Akhir bulan September lalu selaiknya diperingati sebagai pekan horor nasional. Pertama, film reboot Pengabdi Setan arahan Joko Anwar telah diputar secara perdana pada tanggal 28 September dan sukses menyebarkan histeria massal karena kini sudah ditonton setidaknya 1,7 juta orang. Kedua, film kolosal Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI yang menceritakan kisah sadisme anggota Partai Komunis Indonesia kembali ramai diperbincangkan di Youtube dan media massa, bahkan juga ditayangkan di depan publik dan anak-anak untuk memperingati hari 30 September. Ketiga, Setya Novanto sakit parah dan terbaring di rumah sakit, tapi jarum infusnya ternyata tidak terpasang di punggung tangan. Apakah ini wabah penyakit baru? Sungguh horor.
Kita bahas dulu dua momentum horor yang pertama, yakni Pengabdi Setan dan Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Mana yang lebih seram?
1. Pengabdi Setan, sebuah pengkhianatan terhadap versi aslinya
Sederhana saja, saya tidak percaya hantu dan hal-hal gaib. Tapi agar tulisan ini tidak selesai di sini dan jadi artikel tipu-tipu, maka saya akan pura-pura takut.
Sebenarnya jumpscare atau adegan-adegan kemunculan hantu di Pengabdi Setan tak terbilang seram, di bawah ekspektasi dari sebaran video Reaksi Penonton “Pengabdi Setan” yang viral itu. (Sungguh promosi yang sakti mandraguna). Saya curiga jangan-jangan yang ditonton orang-orang di video itu sebenarnya adalah video musik terbaru Denada. Kadang-kadang itu memang lebih menakutkan sih.
Selain itu, terdapat juga sejumlah penyimpangan akal sehat dalam jalan cerita, terutama ketololan para karakter dalam menyikapi situasi. Misalnya sudah tahu banyak setan, tapi tidur masih tetap sendiri-sendiri. Belagu banget, pantas setannya marah, lha merasa tidak dihargai.
Tapi dengan segala kekurangannya, Pengabdi Setan tetap layak diapresiasi berkat nyalinya dalam menggunakan berbagai pendekatan baru di antara segambreng film horor lokal masa kini yang isinya sekadar main kaget-kagetan. Laku pengambilan gambar di film ini juga lebih eksploratif untuk melahirkan pengalaman baru dalam menikmati unsur-unsur horor. Jangan lupakan juga olah suara yang ciamik. Selain dentingan lonceng yang merongrong itu, banyak juga bebunyian yang terkesan remeh temeh namun berkontribusi membangun atmosfer wingit, misalnya suara yasinan atau noise radio.
Narasi dari Pengabdi Setan pun menghasilkan sirkulasi rasa penasaran yang intens. Banyak pihak mengeluhkan bagian-bagian cerita yang tidak terjelaskan tuntas di film ini. Bagi saya tak masalah, beberapa teka-teki biarlah menjadi teka-teki. Justru pertanyaan-pertanyaan itu yang berperan menggentayangi kita: “Si Bapak itu tadinya mau bilang apa?”, “Anak bungsu itu sebenarnya siapa?”, “Si anak Pak Uztaz itu kok kepo banget, zodiaknya apa?”, dll.
Ingat, teror lahir dari ketidakpastian.
Sisi ngeri muncul juga jika kamu peduli dengan problem sosial para tokoh di dalamnya. Pensiunan musisi yang tak menghasilkan royalti berarti, kemandulan yang disusul tekanan sosial, kesulitan finansial di sebuah keluarga yang juga tidak menerapkan program Keluarga Berencana di Orde Baru, hingga kepercayaan terhadap klenik dan mistis yang sangat kental. Hampir semuanya masih relevan bagi generasi Z atau dunia yang telah ditinggali kids zaman now. Hanya saja dibandingkan pergi ke dukun karena tidak bisa hamil–sebagai budaya yang rasa-rasanya sudah mulai ditinggalkan, setidaknya di wilayah perkotaan–perasaan buncah lebih kontekstual dihadirkan oleh film aslinya yang latar belakang permasalahannya adalah keluarga yang disfungsional.
Ya, Pengabdi Setan dari Joko Anwar memang seutuhnya reboot, bukan remake karena tidak mempertahankan cerita aslinya. Narasi versi asli film Pengabdi Setan arahan Sisworo Gautama Putra yang dirilis pada tahun 1980 ini benar-benar dibongkar pasang.
[AWAS SPOILER]
.
.
.
.
.
Versi asli Pengabdi Setan adalah gambaran sempurna dari film horor dekade 80-an yang menurut Veronika Kusumaryati (“Hantu-Hantu dalam Film Horor Indonesia”, 2011) merupakan periode pembakuan konvensi naratif dan gaya film horor. Di awal, film Pengabdi Setan besutan Joko Anwar pun menggunakan metode yang sama, yakni memakai set pedesaan, tokoh utama wanita, dan konflik penggunaan ilmu hitam. Tapi ke belakangnya mulai menyeleweng. Pengabdi Setan milik Sisworo Gautama dan film horor dekade 1980-an biasanya akan menggunakan pola sebab-akibat dan memunculkan pemuka agama sebagai pahlawan yang ujug-ujug datang dan menumpas sang hantu. Di khazanah film horor lawas Indonesia, sosok ulama sama seperti superhero. Kebaikan mesti digambarkan selalu berhasil mengalahkan kejahatan. Ini memang sesuai dengan kode etik produksi film Indonesia yang kemudian ditetapkan pada tahun 1981.
Sementara itu apa yang dikaryakan Joko Anwar justru kebalikannya. Selain narasi dibangun lebih ruwet dan tidak punya penyelesaian yang damai di akhir, tokoh ulama yang berulang kali menasihati tokoh utama untuk beribadah agar terhindar dari gangguan setan justru terbunuh. Waw, mau bergantung pada siapa lagi kita? Sangat seram, sangat nihilis.
Dalam kajiannya terhadap tiga film pertama Joko Anwar (Janji Joni, Kala, dan Pintu Terlarang), Nosa Normanda menukaskan bahwasanya sang sutradara bertangan dingin ini memang senantiasa mampu menyisipkan gagasan-gagasan personal dalam gaya sinematis dan narasinya. Kali ini Pengabdi Setan menggambarkan bagaimana agama tak selalu bisa menjadi jawaban permasalahan sosial. Di era Orde Baru, film horor menghadirkan agama dan negara sebagai perwakilan kekuatan dominan. Agama diperalat untuk menjaga kestabilan rezim. Belakangan, kecenderungan menggunakan agama sebagai senjata perebutan kekuasaan makin menjadi-jadi. Sedikit banyak film ini tampaknya digarap sebagai gelitikan manis untuk itu.
Mau tahu celotehan selanjutnya perihal film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI? Klik Halaman Selanjutnya!