ADVERTISEMENTS
5. Salawaku, tak hanya bergantung pada eloknya deburan ombak dan moleknya panorama pesisir
Keuntungan instan dari film layar lebar yang mengambil latar Indonesia bagian timur adalah mendapatkan lanskap pemandangan yang memesona. Penyakitnya, seringkali eksotisme ini terlalu dicari-cari sehingga malah berakhir eksploitasi semata. Berlatar Pulau Seram, Maluku, Salawaku juga tak luput memanfaatkan “fasilitas” itu, namun hasilnya berbeda. Pertama, Pritagita Arianegara selaku sutradara memanfaatkan sajian visual tersebut dengan kinerja yang maksimal, hingga sukses diganjar Piala Citra pada kategori Pengarah Sinematografi Terbaik. Kedua, film ini juga punya konten lain selain pamer panorama. Salawaku menunjukan bahwa konflik tokohnya (yang sengaja tidak disebutkan di sini, demi menghormati makna spoiler) bisa terjadi di manapun, baik masyarakat perkotaan modern maupun yang masih dinafkahi oleh cuaca dan segara.
ADVERTISEMENTS
4. Cek Toko Sebelah, film komedi yang ideal untuk menutup tahun 2016
Rasanya Ernest Prakasa bukan yang paling piawai mengocok perut dari atas panggung, namun ia adalah jagoan dari belakang dan depan layar lebar. Ernest kembali membuktikan kualitasnya sebagai sutradara yang sanggup mengumpulkan segerombol pelawak tunggal (stand up comedian) untuk kemudian bermain film dengan benar, alih-alih hanya melawak tanpa aturan seperti di Comic 8 dan sejenisnya. Sebagaimana Ngenest (2015), Cek Toko Sebelah bisa tetap mengutarakan perspektif (masih berangkat dari seluk beluk kehidupan sosial kaum Tionghoa Indonesia) di antara hujan jokes di sana -sini. Walaupun tak selalu mulus di perpindahan nuansanya, namun kita tetap bisa menikmati banyolan saat mesti tertawa dan tersentuh saat adegan melankolia. Sesuram apapun tahun 2016 untukmu, kamu masih bisa menutupnya dengan gelak tawa dan haru biru di ujung tahun, coba saja Cek Toko Sebelah.
ADVERTISEMENTS
3. Istirahatlah Kata-Kata, tafsiran yang impresif terhadap momen pelarian sosok Wiji Thukul dari kejaran pemerintahan Orde Baru
Film ini agaknya memang tak akan mudah dinikmati oleh mereka yang asing dengan nama Wiji Thukul. Namun, adalah kewajiban bagi para pengagum sastrawan-aktivis HAM yang diduga diculik oleh militer 98 ini untuk menyimak dan merenungi Istirahatlah Kata-Kata. Dari serpihan riwayat radikal Wiji Thukul, Yosep Anggi Noen selaku sutradara memilih mengabadikan periode awal pelarian Wiji sebagai buronan tentara. Ia pejuang biasa, bukan Tan Malaka atau apalagi Bung Karno yang punya bala pengikut. Namun, makna keberadaannya tak jauh berbeda. Bagi sosok seperti Wiji, berlari adalah melawan. Bertahan hidup adalah sebuah ancaman penumbangan. Menyimak kesunyian yang ia hadapi di masanya main kucing-kucingan dengan aparat sudah seperti melihat sisi lain sebuah peperangan. Akting Gunawan Maryanto sebagai Wiji Thukul dan pemeran lainnya sukses merengkuh ekspresi-ekspresi yang realistis, didukung naskah dialog yang juga amat riil. Sesuatu yang perlu ada dan berlipat ganda di film-film Indonesia.
ADVERTISEMENTS
2. Ziarah, kisah seorang nenek yang harus berjibaku untuk menemukan peristirahatan terakhir mendiang suaminya
Di usianya yang sepuh, cita-cita Mbah Sri hanya tersisa satu: menemukan makam suaminya yang hilang semasa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949. Ziarah berisi perjuangan tiada lelah dari Mbah Sri untuk meraihnya. Dari sekadar lokasi makam, perlahan misi itu berkembang maknanya menjadi pengusutan sejarah dan kebenaran. Upaya pembengkokan keduanya selalu ada, sehingga Ziarah mengajukan pertanyaan, “apakah kebenaran perlu diungkap walau itu pahit dan berisiko?” Kamu yang pernah tinggal, atau minimal tiap lebaran pulang kampung ke daerah pedesaan di Jawa Tengah dan sekitarnya mungkin secara pribadi juga akan jatuh hati ketika menyimak ada banyak adegan obrolan khas kampung halaman dengan bahasa Jawa alus maupun kasar.
ADVERTISEMENTS
1. Athirah, film tentang ibunda Jusuf Kalla sebagai sosok yang mandiri namun tetap setia mendampingi
Athirah adalah film yang begitu rapi. Semua elemen ada pada tempatnya. Namun, di luar keparipurnaan itu, film ini berhasil menunjukan adanya kemungkinan perempuan memenuhi kewajibannya di konteks islam dalam jerat poligami tanpa harus (di sisi lain) menjadi pasif dan terdominasi. Athirah tidak menunjukan kebergantungan pada suaminya. Ia bisa saja lepas dan angkat kaki. Ada independensi, emansipasi, dan pembebasan dalam karakternya. Sebuah cara mengagumkan untuk mewujudkan sebuah tokoh wanita ideal di mata khalayak islam modern tanpa harus dilabeli film religi atau mengumbar adegan-adegan sholat berlinang air mata. Dan Hipwee akhirnya sepakat dengan juri FFI (Festival Film Indonesia) untuk mendapuk Athirah sebagai film Indonesia terbaik tahun ini.