Marlina Si Pembunuh dalam 4 Babak. Awalnya saya heran mendengar judul semacam itu—nggak konvensional. Kenapa harus disebutkan bahwa film itu terdiri dari 4 babak? Belum-belum spoiler! Sudah begitu kata ‘Marlina’ dan ‘Pembunuh’, ya, jelas saja ceritanya bisa ketebak hanya dengan membaca judulnya: film 4 babak yang menceritakan tokoh pembunuh bernama Marlina. Saya yakin pembuat vidgram receh yang gila popularitas saja tentu dapat menerka film ini hanya dari judulnya.
Kemudian setelah saya baca berulang kali, penggunaan kata ‘babak’ justru menjauhkan saya dengan film. Pikiran saya mengabur. Bukankah penggunaan babak lebih sering kita dengar dalam aktivitas olahraga? Baru dua paragraf saja, film ini sudah membuat keheranan yang berlapis dipikiran saya: “Ini mau menghibur apa bikin kesal?”. Sudahlah, daripada kamu ikutan heran dan kesal mendengar prolog saya, berikut saya akan sampaikan 4 keheranan yang mambuatmu wajib menonton Marlina Si Pembunuh dalam 4 Babak!
(SPOILER ALERT)
ADVERTISEMENTS
Pertama, struktur ceritanya nggak biasa tapi masih bisa asyik untuk dinikmati. Aktornya lagi, nggak terkenal tapi jago akting!
Meskipun judulnya mengherankan, namun terdapat sesuatu yang nggak biasa dalam filmnya. Pertama, umumnya struktur cerita dalam sebuah film terdiri dari tiga babak: pengenalan karakter-konflik-penyelesaian. Namun film ini sudah terang-terangan keluar dari pola baku, dengan empat babaknya. Dalam film ini nggak ada pengenalan karakter, nggak ada penjelasan siapa Marlina, bagaimana latar belakangnya dan lain sebagainya sebagaimana film lainnya. Saya justru dikejutkan dengan konflik yang sudah mulai di awal cerita: perampokan Markus (Egi Fedly) dkk. ke rumah Marlina (Marsha Timothy) dan pembantaian yang dilakukan sang tokoh utama. Mau nggak mau kita mesti fokus dan cermat mengikuti jalan cerita kalau nggak mau pulang dengan seribu tanya.
Kedua, barangkali nggak ada muka-muka familiar yang muncul dalam layar sinema dalam film ini. Praktis hanya Marsha please, nggak usah latah memplesetkan ke Marsha bengek saja yang sering berperan dalam film-film ternama. Namun, bukan berarti akting Markus (Egi Fedly), Novi (Dea Panendra), dan Frans (Yoga Pratama) jelek, justru sebaliknya, saya terpukau dengan akting natural mereka. Tabik dari saya!
ADVERTISEMENTS
Pengambilan gambar yang sungguh berani serta nuansa musik yang magis nan memikat. Kok bisa kepikiran, ya?
Dalam film yang diputar dan dilombakan dalam beberapa festival film internasional ini, sebagai penonton saya merasa dimanjakan dengan pemandangan hamparan luas padang savana dan jernih lautan yang indah pulau Sumba. Tapi terus terang, saya sedikit terganggu dengan tempo lambat antar adegan yang membuat saya sesekali mengucek mata, namun hal itu berharga sepadan dengan keindahan panorama yang ditawarkan dalam frame. Mungkin karena saya lebih suka pergi ke alam dibanding ke mall karena takut dilabrak dan disebut valakor. Sangat kentara sekali bahwa sang filmmaker sengaja mengorbankan ritme film demi menunjukkan keindahan alam Sumba. Hal itu dibuktikan dengan pilihan wide angle yang mendominasi di beberapa adegan.
Ihwal musik, perkawinan antara musik khas film-film koboi Hollywood dengan musik tradisional—lagu daerah setempat diiringi dengan petikan junggo (alat musik tradisional Sumba)—memberikan nuansa magis. Semakin saya rasakan musiknya semakin saya merasakan kegelisahan Marlina.
ADVERTISEMENTS
Film ini agaknya seperti puisi. Heran, nggak banyak dialog, banyak ‘tanda’, tapi mengena!
Perlu kamu ketahui bahwa film ini minim dialog. Percakapan antar tokoh hanya dilakukan seperlunya saja untuk memperjelas cerita. Maka jangan heran kalau banyak adegan yang hanya berisi peristiwa saja tanpa kata-kata.
Menonton film ini kamu mesti cermat membaca isyarat tanda-tanda yang hanya bisa dibaca melewati gerak-gerik aktor dan penggambaran frame. Misalnya, nggak ada penjelasan naratif tentang mengapa suami Marlina yang duduk terdiam dengan tangan memangku dagu di awal film. Ketika melihatnya saya hanya bisa menerka-nerka, membaca tanda “Ini siapa? Kenapa dia diam saja?“. Kemudian saya berasumsi bahwa ia sudah mati. Saya benar! Dan jawaban resminya saya dapatkan setelah saya mencerna dialog antara Markus dan Marlina. Bukankah itu seperti puisi, kita dipaksa menerjemahkan dulu tanda-tanda (puisi lewat kelindan antara kata dan rima) sebelum akhirnya kita memperoleh jawaban?
ADVERTISEMENTS
Jangan heran kalau ada perempuan ‘tangguh’ seperti Marlina jika laki-laki masih berkehendak seenak jidatnya
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar maduNamun ada kala pria tak berdayaTekuk lutut di sudut kerling wanitaSabda Alam-Ismail Marzuki
Budaya patriarkis yang selalu menegaskan dominasi laki-laki terhadap perempuan dimunculkan sebagai wacana dalam film ini. Bedanya, film ini adalah bentuk otokritiknya. Film ini menekan balik pihak laki-laki sebagai yang berkuasa. Dengan adanya dua tokoh perempuan yang membuat para pria ‘bertekuk lutut’. Marlina menumpas habis perampok yang pengen merebut kehormatannya. Kepala yang terpisah dari badan menjadi harga sepadan atas tindak bejat lelaki yang nggak mampu menjaga kemaluannya: Markus dipenggal Marlina, dan Frans ditebas Novi.
Menariknya, hampir seluruh laki-laki yang muncul dalam film digambarkan ‘berengsek‘ dan beberapa tokoh perempuan digambarkan sebagai tokoh yang tangguh. Barangkali itu adalah sebuah bentuk peringatan bagi laki-laki, dan imbauan untuk perempuan yang disampaikan Mouly Surya.
Meskipun heran, namun saya sama sekali nggak merasa kecewa dengan hal itu. Karena 90 menit di dalam bioskop berasa sangat cepat dan intens, tapi sampai sekarang saya masih memikirkannya. Ya, barangkali jenis film ‘western’ seperti ini kurang disukai oleh penonton di Indonesia sehingga kalah dengan film Hollywood seperti Thor: Ragnarok dan Justice League. Namun dengan semua keheranan saya di atas semoga kamu berubah pikiran dan ikut mendukung karya anak bangsa dengan menontonnya.