If this is my last night with you
Hold me like I’m more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers do
It matters how it ends
Cause what if I never love again?(Adele – All I Ask)
***
“I don’t do LDR. It’s better if we break up.”
Aku mengaduk es teh manis yang sudah enggak ada rasanya itu sembari menatap ke sembarang arah. Ke mana saja, asal bukan membalas tatapan cowok yang duduk di depanku.
Hanya ada meja kecil di warung tenda pinggir jalan yang membatasi kami, serta sayup-sayup suara sumbang pengamen jalanan yang ada di warung sebelah, dan klakson mobil serta motor yang saling tumpang tindih. Namun, aku malah merasa udara di sekitarku sangat pekat, sampai-sampai ada gumpalan yang menyekat dadaku hingga terasa sesak. Suara bising perlahan memudar hingga akhirnya lenyap dan berganti dengan hening yang menyesakkan.
That’s it. Aku baru saja mengutarakan hal yang sejak tadi ada di benakku.
Aku baru saja mematahkan hati cowok yang sejak lima tahun terakhir menjadi pacarku. Di warung tenda pinggir jalan.
Kalau ada tempat yang lebih pantas untuk mematahkan hati seseorang, jelas warung tenda ini tidak pernah menjadi pilihan. Namun, tentu saja tidak ada tempat yang layak menyandang status sebagai the perfect place to break someone’s heart.
“You don’t do LDR?”
Setelah keheningan yang terasa panjang, telingaku berdenging akibat lolongan klakson panjang yang membuat pekak. Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Seketika, tatapanku beradu dengan Thomas.
Dia menatapku tajam, dengan kedua tangan terlipat di meja dan wajah serius yang siap menelanku hidup-hidup.
“Telat, Sha. Kita sudah bisa dibilang ahli dalam hal LDR.” Thomas tertawa sinis.
Aku kembali mengaduk es teh manis yang sudah berubah rasa jadi hambar itu. Lidahku mendadak kelu, tidak ada sepatah kata pun yang bisa kuucapkan.
Padahal aku yang meminta Thomas untuk bertemu malam ini. Dia baru mendarat di Jakarta sekitar satu jam yang lalu dan langsung menjemputku di kantor. Dia bahkan masih menenteng ransel yang dibawanya dari Aceh, dan sekarang bersandar di kaki meja panjang di warung tenda ini.
“Jadi ini tujuanmu mengajakku ketemu? Karena ada sesuatu yang penting yang pengin kamu sampaikan, tapi maunya secara langsung, enggak bisa lewat telepon?” tanya Thomas yang kujawab dengan anggukan singkat.
“Jawab, Sha!”
Suara Thomas yang meninggi membuatku terlonjak. Tanpa sadar aku mencengkeram terpal alas meja di warung tenda ini dan merasakan tubuhku gemetar.
“Sorry,” bisik Thomas.
Aku menggeleng. “No, I’m sorry. Maaf kalau akhirnya harus begini.”
Thomas menggeleng pelan. “Bisa kasih alasan lain yang lebih masuk akal?”
Tatapannya yang tertuju kepadaku berubah lembut. Wajahnya yang sering kali terlihat dingin, kini tampak lelah. Begitu juga dengan kantung matanya yang memperkuat kesan lelah itu.
“Minggu depan aku ke Edinburgh. Kamu tahu itu.”
Thomas mengangguk pelan. “Lalu?”
“Aku … I don’t do LDR.” Lagi, aku mengulang alasan yang sudah kuungkap sebelumnya.
Sekali lagi, Thomas tertawa. “Kita tiga tahun terakhir ini ngapain, Sha? Aku di Aceh, kamu di Jakarta. Itu apa namanya kalau bukan LDR? Sekarang kamu bilang enggak bisa LDR karena mau ke Edinburgh? That’s bullshit.”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!