh Hipwee
Hingga akhirnya pagi tadi, aku berani memutuskan pergi. Kurasa, sudah saatnya aku mandiri dan terlepas dari dominasi Mama. Karena hubunganku dengan Mama bukan selayaknya ibu dan anak yang memiliki ikatan batin, yang tulus saling menyayangi. Bagiku, hubunganku dengan Mama hanya sebatas hubungan bisnis, antara seorang seniman dengan manajernya.
Aku tersentak, terkejut merasakan setitik air jatuh ke hidungku, diikuti tetesan air berikutnya yang jatuh membasahi wajahku dan seluruh tubuhku. Hujan. Aku membuka mulut lebar-lebar. Tak peduli air hujan itu kotor, yang penting aku bisa minum.
Aku sadar, setelah ini aku akan menggigil kedinginan, mungkin aku akan demam. Tapi seburuk apa pun keadaanku sekarang ini, aku tetap tidak merasa menyesal telah melarikan diri dari Mama.