Planning everything for two
Doing everything with you
And now that we’re through
I just don’t know what to do
I just don’t know what to do with myself(I Just Don’t Know What To Do with Myself – The White Stripes)
***
Kalau ada satu tempat di Jakarta yang akan kurindukan nantinya, itu adalah McDonalds Sarinah. Buka 24 jam, restoran fast food ini selalu menjadi tujuanku setiap kali deadline atau ketika otakku mandek setelah kelamaan mendekam di indekos.
I am a night owl. Ketika orang-orang sudah mulai beristirahat, otakku baru mulai bisa diajak bekerja sama. Hasilnya, aku sering berkeliaran seperti zombie setiap malam untuk mencari tempat yang bisa menampungku hingga larut untuk menyelesaikan pekerjaan. Beruntung, sebagai freelancer, aku bisa mengatur jadwal kerjaku sendiri sehingga enggak ada pihak lain yang terganggu dengan ritme seperti ini.
Bekerja di malam hari membuatku lebih fokus karena minim gangguan. Terlebih kalau ada proyek dari Bang Ibram, yang kadang enggak kenal waktu, terutama kalau sudah detik-detik menjelang deadline. I hate him but I can’t ignore him. Dia pemilik sekaligus project leader di creative content agency yang sering memberiku pekerjaan. Jadi, aku terpaksa menahan hati untuk bersabar setiap kali bekerja dengannya. Sebenarnya dia enggak menyebalkan. Sehari-hari dia cukup baik dan menyenangkan. Cuma, Bang Ibram selalu berubah jadi banshee kalau sudah dekat deadline.
“Gue bakal kehilangan lo, sih, Sha. Lo tuh ada di top of my list, apalagi kalau ada kerjaan dadakan. Lo jarang nolak kerjaan,” gerutunya ketika aku memberitahu soal kepindahan ke Edinburgh.
Sebagai seseorang yang masih mengandalkan paycheck, jelas aku enggak punya keistimewaan untuk menolak pekerjaan. Makanya aku menjadi yes girl-nya Bang Ibram, yang selalu menerima apa pun pekerjaan yang diberikannya.
Setelah selesai menonton di Goethe Huis, perutku keroncongan. Masih terlalu dini untuk makan malam, tapi berhubung tadi sarapan kesiangan dan enggak sempat makan siang, sekarang aku butuh makanan berat.
Ketika Thomas membelokkan mobilnya ke parkiran Sarinah, aku sudah enggak heran dengan pilihan tempatnya. Mengingat dia masih dalam mode berusaha untuk mengembalikan rasa cinta di hatiku kepadanya.
McDonald’s juga menjadi salah satu saksi hubunganku dengan Thomas. Tempat ini sering menjadi latar video call di antara kami. Berawal dari percakapan ringan, tapi seringnya berakhir dengan keluhan Thomas karena aku masih berada di sini sampai tengah malam.
Dan, kalimat pemungkasnya, yang membuat semangatku langsung hilang saat itu juga, “Makanya cari kerja yang benar. Apa salahnya, sih, kerja tetap? Dari pada serabutan begitu.”
Meskipun setelahnya Thomas minta maaf, kalimat tersebut, yang diucapkan dengan variasi berbeda tapi intinya sama, selalu membuatku merasa kerdil di hadapannya.
Mengapa berat baginya untuk menerimaku apa adanya? Thomas pernah bilang kalau aku rumit, tapi itulah yang membuatnya menyukaiku. Mungkin baginya aku ibarat tantangan, teka-teki, sesuatu yang berusaha untuk dipecahkannya.
Akhirnya, ketika teka-teki itu menjadi sangat rumit, dia mencari sesuatu yang bisa disalahkan. Pekerjaanku sebagai freelancer yang membuatku bekerja enggak kenal waktu seperti orang normal lainnya. Juga kebiasaanku pindah tempat indekos. Dua hal itu menjadi objek sasaran yang akan disalahkan Thomas.
Kadang aku merasa Thomas mencoba untuk mengaturku. Tanpa dia sadari kalau aku juga manusia, sama seperti dirinya, yang mempunyai pilihan. Namun, dia tidak menghargai pilihanku.
Mataku tertumbuk pada TransJakarta yang berhenti di lampu merah Sarinah. Sebaris senyum tersungging di bibirku saat bis itu memuntahkan kenangan lama yang tersimpan di benak.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
Aku menggumamkan terima kasih ketika Thomas kembali dengan segelas mocha float dan meletakkannya di atas meja.
“Mikirin apa?”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!