A Trip Down Memory Lane - Back to the Place where We First Met via www.hipwee.com
What do you do with a broken heart? Once the light fades, everything is dark Way too much whiskey in my blood I feel my body giving up Can I hold on for another night? What do I do with all this time?
(Malibu Night – LANY)
***
[Sabang 16]
Aku terpaku di depan kedai kopi di jalan Sabang itu.
“I just want to go back to the place where we first met,” bisik Thomas. Dia menggandengku dan membawaku menuju pintu masuk.
Langkahku terasa berat ketika aku terpaksa mengikuti Thomas. So, Mas, game on?
Aku mendengkus ketika Thomas mengambil tempat di sudut. Itu adalah meja yang sama dengan yang kutempati, lima tahun lalu, di pagi hari seperti ini juga.
“Seperti biasa?”
Thomas sudah mengangkat tangan untuk memanggil pelayan ketika aku menghentikannya.
“Kenapa? Jangan bilang kamu juga enggak suka srikaya,” tebaknya. Ada nada sinis di balik sindiran itu.
Aceh Gayo dan roti panggang srikaya. Itu menu sarapan favorit Thomas. Dia enggak pernah memesan yang lain setiap kali kami mencuri waktu untuk sarapan di sini, sebelum Thomas harus mengejar meeting di kantor, dan aku berkutat dengan terjemahan yang makin diburu deadline.
Sama sepertinya, aku juga punya pesanan yang selalu sama. Hot cappuccino dan roti panggang srikaya.
“Andalan Sabang 16 tuh ya srikaya. Kalau ke sini enggak makan srikaya, sama kayak ke Palembang enggak makan pempek, atau ke Bandung enggak makan batagor Riri,” ujar Thomas, ketika kami mengunjungi tempat ini, lima tahun lalu. Tepatnya, di kencan ketiga. Kencan terakhir sebelum akhirnya Thomas menyatakan perasaan dan kami resmi menjadi pasangan.
“Aku suka srikaya, tapi pagi ini aku lagi enggak mau makan apa pun. English Breakfast cukup,” sahutku.
Thomas menatapku dengan mata menyipit, sebelum berpaling kepada pelayan yang menunggu di dekat meja.
“Aceh Gayo, English Breakfast, dan roti panggang srikaya dua.” Thomas menyebutkan pesanan.
Sekali lagi, aku mendengkus ketika Thomas mengabaikan kata-kataku.
“Aku lapar, Sha. Makanya pesan dua,” ujarnya, ketika pelayan meninggalkan kami. “Kalau kamu mau, nanti pesan lagi aja buatmu.”
Aku tahu itu cuma alasan.
Berada di kedai kopi ini, selalu memesan menu yang sama, sudah menjadi kebiasaan. Rasanya ada yang hilang ketika kebiasaan itu dihentikan begitu saja. Itu yang kurasakan ketika di hadapanku cuma ada secangkir teh dengan asap mengepul.
Sarapan di Sabang 16 | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Aku melirik ke arah Thomas. Secangkir kopi dan roti panggang srikaya. Dia masih mempertahankan kebiasaan itu, sementara aku berupaya untuk lepas dari kebiasaan yang hanya membelenggu untuk tetap diam di tempat.
Inilah hubunganku dan Thomas. Hubungan yang terjalin selama lima tahun, membuat kehadirannya menjadi sebuah hal yang biasa dalam hidupku.
Selama lima tahun ini kami menjadi satu kesatuan, tapi belakangan aku enggak lagi merasakan ikatan yang sama, seperti yang kurasakan lima tahun lalu.
Aku bisa memesan menu lain, enggak melulu bertahan pada menu yang biasa kupesan. Seakan ingin menegaskan kepada diriku sendiri, bahwa akhirnya aku akan terbiasa tanpa Thomas di sisiku.
“Kalau pagi itu kamu enggak minjam charger Blackberry, kita enggak bakalan kenalan ya, Sha.” Thomas mulai bernostalgia.
“Enggak ada gunanya mengenang masa lalu, Mas,” tukasku.
Thomas tertawa kecil. “I know, tapi kalau dipikir-pikir, mengenang masa lalu enggak selamanya buruk, Sha.”
Aku meneguk teh, sebuah upaya untuk mengalihkan diri dari tatapan Thomas yang tertuju kepadaku.
“Dengan mengenang masa lalu, aku mencari jawaban di mana dan kapan hubungan ini menjadi enggak baik-baik saja. Jadi, aku bisa mengerti alasan kamu mau putus. Jujur aja, sampai sekarang aku enggak ketemu jawabannya,” ujar Thomas.
“Just put it as simple as we were not meant to each other,” sahutku.
“Enggak sesederhana itu, Sha. Apalagi ini kamu, yang enggak pernah mengambil keputusan impulsif. Semuanya pasti dipikirin matang-matang. So tell me, why do we have to break up?” tanya Thomas.
“Karena aku enggak yakin bisa menjalani hubungan jarak jauh, jadi mending diakhiriaja sekarang daripada kita maksa buat pertahanin dan ujung-ujungnya bakal lebih nyakitin hati masing-masing,” sahutku.
Thomas menggeleng sembari memotong roti panggang srikaya. Dia menyodorkan potongan itu kepadaku, dan aku menggeleng.
“Jujur ya, Sha. Selama kita LDR, kamu enggak kuat?” tanyanya.
Perlahan, aku menganggukkan kepala.
Thomas melipat kedua tangan di atas meja, dengan tatapan yang tertuju kepadaku, menungguku untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang terlihat jelas di wajahnya.
“I’m craving for affection. You know that,” sahutku.
“Lalu? Kamu enggak merasa mendapat perhatian sebanyak yang kamu harap?”
Sekali lagi, aku meneguk teh, untuk mengulur waktu meski tahu tindakanku sia-sia. Thomas tak akan melepaskanku sebelum aku memberikan jawaban.
Sasha menyesap teh dengan gugup | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kamu … mungkin ini kedengarannya kayak excuse, tapi kamu selalu bergerak. Kamu enggak pernah diam. Kamu punya plan yang detail banget, juga goals yang mau kamu raih. Jadinya kamu selalu bergerak buat wujudin semua plan yang kamu punya. Kamu … jadi lupa dengan sekitarmu, termasuk aku.” Aku berkata panjang lebar.
“Aku enggak melupakanmu.”
“Bukan melupakanku, tapi lupa kalau aku ini pacarmu yang juga butuh waktu dan perhatianmu. Selama ini aku enggak pernah menjadi prioritas. Kamu selalu menyempatkan diri buat bertemu denganku. Kamu memasukkanku ke dalam plan yang sudah kamu susun. Cuma nyempilin, enggak jadiin aku salah satu poin penting di plan itu.” Aku meneguk ludah. Rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku, untuk menelan ludah saja rasanya sangat susah.
“Sha, aku enggak secuek itu,” bantah Thomas.
“Mungkin kamu … egois?”
Thomas tersentak saat mendengar tuduhanku. Raut wajahnya menegang ketika mendengar ucapanku yang terdengar kasar barusan.
“Boleh aku kasih tahu sesuatu?” tanyaku.
Thomas menatapku dengan mata menyipit, menungguku melanjutkan ucapanku.
“Just … slow down. Take a deep breath and see what’s going on around you. Hidup ini enggak selamanya soal plan yang harus dituju, Mas. Sometimes we need to take a break to see the beauty in life,” lanjutku.
Thomas mengusap rahangnya. Dia tidak berkata apa-apa, tapi raut wajahnya sudah memberitahuku bahwa ucapanku cukup menyentaknya.
“Kamu berubah, Sha.”
“Hah?”
Thomas tersenyum tipis. “Ingat enggak yang kamu bilang di meja ini lima tahun lalu? Setelah kamu meminjam charger Blackberry? Kamu panik karena Blackberry kamu mati, padahal enggak sampai lima menit. Kamu kayak orang kesetanan saking paniknya lima menit tanpa Blackberry.”
I used to be like that. Persis seperti yang dibilang Thomas.
Pagi itu aku ada di kedai kopi ini. Pukul tujuh pagi dan aku sudah terdampar di sini untuk sarapan, setelah semalaman begadang di McDonald’s Sarinah. Mataku terasa berat karena dipaksa terjaga semalaman. Tubuhku sudah memberontak minta diistirahatkan. Bukannya pulang, aku malah ke jalan Sabang, mencari tempat sarapan yang bisa memberiku secangkir kopi biar bisa terus melek.
Bodohnya, aku malah kehilangan charger Blackberry. Aku panik, karena aku harus selalu online agar bisa berinteraksi dengan bosku. Bang Ibram paling enggak suka kalau ada freelancer yang enggak bisa dihubungi, apalagi kalau sedang ada proyek yang berjalan.
Hanya ada dua meja yang terisi di Sabang 16. Meja yang kutempati, dan meja di sebelahku, yang ditempati laki-laki dengan wajah yang sama mengantuknya denganku, dan sibuk memelototi laptop dengan kening berkerut. Sedikit segan, aku mengganggu konsentrasinya.
“Boleh pinjam charger BB enggak? Punya gue hilang dan butuh banget. Bos gue bisa ngamuk kalau gue enggak bisa dihubungi. Deadline gue tinggal sejam lagi, dia bisa BBM gue kapan aja. Kalau enggak dibalas, dia bakal nahan invoice gue. Please, boleh pinjam, kan?” Aku bahkan enggak tahu apa aja yang kuucapkan di keadaan genting begini.
Sementara laki-laki itu malah melongo.
“Halo, boleh pinjam enggak? Gue bayar deh, anggap aja gue nyewa.” Nada suaraku meningkat, takut kalau sebelum ini dia enggak mendengarku dengan jelas.
Dia tergagap, tapi untunglah setelah itu dia mengambil charger Blackberry yang tengah tercolok dan menyerahkannya kepadaku.
“Enggak perlu sewa, anggap aja gue lagi menebar kebaikan,” ujarnya.
“Thanks. I owe you so much,” sahutku. Buru-buru aku memasang charger ke ponselku, dan butuh beberapa menit sampai Blackberry itu menyala. “Gue enggak suka pakai BB. Manja dan high maintenance, padahal enggak canggih-canggih banget. Kalau semua orang enggak pakai BBM, gue enggak bakal deh beli barang ini.”
Laki-laki itu tertawa kecil. “Peer pressure?”
“Social pressure,” ralatku. “Kenapa, sih, orang-orang harus selalu ikut apa yang lagi hype? Memangnya enggak bisa ngandelin SMS dan telepon aja?”
“Lebih efektif, ‘kan?”
“Yeah right, tapi jadinya enggak ada sekat. Orang lain tahu kita online atau enggak. Jadinya, dipaksa harus selalu online. Kapan istirahatnya coba? Tengah malam aja sibuk di-ping mulu sampai budek.” Kenapa aku mencerocos dan mengeluh di depan orang asing? Aku sendiri juga enggak tahu apa alasannya.
“Kan bisa dicuekin.”
Aku menatapnya horor. “Selama masih digaji atau terima upah, cuekin chat itu hal terlarang.”
Dia tertawa lantang. Sedetik kemudian, dia mengulurkan tangannya. “Thomas.”
Aku menyambut uluran tangan itu dan menyebutkan namaku. “Sasha.”
Pertemuan pertama Sasha dan Thomas | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Jadi, deadline apa?”
“Terjemahan. Gue freelance translator, dan ini ada proyek dari Kemensos. Bos gue resek, ngasih kerjaan mendadak, butuh cepat, makanya neror mulu kerjanya,” jawabku. Aku menunjuk laptop yang terbuka di mejanya. “Deadline juga?”
Dia tertawa kecil. “Gitu deh. Semalam lembur nyiapin bahan meeting, dan terpaksa disambung pagi ini karena belum kelar.”
Aku melirik penampilannya. Seragam yang dipakainya membuatku bisa menebak pekerjaannya. “Sampoerna?”
Thomas mengangguk. “Ketebak, ya, dari seragam gue?”
“Sebagai perusahaan gede, amazed aja masih pakai seragam.”
“Katanya, sih, biar enggak ada pembeda. Tapi ya, seragam enggak membantu. Kalau cungpret, ya tetap cungpret. Biar kata bajunya sama kayak bos besar.”
Aku terbahak mendengar ucapannya.
Thomas tidak lagi berkata karena Bang Ibram menyita perhatianku. Sampai dia berpamitan, aku masih sibuk dengan telepon dari Bang Ibram sampai lupa kalau charger miliknya masih kupakai.
Dua minggu kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Di Sabang 16. Di meja yang sama.
“Gue enggak tahu kita bakal ketemu, jadi enggak bawa charger.” Aku mendahuluinya, ketika Thomas masih berusaha mengingat kapan dan di mana dia pernah bertemu denganku. Saat ingatannya kembali, dia tersenyum.
Dia tampak santai dalam pakaian olahraga. Bukan pakai seragam kantornya. Sementara aku masih memakai baju tidur yang dilapisi jaket.
“Lari pagi?” tebaknya.
Aku tertawa. “Iya, di mimpi. Btw, gue ngekos di Kebon Kacang. Lo bisa nunggu di sini? Gue pulang sebentar buat ambil charger lo.”
“Sarapan dulu, Sha. Nanti lo pingsan.”
Aku mengikuti sarannya. Pagi itu, tanpa terasa aku menghabiskan waktu dengannya. Mengobrol banyak hal dengan orang asing yang enggak sengaja bertemu denganku dan pernah menjadi penyelamatku.
Thomas menawarkan diri untuk mengantarku pulang, ketika aku bersikeras memintanya menunggu di sini agar aku bisa mengambil charger miliknya.
Hari itu, aku dan Thomas bertukar pin BBM.
Sekarang, ketika mengingat lagi pertemuanku dengan Thomas, aku merasa seperti melihat sosok orang lain. Bukan Sasha seperti diriku sekarang.
Sasha yang selalu bergerak tanpa pernah ada waktu untuk menarik napas. Sasha yang selalu mikirin gimana caranya dapat banyak proyek, sehingga keuangan selalu lancar dan enggak perlu menelepon Mama untuk minta uang jajan. Sasha yang berusaha untuk bertahan di Jakarta yang keras, tanpa pernah mengenal kata menyerah.
Sasha yang pada akhirnya merasa capek, dan memutuskan untuk berhenti.
Sementara Thomas masih Thomas yang sama. Thomas yang sibuk dengan semua plan yang sudah disusunnya, Thomas yang selalu memastikan semua plan itu berjalan sesuai dengan keinginannya, dan akan uring-uringan lalu mencari sesuatu yang bisa disalahkan jika ada yang bergeser dari plan itu.
Thomas yang belum merasa capek, dan entah kapan dia akhirnya mau berhenti.
“Enggak ada yang mengejar kita, Mas. Kita aja yang selalu terburu-buru, merasa dikejar. Harus mencapai target ini itu. Risi sendiri kalau santai, kayaknya kita cuma buang-buang waktu karena enggak ngapa-ngapain. I’m done with that,” ujarku akhirnya.
“Jadi, karena kamu merasa kita udah enggak sejalan lagi, makanya kamu mau kita putus? Bukan karena LDR atau aku enggak bisa kasih perhatian sesuai yang kamu mau?”
Aku meneguk ludah. “Mungkin.”
Thomas melemparkan kedua tangannya ke udara. Dia menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya.
“Kamu itu … rumit. Kamu tahu itu, ‘kan?”
Aku menggigit bibir, tidak sanggup membalas tatapan Thomas.
“Kamu bikin aku frustrasi. Kenapa enggak jelasin, sebenarnya masalahmu apa?”
Masalahku adalah … I just don’t know who I am anymore.
Eks jurnalis dan sekarang menjadi content development di salah satu aplikasi. Mulai menulis di Wattpad sejak 2017 dan beberapa karya bisa dibaca di platform menulis online atau buku.
Hubungi di @revelrebel_ (instagram) dan www.revelrebel.id