Yogyakarta, 27 Mei 2006 sekitar 06.00 pagi.
Mungkin pagi itu adalah pagi yang tenang di negeri yang juga dikenal santai dan gak banyak neko-neko. Meskipun tak menutup kemungkinan kalau ada yang lagi terburu-buru pagi itu. Ada yang sedang mandi, berdandan, dan bersiap menuju kantor atau sekolah. Ibu-ibu tengah menyiapkan sarapan untuk buah hati dan suaminya. Lainnya lagi, memilih tetap santai di bawah dekapan selimut hangat dan tidur nyeyak.
Seketika, rutinitas pagi hari harus terhenti kala guncangan kencang terasa di pijakan. Barang-barang bergeseran dan bunyi gemuruh rumah runtuh, membuat panik seisi keluarga. Yang masih terlelap, seketika bangun dan buru-buru keluar (dengan pakaian seadanya) dari rumah dengan anggota keluarga lainnya. Ya, kira-kira itulah Gempa Jogja pada 27 Mei, sembilan tahun yang lalu.
ADVERTISEMENTS
Tak terasa, sembilan tahun telah berlalu sejak bencana di Sabtu pagi tersebut. Ternyata wajah Jogja sudah banyak berubah.
Jangan pernah tanyakan soal kerugian dan kerusakan. Jelas saja gempa dahsyat tersebut telah makan banyak korban. Ribuan nyawa melayang, puluhan ribu terluka, ratusan ribu rumah dan sekolah hancur dan jutaan terpaksa harus mengungsi. Fasilitas publik runtuh. Sinyal telekomunikasi dan siaran radio lokal sempat menghilang, apalagi sempat ada isu tsunami beredar. Rumah penduduk sebagian masih berdiri baik, tapi sebagian besar lagi rusak parah di area garis gempa yang melalui Bantul – Klaten. Terlebih banyak rumah yang telah berusia lama.
Sembilan tahun sudah berlalu. Bangunan-bangunan untuk fasilitas publik telah kembali terbangun dengan apik. Begitu pula dengan rumah penduduk. Kita bisa menyaksikan rumah dome atau sering disebut rumah teletubbies, yang didesain untuk menggantikan rumah penduduk yang rusak. Konon, desain rumah yang sedemikian rupa akan jauh lebih tahan terhadap gempa.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Suasana panik dan tangisan keluarga sesaat setelah gempa, kini tergantikan dengan suara riang penduduk dan decak kagum pelancong.
Bagi yang mengalami atau menyaksikannya lewat berita televisi, sudah pasti masih merekam kepanikan warga Yogyakarta. Di mana rumah mereka hancur luluh lantak, keluarga yang dicintai terluka dan kembali ke haribaan. Barak pengungsian yang penuh oleh orang tua dan anak-anak yang kebingungan. Untuk sekolah, mereka tidak bisa karena sekolah mereka juga hancur. Hanya ada sejumlah relawan tak dikenal yang membantu meringankan rasa trauma anak-anak dengan mengajaknya bermain bersama, menggambar, atau menyanyi. Ibu-ibu bisa teralihkan perhatiannya untuk sementara dengan memasak di dapur pengungsian. Sedangkan bapak-bapak mencoba menyelamatkan barang berharga dari reruntuhan, sekaligus membersihkan barang-barang yang tidak diperlukan.
Setelah gempa berlalu, warga Jogja bisa berbahagia lagi. Rasa panik dan sedih sudah sirna. Dua kali, mereka berduyun-duyun memadati area jalanan di sepanjang Keraton – Gedung Agung. Mereka berbahagia merayakan Pawiwahan Ageng, pernikahan agung putri Sultan dengan pasangannya. Kebahagiaan keluarga Kraton kala itu turut melebur bersamaan dengan kebahagiaan warga Yogyakarta.
ADVERTISEMENTS
Denyut kehidupan sudah banyak berdetak semenjak bencana itu menerpa. Anak-anak bisa kembali bersekolah, mengikuti ujian sekolah, dan melanjutkan mimpi-mimpinya.
Anak-anak yang saat itu jadi saksi sekaligus korban dari gempa yang meluluhlantakkan rumahnya, kini sudah bisa kembali menjalankan tugasnya menuntut ilmu. Barangkali, mereka bahkan baru saja merayakan kelulusan SMA-nya dan berancang-ancang meraih mimpi lewat jalur dunia kerja atau perguruan tinggi. Meski mereka sempat harus sekolah dalam keterbatasan, mimpinya tak boleh terkubur dalam-dalam. Apa yang dicita-citakan, tetap harus tercapai. Begitu janji mereka.
ADVERTISEMENTS
Bencana tak selamanya menimbulkan luka. Belajar dari 27 Mei 2006, semua lapisan masyarakat bahu-membahu ketika Erupsi Merapi 2010.
Kapan dan di mana lagi kita akan menemukan hal yang sedemikian rupa? Di kala sebagian warga daerahnya terkena musibah atau bencana, semua kalangan warga Yogyakarta mau bahu-membahu menolong.
Tanpa pandang bulu, tak peduli status, tak peduli kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, maupun muda, semua turut membantu sesuai kemampuannya masing-masing. Ibu-ibu mengadakan dapur darurat untuk bantuan makan sehari-hari korban pengungsian. Mahasiswa membuka posko relawan di kampus. Selain itu, mereka mengumpulkan baju-baju layak pakai untuk dikumpulkan di Stadion Maguwoharjo. Sebagian lagi memberikan bantuan untuk trauma healing anak-anak, atau buku tulis dan pelajaran.
Pemerintah pun tak tinggal diam menghadapi peristiwa seserius ini. Kerjasama dengan BASARNAS dan pihak-pihak terkait digagas hingga proses evakuasi sampai pemulihan berlangsung baik. Perusahaan atau pihak komersial juga telah banyak membantu korban sesuai dengan bagiannya masing-masing.
9 tahun setelah bencana tersebut, kita semakin menyadari bahwa kita harus hidup berdampingan dengan bencana apapun. Selain pintar menyikapi dan belajar menghindari resiko terburuk, kita tahu bahwa tidak perlu terlalu larut dalam kesedihan.
Jogja kini sudah siap kamu pijaki. Sudah siap menerimamu lagi jika kamu merindukannya. Jogja sudah siap mengembalikan kenangan-kenangan indahmu di kota pelajar. Beragam wisatanya bisa kamu jelajahi di kala senggang. Karena Jogja sudah move on!