Wiji Thukul. Sebagian dari kamu mungkin memang sudah tak asing saat mendengar dua kata tersebut. Apalagi baru-baru ini film Istirahatlah Kata-Kata yang ditayangkan di bioskop Tanah Air cukup menarik perhatian publik. Ya, benar! Wiji Thukul merupakan nama seorang aktivis sekaligus penyair yang menjadi korban represi rezim orde baru di sekitar era 1998. Ia terus lari dan diburu untuk ditangkap oleh jaringan Soeharto, hingga akhirnya bapak dari dua orang anak tersebut sampai kini tak pernah diketahui keberadaannya.
Sebagai aktivis, sepak terjangnya menyuarakan kemiskinan, perampasan tanah, kesejahteraan buruh, dan demokrasi dalam JAKKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) dan kemudian PRD (Partai Rakyat Demokratik) memang dianggap sebagai ancaman serius bagi rezim pemerintah Soeharto waktu itu. Lalu bagaimana sebagai penyair? Mungkin karyanya masih kalah secara artistik dibanding WS Rendra, Chairil Anwar, atau beberapa penyair adiluhung Tanah Air lainnya. Namun, yang membuat Wiji Thukul haram untuk dilupakan adalah sosoknya sendiri yang bisa melebur dengan sajak-sajaknya yang tajam bagai sembilu. Sajaknya sama berbahayanya dengan aktivismenya. Penuh nyali, berapi, dan nyata. Tak sedikit penyair yang menulis tentang perjuangan sosial dan politik, namun Wiji Thukul mengalami semua itu secara langsung. Ia adalah tokoh dalam puisinya. Membaca puisinya membuat kita sadar bahwa maut senantiasa mengawasinya. Dan ketika ia bicara tentang dirinya sendiri, kita mahfum ada jutaan rakyat jelata tertindas yang terwakili, laksana akar rumput yang gersang dan terinjak-injak namun tak mudah mati.
Mungkin di masa-masa itu kamu masih berada dalam usia dini, di mana belum memahami betul apa yang terjadi. Zaman macam apa yang bisa membuat seorang penyair tiba-tiba hilang begitu saja? Sericuh apa kondisi sosial politik waktu itu? Beberapa bukti serta asumsi kuat yang muncul membuat banyak pihak menduga ia sengaja dihilangkan karena terlalu gigih mengutuki kelaliman negara. Namun, justru di situlah puisi-puisinya berperan. Kita bisa menyimaknya untuk tahu seberapa bengis dan serakah pemerintahan di kala itu. Karena Wiji Thukul tak pernah mati, ia terus hidup dalam puisi-puisinya.
ADVERTISEMENTS
1. Secara tak langsung puisi ini seperti merujuk pada kondisi rumah-rumah masyarakat di masa itu, begitu sempit dan kumuh
ADVERTISEMENTS
2. Telihat pula bagaimana cara Wiji Thukul berusaha mengajak muda-mudi di masa itu untuk tak hanya diam dan berusaha agar melakukan perlawanan
ADVERTISEMENTS
3. Apapun yang terjadi saat itu, Wiji Thukul tak pernah berharap jika kebenaran dibiarkan terbungkam
ADVERTISEMENTS
4. “Apa yang berharga dari puisiku…”
ADVERTISEMENTS
5. Kutipan puisi ini menunjukkan jika pribadi Wiji Thukul adalah sosok yang tak pernah gentar
ADVERTISEMENTS
6. Seperti bisa dipahami kalau Wiji Thukul berterima kasih pada kondisi di mana banyak pelajaran bisa diambilnya, juga untuk anak dan istrinya
7. “Tidurlah, kata-kata, kita bangkit nanti…”
8. Dalam kondisi apapun, penyair satu ini memang seperti tak lelah dan terus berusaha menulis untuk mengabadikan beragam perjalanannya
9. Bantal tas dan punggung tangannya pun seperti menjadi saksi perjalanan melarikan diri saat Thukul tengah buron
10. Ia pun seperti tak habis-habisnya menceritakan penindasan bagi banyak masyarakat di waktu lalu
11. Seperti tak ada kepastian kapan ia pulang, nyatanya…. Ia memang tak lagi pernah pulang
12. “Seperti tikus selokan…”
13. Bagi Thukul pergerakan tersebut memang membuat segala kebenaran tak lagi nampak nyata dan lurus sewajarnya 🙁
14. Seperti ingin menjelaskan kalau kepergiannya adalah untuk merampas kembali haknya yang telah dirampas dan dicuri oleh pemerintah
15. Apa pun dan bagaimana pun kondisinya, penulis tetaplah harus menulis. Itulah yang dilakukan Wiji Thukul
Itu dia beberapa karya Wiji Thukul yang bisa dikenang sampai dengan hari ini. Berbagai puisi yang ditulisnya seperti bisa menjadi wadah untuk menapak tilas sejarah Orde Baru. Tiada raganya yang bisa kita temui hingga saat ini, namun sajak-sajaknya adalah dokumentasi terbaik tentang kisah sebuah penindasan….. dan perlawanan!