A Trip Down Memory Lane chapter 9 by RevelRebel | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
You’ve been through it all and I’ll wait for the call just to know If you’re better now
(Better Now – Oh Wonder)
***
The night is still on.
Piring kedua Gultik untuk Thomas, piring pertama untukku.
“Being an idealist sucks. Now I realize that it’s getting me nowhere,” celetuk Thomas setelah menandaskan piring kedua, lalu membakar rokoknya. “Kamu tahu sendiri Papa kayak gimana. Apalagi sebagai anak laki-laki satu-satunya, tuntutan untukku terlalu banyak. I have to be the perfect son to him. I have to make him proud. I have to be the best at everything so he can show off in front of his colleague to make himself feel better.”
Selama menjalin hubungan dengannya, aku hanya sekali bertemu dengan ayahnya. Pria keras dengan latar belakang militer, dengan postur tinggi tegap dan wajah keras yang mengintimidasi. Thomas mewarisi aura dingin sang ayah, tapi hanya sebatas itu persamaan di antara mereka.
Thomas pernah bilang kalau dia menghormati sekaligus membenci ayahnya. Terlebih setelah dia menolak untuk masuk Akmil, agar bisa mengikuti jejak beliau. Perang dingin di antara mereka mulai terbentuk.
Ayahnya pernah bilang kalau Thomas akan menyesal sudah menolak saran itu. Thomas yang tertantang, berusaha keras membuktikan kalau sang ayah salah.
“Itu yang membuatku akhirnya punya plan yang jelas. Setelah kuliah harus gimana. Aku harus kerja di mana. Jenjang karier seperti apa. Semua harus jelas, biar aku bisa menghadap papa dengan kepala terangkat tinggi. Enggak lagi menjadi bulan-bulanannya karena menolak Akmil,” lanjut Thomas.
Thomas menghirup rokok dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
“Aku capek, Sha, karena semuanya tetap enggak bisa bikin aku menang dari papa. Makanya, aku terima tawaran pindah ke Aceh. Biar jauh dari dia.”
“You never told me.”
Thomas menyunggingkan sebaris senyum. “Itu persamaan kita. I was pretending.”
We were just two people pretending that everything’s gonna be okay.
“Ketika kamu bilang soal beasiswa itu, aku iri sama kamu. Andai aja punya tempat kabur lebih jauh dibanding Aceh.” Thomas mendengkus. “Tapi ya, mau lari ke Kutub pun tetap aja di mata Papa, I am a failure.”
“You’re not,” timpalku.
Thomas mematikan rokok lalu menatapku. “Ketika kamu putusin aku, jelas aku enggak terima. Terlepas dari perasaanku ke kamu, aku enggak mau putus karena itu membuatku merasa makin enggak berharga. Apalagi setelah mendengar penjelasanmu.”
Ucapan maaf sudah berada di ujung lidah, tapi Thomas mendahuluiku.
“It’s not your fault. It’s just me and my overthinking.” Thomas tergelak. “What if you were right? Despite the fact that I still love you, I also need time to think about what I really want? Apa iya, plan yang aku susun itu bener-bener yang aku mau atau itu cuma caraku buat buktiin diri ke Papa?”
Sama seperti yang dilakukan Thomas tadi, kini giliranku yang menggenggam tangannya.
“Soal transfer kembali ke Jakarta, sebenarnya aku enggak 100% yakin.”
“Kenapa?” tanyaku.
Thomas mengangkat bahu. “That was not my calling. The truth is I don’t know what my heart really wants. It’s never too late to rediscover yourself, right?”
Aku mengangguk.
Dengan tangan yang saling menggenggam, seakan kami berusaha untuk saling menguatkan, juga meyakini bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja.
Thomas pernah menjadi seseorang yang berarti dalam hidupku. Sampai detik ini. Kalau bukan karena dia, mungkin selamanya aku akan tenggelam dalam belenggu masa lalu. Dia yang membuatku berani melangkah maju, meski untuk itu aku harus menyakitinya.
I’m not proud of myself. Mematahkan hati seseorang bukan sesuatu yang pantas untuk dirayakan.
Mungkin aku manusia paling egois, karena untuk menyelamatkan diriku sendiri sampai menyakiti hati laki-laki yang mencintaiku. Namun, aku tidak menyesal.
Sama seperti aku tidak pernah menyesali sehari pun dalam kurun lima tahun terakhir yang kuhabiskan bersama Thomas.
I don’t know what my future holds. Mungkin saja masa depan jauh lebih menyeramkan, dengan semua ketidakpastian yang menunggu. Aku juga enggak punya keberanian besar untuk menghadapinya.
I just want to live my life. Karena dengan begitu, aku punya momen untuk berdialog dengan diri sendiri sehingga tahu, apa yang sebenarnya aku inginkan?
Siapa diriku yang sebenarnya?
“Sebentar lagi Subuh, kita pulang?”
Menghabiskan 24 jam terakhir dengan Thomas memberikan perspektif baru kepadaku. Bahwa jujur, seberat apa pun itu, menjadi satu-satunya cara agar aku bisa lepas sepenuhnya dari beban masa lalu.
Meski kejujuran itu semakin menyakiti Thomas.
“If someday we meet again, please say hi to me,” gumamku, saat berjalan di belakang Thomas, dengan tanganku yang berada di genggamannya.
Thomas berhenti sejenak dan menoleh ke balik punggungnya. “Say hi to me too,” ujarnya.
Aku mengangguk, dengan sebaris senyum di wajah.
***
Thomas menghentikan mobil di depan indekosku, bersamaan dengan azan Subuh yang sayup-sayup terdengar.
We finally come to an end. Ketika hari baru datang, meski luka kemarin masih tertinggal di hati.
“Good luck dengan Edinburgh. Jangan terlalu sering begadang.”
Aku tergelak ketika mendengar ucapan Thomas, lalu mengangguk. “You too. Apa pun keputusanmu, I wish you nothing but the best.”
Thomas meraihku ke dalam pelukannya. Sebuah pelukan yang bersahabat.
This is the end for us but maybe this is also the new beginning for our friendship.
“Goodbye, Sha,” bisiknya.
Aku membalas pelukan itu. “Goodbye, Mas. Thanks for everything.”
It’s been a year since we broke up. I thought I wanted to say hi. How’s your life? I hope that Edinburgh makes you feel better.
Just a little update about me. Jadi, akhirnya aku putusin buat resign. Setelah pertimbangin matang-matang, aku menyimpulkan kalau kamu benar. Hidup ini terlalu berharga buat diisi dengan plan yang detail, tapi hatiku enggak di situ.
Sekarang aku balik ke Jakarta. Enggak lagi jadi budak korporat. Can you believe it? Iya, Thomas yang selama ini selalu mikir kalau aku butuh safety net, akhirnya mutusin buat resign dan bikin EO. Lucu ya kalau dipikir-pikir. Yang pasti Sha, I finally enjoy my life.
Mungkin karena aku ngelakuin ini buat diriku sendiri. Terserah deh Papa gimana, mau bilang aku ngecewain, I don’t care (he did, actually but that’s not my problem).
Aku mikirin perkataan kamu. Aku terlalu worry sama masa depan, padahal apa yang sebenarnya aku khawatirin? At the end of the day, I know the reason. Aku enggak kenal diriku sendiri karena selama ini berpikir, apa pun yang aku lakukan harus bisa bikin papa bangga, jadi penyesalan beliau karena aku menolak Akmil enggak akan ada lagi.
Childish ya, Sha.
So yeah, this is me. Trying to be the best version of my life.
Aku enggak tahu apakah ini calling aku atau enggak. I think this is my silver lining. Pintu baru yang membawaku agar lebih mengenal diriku. Mungkin aja pilihan ini salah, artinya aku kembali belajar.
I believe that there’ll always be another door for me to get to know who I really am.
Enough about my rambling.
Kalau ada waktu, aku pengin tahu kehidupanmu di Edinburgh.
Eks jurnalis dan sekarang menjadi content development di salah satu aplikasi. Mulai menulis di Wattpad sejak 2017 dan beberapa karya bisa dibaca di platform menulis online atau buku.
Hubungi di @revelrebel_ (instagram) dan www.revelrebel.id