Kota Jogja selalu memiliki keramahannya sendiri. Bagi yang tinggal menetap, perantau, maupun pendatang yang hanya singgah sejenak di kota gudeg ini, semuanya memiliki ceritanya masing-masing. Seperti lirik lagu Kla Project, setiap sudut kota Jogja selalu menyapa bersahabat dan penuh selaksa mana. Kamu yang sempat menikmati suasana Jogja di tahun 1990-an, tentu memiliki kisah sendiri. Kenangan manis tentang Jogja ini, cuma bisa dipahami oleh kamu yang sempat merasakan Jogja di tahun ’90-an.
ADVERTISEMENTS
1. Hal pertama yang paling kamu ingat adalah Jogja nggak seramai dan semacet seperti saat ini.
Setelah beberapa tahun pindah dari Jogja, kamu pun merasa kangen dengan kota Jogja. Kangen dengan suasananya yang tenang dan bebas macet, tidak seperti di tempat kerjamu sekarang yang sumpek dengan gedung bertingkat dan macet. Kamu pun menyempatkan diri mengunjungi Jogja untuk sekedar melepas rindu dan merasakan ketenangan sejenak. Faktanya, kamu menemukan Jogja yang juga macet dan banyak pembangunan di mana-mana.
“Jogja sekarang macet ya? Ini mau dibangun jadi apa? Wah hotel lagi, apartemen lagi…”
ADVERTISEMENTS
2. Sewaktu kamu tinggal Jogja dulu, satu-satunya mall yang gaul dan oke banget cuma Galeria.
Tentu saja, kamu terkejut dengan perubahan Jogja. Di tahun ’90-an dulu, bangunan tinggi di Jogja belum banyak. Tempat gaul dan satu-satunya tempat yang dijadikan untuk nge-mall pada saat itu hanyalah Gale yang terletak di daerah Sagan. Sayangnya, mall tergaul itu belum dilengkapi dengan bioskop.
ADVERTISEMENTS
3. Kalau mau nonton, kamu bisa ke bioskop Mataram dan bela-belain ngatri di situ.
Walaupun di Gale nggak ada bioskop, kamu masih bisa nonton film-film terbaru di bioskop Mataram. Di situlah salah satu bioskop di kota Jogja yang membuat kamu nggak roaming ketika ada teman-teman dari luar kota ngobrolin soal film. Walaupun sering kali ketika menonton, kamu seperti mendengar suara decitan tikus, kamu tetap rela mengantri panjang untuk nonton di bioskop ini.
ADVERTISEMENTS
4. Pilihan makan tengah malam dulu nggak terlalu banyak, paling gudeg; makanya kota ini terkenal sebagai Kota Gudeg.
Enggak seperti sekarang yang banyak banget tempat makan buka sampai tengah malam atau bahkan dua puluh empat jam, dengan menu dari yang beragam dari menu barat, timur tengah bahkan oriental, di Jogja ’90-an kamu nggak punya pilihan lain selain gudeg ketika lapar di tengah malam. Ada gudeg yang buka sampai pagi hari juga yang buka mulai pagi. Rasanya hampir setiap saat ada penjual gudeg. Banyak dan hampir semuanya enak. Wajarlah kalau Jogja disebut dengan kota gudeg.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
5. Angkringan memang tempat nongkrongnya bapak-bapak, nggak ada angkringan gaul kayak sekarang.
Ketika merasakan Jogja tahun ’90-an, angkringan sepertinya identik dengan tempat ngopi bapak-bapak. Sesekali, kamu memang pernah ke angkringan untuk membeli sebungkus nasi kucing (baca: lagi kere). Di angkringan itu kamu bisa sedikit mencuri dengar bapak-bapak yang ngobrolin isu-isu sosial yang lagi panas di Jogja atau becandaan dengan gaya bahasa yang khas Jogja banget. Berbeda dengan angkringan sekarang yang ada versi gaulnya, ada WiFinya dan harga yang dipatok adalah ‘harga turis’.
Obrolan di angkringan tahun ’90-an*
“Ndek wingi sing menang RT ning panggonmu sopo?” (Kemarin yang menang RT di tempatmu siapa?)
Obrolan di angkringan tahun 2015*
“Wah, gilak yak masih ada nasi kayak gini harga Rp 5000,- murah banget!”
*dulu paling dua ribu, mas!*
6. Sebelum jadi gedung bioskop keren, bulu kudukmu sering berdiri ketika melewati gedung eks-supermarket di Jln. Urip Sumoharjo yang pernah terbakar itu~ Hiiiii
Sebelum ramai seperti sekarang, tentu kamu juga sering merasa horor melewati beberapa tempat di Jogja, terutama saat malam hari. Yang paling kamu waspadai adalah bekas gedung supermarket & bioskop yang pernah terbakar di Jalan Urip Sumoharjo. Banyak cerita-cerita seram tentang tempat tersebut sehingga kalau kamu lewat sana bulu kudukmu sering berdiri karena pikiranmu yang sudah terisi berbagai cerita seram. Kalau sekarang kamu lewat sana, justru kamu pingin mampir dan ngecek ada film apa yang baru, soalnya sekarang sudah jadi gedung bioskop yang besar dan bagus. Enggak takut lagi deh lewat sana.
7. Hiburan lain yang bisa kamu nikmati: game centre yang paling happening saat itu adalah Rumi atau Rumah Mirota.
Warung internet dan game centre memang belum banyak seperti saat ini. Tapi, kamu anak Jogja ’90-an yang doyan nge-game punya tempat main yang jadi jujukan banyak gamers lainnya. Tempat itu adalah Rumi alias Rumah Mirota yang mana tempat itu sekarang sudah jadi tempat jualan kue dan es krim.
8. Kamu yang anak Jogja ’90-an akan merasa bangga kalau sekolahnya di SMP 5 lalu lanjut di SMA 3.
Dua sekolah yang terlerletak di daerah Kota Baru ini memang jadi favorit di Jogja. Makanya kalau masuk sana rasanya bangga banget. Gosipnya, di SMP 5 punya lorong bawah tanah peninggalan Belanda yang bisa sampai ke Parangtritis.
9. Kamu juga mendengar beberapa stereotip tentang anak SMA di Jogja
Kalau anak SMA 1: Alim-alim, luruslah pokoknya.
Anak SMA 3: bermobil.
Anak SMA 6 suka tawuran sama anak SMA 9
10. Sebagai anak Jogja ’90-an, kamu menjadi saksi munculnya band-band asal Jogja yang berhasil menggebrak panggung musik nasional.
Sheila on 7 dan Jikustik adalah salah dua dari sekian banyak band asal Jogja yang berhasil nongkrong di puncak chart ampuh MTV (anak ’90-an pasti tahu acara ini). Musisi-musisi asal yang membuat Jogja dikenal bukan hanya sebagai pusat tradisi Jawa atau kesenian-kesenian yang berbau Jawa, tapi juga bisa diperhitungkan dalam budaya pop.
11. Band-band sukses asal Jogja tersebut juga memunculkan membuat tren baru di Kota Pelajar ini.
Setelah banyak band asal Jogja ngetop, anak muda di Jogja pun punya trend baru. Yup! Anak muda Jogja ’90-an jadi suka ngeband dan nongkrong di studio band. Tak heran, kalau sampai sekarang, masih banyak band atau musisi asal Jogja yang mewarnai dunia musik Indonesia.
12. Dan juga jadi mulai banyak pensi juga.
Banyak yang suka nge-band membuat banyak juga sekolah-sekolah yang mengadakan pentas seni atau pensi. Enggak seperti pensi sekarang yang jadi ajang lomba mendatangkan artis luar, pensi di era ’90-an benar-benar menunjukkan bakat seni dari murid-muridnya. Namanya juga pensi sekolah, panggung untuk siswa-siswa berkreasi, bukan konser artis yang sudah terkenal.
13. Mungkin kamu belum pernah masuk, tapi kamu tahu ada tempat disko yang namanya Jogja Jogja di Borobudur Plaza.
Siapa yang sempet ngerasain ajojing di sini?
14. Masuk UGM susah? Kamu yang pernah tinggal di Jogja tahun ’90-an pasti nggak pernah merasa kalau masuk UGM susah.
Banyak yang beranggapan masuk UGM itu susah. Kalau masuk itu maksudnya jadi mahasiswa UGM, mungkin memang susah. Tapi kalau cuma sekedar masuk ke kampus UGM sih gampang-gampang saja. Terutama untuk kamu yang merasakan tinggal di Jogja di tahun ’90-an. Waktu itu, masuk UGM nggak perlu melewati portal dan ambil karcis, tinggal keluar masuk dan lewat saja. Pedagang kaki lima pun bisa masuk dengan bebas ke area kampus. Ini nih kenapa UGM dulu sering disebut-sebut sebagai kampus kerakyatan.
15. Meski udah sering macet, hotel dan apartemen merajalela, dan biaya hidupnya gak semurah dulu, Jogja tetap selalu di hati. Jogja selalu jadi tempat untuk pulang…
Memang, Jogja sudah tak sekalem di masa ’90-an. Meski demikian, kota Jogja tak pernah berubah di hati. Selalu ada tempat untuk pulang ke rumah yang disebut dengan Jogja.