Lagi-lagi usia 25 disebut sebagai angka sakral bagi kelangsungan hidup manusia. Enggak sih, agaknya ini hanya untuk orang-orang Indonesia saja. Karena banyak beban hidup yang dirasa di usia ini, kami pun punya banyak bayangan dan keinginan yang pasti membahagiakan jika terwujud di usia 25 nanti. Walau kemudian kami yakin, pasti banyak perubahan dan keputusan besar yang terjadi.
Mulai dari soal kerja, usaha, prestasi, asmara, hingga luka – kami punya target capaian yang masih dalam bentuk angan. Ketika pada usia ini seseorang dipercaya mencapai tingkat kedewasaan, yakinlah dengan menjabarkan keinginan-keinginan ini kami malah justru terkesan kekanak-kanakan. Hihiii… Jadi, inilah khayalan keinginan kami di usia 25, kalau keinginanmu belum ada, tulis di kolom komentar ya!
ADVERTISEMENTS
1. Kami sering membayangkan jika tiba-tiba pangeran berkuda putih yang rupawan datang dan menawarkan cincin di tangan.
Kami, para perempuan, sejak kecil sudah dijejali aneka dongeng dari negeri seberang. Tentang pameran tampan yang entah dari mana datangnya, mengendarai kuda atau malah pegasus namanya, mengaku jatuh cinta dan memang datang untuk melamar kita. Siapa yang bisa nolak?
Ngaku deh, walau usiamu sudah seperempat abad, kamu pasti masih cukup sering berandai-andai tentang hal satu ini. Sebab, di usia ini kami mulai menyadari betapa susahnya mencari pendamping yang cocok dan pas di hati. Di titik ini, kami juga paham, bersamanya yang kini masih menjadi pacar, tak lantas menjamin untuk kemudian kami pasti menjadi halal. Seringkali kami merasa cocok dengan seseorang, tapi orang tua malah tak merestui, atau sebaliknya. Jadi, tak salah kan jika kami punya khayalan tentang sosok pangeran seperti dongeng masa kecil yang seringkali didendangkan?
ADVERTISEMENTS
2. Walau sejatinya nggak tahu mau kerja apa, kami membayangkan betapa indahnya kalau di usia ini sudah bisa punya rumah dan mobil mewah.
Sebut kami matre, namanya juga keinginan, khayalan. Biar apa sih seseorang bermimpi? Biar hidupnya terus semangat, terpacu, termotivasi, bergerak maju, bukan jalan di tempat apalagi mundur. Siapa yang punya cita-cita miskin? Nggak ada kan? Paling nggak keinginannya hidup berkecukupan dan nggak pernah punya hutang.
Lalu kami ingin hidup mandiri, ingin pula membahagiakan orang tua dengan menunjukkan kesuksesan yang nyata. Orang tua kebanyakan kan pikirannya sama, mengukur sukses dari materi belaka. Padahal, kadang kami anaknya punya perspektif berbeda. Tapi yaudah sih ya, daripada bikin mereka mikir di usianya yang udah nggak muda, kabulin aja. Usaha biar punya rumah dan mobil mewah, lewat suami juga bisa.
ADVERTISEMENTS
3. Eits, tapi nggak hanya fokus pada gaji saja, kami juga ingin kok bekerja di tempat yang kami suka – kantor yang membuat kami tersenyum setiap harinya.
Kami sering mendengar cerita dari kawan sebaya atau juga yang lebih tua, tentang mereka yang terjebak dalam pekerjaan yang dibenci setengah mati. Dilakukan semata-mata hanya untuk rupiah atau dollar, apalagi? Sisanya justru mendapatkan pekerjaan yang sudah sangat sesuai dengan kata hati. Hingga susah move-on ke pekerjaan lain yang menawarkan tingkat kesejahteraan lebih tinggi.
Ahhhhh dari beragam cerita yang masuk ke telinga kanan dan kiri, kami juga tengah mengalami kebimbangan hebat dalam diri. Kami mengerti jika keinginan tak akan selalu kami dapati. Ada kalanya kami harus merelakan hal yang kami sukai demi meraih pencapaian yang jauh lebih tinggi. Kadang kami juga harus rela menurunkan tingkat kesejahteraan, demi ketulusan dan kenyamanan dalam pekerjaan.
ADVERTISEMENTS
4. Setelah seperempat abad (mungkin) kami merasa terkungkung dalam kenyamanan, kami mau keluar dari zona nyaman. Menentukan nasib sendiri, lewat usaha yang disenangi.
Katanya, untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, terkadang kita perlu keluar dari yang namanya zona nyaman. Sayangnya, otak kita selalu bekerja sebagai rem darurat ketika kita keluar dari zona nyaman itu tadi. Akibatnya, kita sering kali urung untuk keluar dari zona nyaman dan hidup pun terasa begitu-begitu saja tanpa ada perubahan yang lebih baik lagi.
Karena itulah, setelah menyelesaikan kuliah dan mencoba bekerja di perusahaan ternama, kami ingin mencoba menentukan nasib kami sendiri wahai Ayah Bunda. Di usia-yang-mulai-diragukan-kemudaannya, kami ingin membuat jiwa kami selalu muda dengan adanya tantangan yang mampu memacu adrenalin. Apa salah kalau kami merasa tak cocok menjadi karyawan, kerja ikut orang bukanlah minat dan gaya kami yang asli? Kami ingin menampakkan jati diri melalui usaha yang memang kami senangi. Kami ingin memula segalanya dengan rasa suka, bukan karena desakan orangtua.
ADVERTISEMENTS
5. Di usia ini, kami ingin segala luka hati bisa sembuh dengan sendirinya. Tanpa ada sisa, tanpa ada bekasnya.
Tak jarang kami berpikir, dulu semasa remaja kenapa bisa move on dalam sekejap mata. Makin dewasa, luka yang ada justru makin menganga. Dulu, kalau putus hari ini, bulan depan sudah siap punya pacar baru lagi. Tapi semakin kemari, membuka hati sudah tak mudah sama sekali. Di umur kami yang sudah seperempat abad ini, entah kenapa rasanya hati seakan dilapisi oleh beberapa pintu pengaman yang dengan rapatnya terkunci. Tidak mudah membukanya kembali selepas tersakiti.
Mungkin karena patah hati di usia ini sudah bukan lagi perkara tidak punya teman nonton atau tidak punya teman SMS-an mesra, tapi lebih dari sekadar itu. Jadilah, banyak coretan luka disana sini. Kehilangan pasangan rasanya tidak jauh beda dari kehilangan sahabat seperjuangan, membuat limbung dan kehilangan pegangan. Butuh waktu sampai bisa memulai lagi. Hati ini seakan perlu jeda cukup lama sampai ia siap diisi kembali. Tak salah kan jika kami ingin di usia ini semua luka bisa sembuh sendiri? Atau ada seseorang yang dengan tiba-tiba datang menyembuhkan.
ADVERTISEMENTS
6. Ingin rasanya bisa terus traveling. Menjelajahi berbagai tempat tanpa perlu khawatir sekalipun kualitas fisik terus melemah.
“Travelinglah selagi muda”
Begitu kata orang kebanyakan. Memang, bukan mitos juga kalau semakin bertambahnya usia, kekuatan fisik kita pun akan melemah. Kalau dulu pas 19 tahun bisa mendaki Semeru dalam kurun waktu tiga hari saja, kini di usia 25 jadi empat hari, itu pun butuh porter untuk membawakan barang-barang. See? Keinginan kami sih terus bisa traveling walau walau walau kenyataannya sudah tak setangkas dulu lagi~
Sebab, dengan traveling kami menyadari bahwa pengetahuan yang kami miliki saat ini bukan apa-apa. Tak hanya melihat alam, kami juga akan bertemu dengan ragam manusia, membuat paham pahwa masih banyak orang yang jauh lebih pintar dan bijaksana dari kami. Lewat traveling, kami belajar menghargai orang-orang lainnya, kami merasa bukan apa-apa, hanya butiran debu di jalanan saja.
7. Ini nih yang paling susah. Setiap hari, makin tua nanti, kami ingin bisa terus makan makanan lezat, tapi tetap sehat. Padahal yang gak sehat biasanya lebih enak! 😀
“Makanan enak itu kebanyakan bikin kanker”
Sudah pada sering denger kan? Iya, yang enak kebanyakan nggak sehat. Yang sehat kebanyakan nggak enak. Nggak mutlak sih sebenernya, tapi kok ya realita berkata seperti itu. Selagi muda dulu, di usia belasan atau 20-an awal, kami mah bodo amat mau makan apa, yang penting enak dan menggugah selera. Kala itu, kami berpikir jika masih bebas melakukan apapun, termasuk soal makanan dan istirahat.
Tapi, semakin kemari ada lagi hal yang kami sadari. Makin usia bertambah, penyakit pun mulai datang satu per satu. Sebabnya? Apalagi kalau bukan gaya hidup yang mencakup pola makanan, termasuk apa saja makanan yang masuk ke lambung kita. Semakin dewasa ternyata kami di hadapan kenyataan yang membuat kami tak bisa seenaknya sendiri menjalani hidup. Pola hidup harus diatur supaya bisa awet umur. Tapi, pengennya makan enak terus, gimana dong?
Jadi, inilah tujuh keinginan dan bayangan kami, para perempuan yang sedang menuju angka 25. Apa yang kamu inginkan sama? 25 itu kudu dewasa. Percayalah, itu juga sebatas keinginan belaka. Hahaha…