Perempuan cerdas kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 bernama lengkap Dewi Lestari ini memang cukup produktif berkarya dalam dunia tulis menulis. Dulunya, Dee –panggilan akrab Dewi– sempat tergabung dalam kelompok vokal Rida Sita Dewi (RSD). Tak heran selain produktif meghasilkan karya fiksi, Dee juga dikenal sebagai penyanyi sekaligus pembuat lagu-lagu.
Karya-karya fiksi Dee pun cukup dikenal oleh penggemar sastra Indonesia. Beberapa (atau lebih tepatnya, banyak) karyanya diadaptasi menjadi sebuah film. Namun rasanya imajinasi Dee yang liar itu lebih indah bila dinikmati dalam untaian kata-kata daripada melalui format gambar bergerak. Kenapa?
ADVERTISEMENTS
Karya-karya Dee sangat nikmat untuk dipahami secara verbal. Caranya bertuturlah yang membuat setiap karyanya selalu menguras perasaan.
Rupanya, kekuatan karya-karya Dee bukan hanya soal cerita yang menyentuh atau imajinasinya yang liar tentang gadis pengagum Neptunus. Lebih dari itu, karya Dee Lestari selalu dibalut dengan kata-kata yang dirangkai penuh irama. Rangkaian kata tersebut memiliki nyawanya sendiri dan membuat tulisan Dee selalu hidup ketika dibaca. Perasaan pembaca selalu dikuras kala menikmati karyanya.
Kamu tak akan bisa menikmati kecemerlangan Dee ini kalau hanya nonton filmnya. Walaupun dialog-dialog di buku diadaptasi menjadi naskah seperti pada film Supernova, yang tersisa adalah susunan kata-kata kaku yang dengan susah payah dilafalkan oleh para aktor.
ADVERTISEMENTS
Selalu ada sensasi yang berbeda ketika membaca karya Dee, tergantung suasana hati kamu ketika sedang membaca.
Setiap kali membaca karya-karya Dee, kamu akan diajak berpetualang ke dalam dunia yang beragam. Kadang, kamu akan dibawa pada kisah sendu yang membuat pilu atau diajak bersenang-senang dengan kisah riang. Suasana hatimu ketika membaca pun mempengaruhi sensasi cerita yang disajikan oleh Dee dalam karya-karyanya. Bisa dibilang, mood kamu layaknya sebuah amplifikasi untuk memperkaya suasana yang ada di dalam tulisan Dee.
ADVERTISEMENTS
Membaca karya Dee berulang-ulang tidak membosankan sama sekali. Sementara film yang diadaptasi dari karyanya cukup ditonton sekali saja.
Ada banyak karya yang sudah dientaskan oleh Dee Lestari. Mungkin setiap ada karya yang baru dirilis, kamu tak akan pernah melewatkannya. Setelah selesai membacanya, bukan tidak mungkin kamu berkeinginan untuk membacanya lagi dan lagi. Berulang-ulang kali. Meski kamu sudah tahu jalan ceritanya, kamu tetap menikmati setiap kalimat yang mengalir dalam tulisan-tulisan Dee. Pokoknya, membacanya berulang tak pernah membuatmu bosan. Justru kamu selalu menemukan sesuatu yang baru ketika kembali membacanya.
ADVERTISEMENTS
Mendengarkan gubahan karyanya dalam bentuk lagu juga tak kalah menyenangkannya. Lewat lagunya, kita masih saja mencoba meresapi liriknya.
“Malaikat juga tahu, aku yang jadi juaranya…”
Dee Lestari, Malaikat Juga Tahu.
Tak hanya dalam bentuk tulisan, karya-karya Dee yang digubah dalam bentuk lagu juga selalu menyentuh perasaanmu. Liriknya yang begitu dalam membuat pikiranmu selalu mencari-cari bagian hidup yang sesuai dengan makna lagu tersebut. Hati-hati aja sih, nanti keterusan malah jadi galau sendiri.
ADVERTISEMENTS
Menikmati adapatasi karya Dee dalam bentuk audio visual, membuat kita kehilangan daya untuk berimajinasi dan menerjemahan kata demi katanya.
Keindahan karya-karya Dee yang populer di kalangan anak muda ini membuat para produser film tertarik untuk mengadaptasi karyanya ke dalam bentuk film. Saat ini sudah ada sekitar empat judul karya Dee yang diadaptasi dalam bentuk film. Setelah diubah dalam bentuk film, imajinasi pembaca tentang karakter, setting cerita, bahkan bebunyian –yang cuma pembaca yang tahu– berubah. Sepertinya pembaca tak perlu lagi berimajinasi karena sudah disodorkan langsung dalam bentuk film.
ADVERTISEMENTS
Mungkin film hasil adaptasi karya Dee memang ditujukan untuk generasi yang suka nonton, bukan generasi pembaca.
Tak semua orang suka membaca, sementara imajinasi Dee sangat sayang jika hanya bisa dinikmati mereka yang hobi membaca. Mungkin begitulah yang ada dipikiran pembuat film adaptasi karya Dee. Mereka ingin membagi kisah-kisah karangan Dee yang sangat dalam ini pada khalayak yang lebih luas.
Mereka yang memang menyukai serial drama jadi sasaran utama film adaptasi karya Dee. Supaya tetap mengena ada sedikitlah nuansa FTV di dalamnya. Tak masalah kan selagi pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami?
Setelah dibuat versi layar lebar, mungkinkah kita akan melihat Perahu Kertas atau Filosofi Kopi versi layar kaca? Hmm…
Beberapa film adaptasi karya Dee cukup sukses di pasaran. Itu berarti banyak masyarakat yang memang tertarik dengan cerita yang ditulis oleh perempuan ini. Agar semakin banyak masyarakat yang terinspirasi oleh karya Dee rasanya seru juga jika karya-karya Dee ini kembali diadaptasi. Kali ini menjadi serial televisi.
Pasti seru! Kita bisa melihat Keenan dan Kugi atau Ben dan El setiap hari di layar kaca menggeser sinetron ganteng-ganteng itu lho.
Intermezo dikit, yuk. Kira-kira, siapa ya aktor utama yang paling total ketika berperan dalam film adaptasi karya Dee?
Sejumlah aktor muda berbakat pun mewaranai film-film adaptasi karya Dee. Mau tak mau, suka tak suka, tokoh utama pria dalam cerita fiksi yang sudah kamu imajinasikan sebelumnya terganti dengan bayangan mereka.
Adipati Dolken mendadak jadi Keenan, cowok yang jago melukis tapi dilarang orang tuanya.
Vino Bastian tiba-tiba harus menggimbal rambut dan bikin roti.
Terakhir, Chiko Jerico yang baru-baru ini menjadi barista idealis. Menurut kamu, di antara ketiga aktor ganteng ini mana yang memainkan karakternya dengan pas?
Siapa pun aktor yang berperan, waktu membaca karya Dee kamu pasti punya imajinasi tokoh sendiri. Hayo Siapa?
Tak peduli siapa yang menjadi aktor yang berperan dalam film-film adaptasi karya Dee Lestari, Hipwee yakin kamu punya bayangan tokoh sendiri. Ciye siapa nih yang jadi Keenan-nya kamu?