A Trip Down Memory Lane chapter 8 by RevelRebel via www.hipwee.com
Happiness is a butterfly Try to catch it every night It escapes from my hands into moonlight Everyday is a lullaby I hum it on the phone like every night And sing it for my babies on the tour life
(Happiness is a Butterfly – Lana Del Rey)
***
Sekali lagi, aku seperti kehilangan orientasi waktu.
Aku tidak tahu sudah berapa lama terdiam di ruang karaoke, tanpa satu pun lagu yang sempat dinyanyikan. Sampai petugas memberitahu kalau waktu sudah hampir habis, dan aku melenggang keluar ruangan dengan pikiran kosong.
Thomas sudah pergi. Bukankah ini yang aku inginkan?
Aku yang memutuskannya. Aku yang menginginkan hubungan ini berakhir di sini. Namun, ada rasa pedih yang tidak bisa kuingkari kehadirannya. Ucapan Thomas terus bergema di benakku. Tuduhannya yang membuatku tersudut, hanya karena tuduhan itu berisi kebenaran. Hidup adalah pilihan. Selama ini aku hanya melihat satu pilihan bukan karena tidak menyadari adanya pilihan lain.
Aku hanya melihat satu pilihan karena itu yang terbaik untukku. Setidaknya, itu yang kupikirkan terbaik untukku. Setidaknya, untuk saat ini.
Mungkin saja aku berbahagia bersama Thomas. Tumbuh tua bersama dalam gelak tawa. Namun, hatiku tidak sekuat itu untuk meyakini bahwa kebahagiaan seperti itu ada.
I was broken inside.
Mungkin, aku sudah hancur sejak sebelum aku menyadari kalau diriku begitu rapuh. Mama yang menyesal sudah melahirkanku, menyalahkanku untuk setiap kegagalan yang dialaminya, membuatku memupuk rasa sakit di dalam hati sampai akhirnya tidak lagi bisa merasakan sedikit saja kebahagiaan. Ayahku yang entah ada di mana. Entah dia menyadari kehadiranku atau tidak. Nenek, satu-satunya sosok yang menjadi tempatku berpegang, lalu meninggalkanku sehingga aku terlunta-lunta sendirian, dan akhirnya membuatku sadar kalau tidak ada satu pun yang bisa menjadi pegangan selain diriku sendiri.
Thomas menawarkan hubungan yang indah. Namun, itu hanya kebahagiaan semu yang sifatnya sementara. Mungkin aku memang pengecut, memilih untuk menyerah dan bersembunyi dalam rasa takut itu, ketimbang melihat pilihan lain dalam bentuk hidup bersama Thomas.
Langkahku terhenti ketika di parkiran di depan Inul Vista, aku melihat mobil Thomas. Dia masih di sini.
Thomas keluar dari mobil dan menghampiriku. Tanpa suara, dia menarikku ke pelukannya.
Satu-satunya yang seharusnya meminta maaf di sini adalah aku.
“You were right. Aku menyakitimu,” bisikku.
“Aku lapar. Kita cari makan, ya.”
Tanpa menunggu ucapanku, Thomas menggandengku menuju ke mobilnya.
Suasana di dalam mobil terasa senyap. Thomas bahkan tidak berinisiatif menyalakan radio untuk memecah keheningan. Sementara aku menatap ke luar jendela dan menikmati malam yang masih saja ramai, sekalipun sudah berganti hari.
Thomas membelokkan mobilnya ke parkiran Hoka Hoka Bento di daerah Blok M.
“Cuma ini yang buka. Kayaknya,” serunya.
Aku menoleh ke balik pundak dan menatap keramaian di luar sana.
“Another place to remember me by,” cetusku.
Thomas tertawa kecil. “Sudah enggak terhitung Gultik jadi penyelamat kita malam-malam, apalagi setelah karaokean atau nonton midnight.”
Aku mengikuti Thomas keluar dari mobil, melintasi parkiran Hokben yang masih padat di malam larut seperti ini karena ada banyak orang-orang kelaparan di tengah malam dan mencari Gultik sebagai penyelamat.
“Di Edinburgh enggak ada Gultik,” cerocos Thomas. Dia mengambil dua kursi plastik biru dan mempersilakanku duduk di salah satunya. Sementara Thomas menyantap makanan tengah malamnya, aku hanya menyeruput Teh Botol.
Pikiranku masih berkecamuk.
“Apa Ibram jadi alasan kamu mengambil keputusan ini?” tanya Thomas.
Bisa saja aku menggeleng, tapi aku mengangguk di hadapannya. “Tapi enggak kayak yang kamu pikir.”
“Terus?”
Aku menghela napas panjang, sebelum memutar tubuh dan menghadap Thomas. Aku meletakkan Teh Botol yang sudah kosong di atas meja, sembari menyiapkan diri untuk mengurai semua yang selama ini kupendam.
“I’m in love with you. Ketika tahu sudah jatuh cinta kepadamu, aku memberanikan diri untuk mikirin masa depan yang lain. Aku tahu ada pilihan lain, salah satunya hidup bahagia denganmu. Entah kamu mau percaya atau enggak, tapi aku sempat meyakini pilihan itu.” Aku membuka mulut.
Thomas menatapku dalam diam, hanya tangannya yang bergerak menyantap makanan.
“It’s not that easy. Semakin aku mencoba, semakin aku merasa tertekan. Bayangan hidup bahagia dengan laki-laki yang kucintai malah membuatku semakin jauh dari diriku sendiri.” Aku menggigit bibir. “Lalu aku merasa kamu mulai mengaturku. Menuntutku untuk menjadi seperti kamu. Dan itu membuatku enggak nyaman.”
Sepertinya ini menjadi momen untukku bermonolog, karena Thomas masih diam dan mendengarkanku.
“Aku tumbuh dengan kekhawatiran masa depan yang enggak jelas. Seumur hidup, aku hanya menumpuk luka. Aku capek, Mas. Aku mau, sekali aja, aku bisa bernapas lega. Di situlah, aku mendapat pemahaman baru dari Bang Ibram.”
Aku memainkan jari-jariku, sebuah upaya sia-sia untuk menahan semburan emosi yang memerangkapku saat ini.
“Aku terlalu mencemaskan hal yang seharusnya enggak perlu aku cemaskan. Mungkin untuk saat ini, aku perlu mengambil langkah mundur, dan mencoba untuk menata hidupku. Sesuai dengan yang aku mau. Untuk itu, aku perlu mengenal siapa diriku.”
“Dan aku membuatmu enggak mengenal siapa dirimu?” ujar Thomas, setelah menandaskan sepiring makanannya.
Aku menggeleng. “Bersama kamu membuatku bisa merasakan bahagia itu seperti apa. Itu membuatku candu. Akhirnya, aku melakukan apa saja untuk bisa merasakannya. Termasuk berkompromi dengan hal yang enggak aku suka, agar aku bisa terus bersama kamu. I was pretending.”
Thomas kembali bungkam, hanya tatapannya yang menuntutku untuk terus bersuara.
“Bagaimana aku bisa bahagia kalau aku enggak tahu siapa diriku yang sebenarnya?” tanyaku.
Thomas meraih tanganku dan menggenggamnya. “Are you really happy with me?”
Aku mengangguk. Tidak ada keraguan di baliknya.
“But I need time to be with myself. Agar aku bisa melihat semua pilihan yang ada di depanku dan mengambil keputusan yang tepat,” sahutku.
“Jadi, itu alasan kamu ingin putus?”
Aku menelan ludah. “Your mother asked me about the M-word.”
“M-word?”
“Marriage.” Seolah ada batu yang menahan kata itu untuk keluar dari mulutku.
Thomas tertawa kecil. “Nyebut kata nikah aja susah ya, Sha.”
Aku tersenyum tipis. “Sewaktu beliau nanya, itu jadi momentum besar buatku. Asal kamu tahu, aku pernah memikirkan buat menikah denganmu.”
“But you don’t want to.”
“If we really meant together, someday I’ll marry you. Namun untuk saat ini, itu jelas enggak mungkin. Aku sayang kamu, jadi aku enggak mau menarik kamu lebih jauh ke dalam hubungan ini. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, agar aku bisa lepas dari semua belenggu masa lalu dan menatap masa depan dengan lebih yakin, seyakin kamu,” timpalku.
“Aku bisa menunggu.”
Aku mengangguk kecil. “I know. Tapi aku enggak mau kamu menungguku. Kamu berhak mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik, tanpa ada aku yang menahanmu.”
“Gimana kalau kamu yang terbaik untukku?”
“Then, we’ll meet again and fall in love again. Without any additional baggage on our shoulder.” Aku menyahut yakin.
“Sebagai seseorang yang mengklaim dirinya pesimis, ucapanmu barusan terlalu fairy tale, Sasha.”
“Mungkin masih ada sedikit jiwa optimis di dalam diriku.”
Thomas tertawa kecil sambil mengeratkan genggaman tangannya.
“Sorry, sudah bikin kamu tertekan. Juga karena enggak peka jadi aku enggak tahu masalah apa yang sebenarnya mengganjal pikiranmu.” Thomas berkata lirih.
“Perasaan tertekan itu muncul karena aku belum berdamai dengan diriku sendiri.”
Thomas terdiam, membuatku ikut menutup mulut sementara kami saling berpandangan. Sayup-sayup suara pengamen melantunkan lagu dengan bahasa Inggris yang belepotan menyapa pendengaranku.
Aku tidak tahu berapa lama kami saling terdiam hingga akhirnya Thomas memecah keheningan itu dengan tawa. Tawa yang menular kepadaku.
“Please ya, kenapa dia bisa sepede itu nyanyi lagu barat?” bisiknya.
Aku tertawa kecil. “Life sucks. Dia tahu bahasa Inggrisnya jelek, tapi terpaksa demi dapat duit.”
“Just like you.”
Keningku berkerut mendengar penuturan Thomas.
“Kamu tahu jadi freelancer itu enggak nyaman, tapi bertahan karena dengan begitu, kamu punya kontrol penuh. Kamu memilih buat kelaparan, ketimbang terikat kontrak kerja yang jelas, yang sewaktu-waktu bisa di-PHK. Bukan PHK yang kamu takutkan, tapi kemungkinan untuk dipaksa lepas dari tempat kamu menggantungkan hidupmu,” jelasnya.
Sambil menahan tawa, aku mengangguk.
“Tinggal di indekos jelas enggak nyaman, tapi enggak ada keterikatan emosional, juga kontrak jangka panjang, yang membuatmu bisa pergi kapan aja.”
Sekali lagi aku mengangguk.
“Juga, ketika kamu akhirnya terima ketika aku mengambil tawaran di Aceh, meski awalnya kamu kesal karena aku mengambil keputusan itu tanpa memberitahumu dan membuatmu merasa enggak dihargai. But at the end of the day, kamu menyukainya karena kita enggak perlu ketemu setiap hari, sehingga selama berjauhan, kamu enggak perlu merasa ada seseorang yang secara nyata ada di sisi kamu. I’m just an illusion.”
Senyum itu lenyap dari wajahku ketika Thomas menarik kesimpulan yang menyakitkan.
“Kamu bilang enggak bisa LDR. Kenyataannya, kamu menikmatinya.”
Aku menelan ludah, karena sekali lagi, Thomas mengurai kebohongan yang kujadikan sebagai alasan ketika memutuskannya.
“Kita menjalin komitmen, tapi karena jarak, kamu enggak merasa terbebani dengan komitmen itu. Aku ada sekaligus enggak ada.”
Sekarang Thomas yang bermonolog, sementara aku terdiam seperti patung.
“Aku paham sekarang. Kita saling sayang, tapi juga saling menjegal langkah masing-masing karena sejujurnya, kita sudah enggak sejalan.”
Aku menunduk, menatap jariku yang berada di genggaman Thomas.
“I’m sorry if I hurt you. I still love you but I respect your decision.”
Aku mengangkat wajah untuk menatapnya. “Sorry.”
Thomas tertawa kecil. “Selama di parkiran tadi, aku memikirkan hidupku. You were wrong about me.”
“Bagian mana?”
“Kamu bilang, aku punya plan yang tertata jelas dan berusaha meraihnya. The truth is, I was fed up with my life. Just like you, I don’t know who I am anymore.”
Malam masih ada, sebelum matahari perlahan muncul menandakan hadirnya hari baru. Menjelang saat itu tiba, aku terdiam, dan memberi kesempatan kepada Thomas untuk jujur kepada dirinya sendiri.
Eks jurnalis dan sekarang menjadi content development di salah satu aplikasi. Mulai menulis di Wattpad sejak 2017 dan beberapa karya bisa dibaca di platform menulis online atau buku.
Hubungi di @revelrebel_ (instagram) dan www.revelrebel.id