Memiliki keturunan menjadi impian sebagian pasangan yang telah menikah. Anggapan buah hati sebagai harapan di masa depan atau pelengkap kebahagiaan kerap kali terdengar sebagai alasan yang menyertai. Kadang-kadang, pertanyaan “Kapan nih mau punya momongan?” atau tuntutan dari keluarga dekat seperti “Ibu sudah pengin gendong cucu,” dilontarkan kepada mereka yang sudah menikah tetapi belum dikaruniai anugerah.
Alhasil, banyak yang sudah kadung terbebani dengan penilaian tersebut. Padahal, realitanya mempunyai anak itu nggak semudah yang dibayangkan. Selain ada kuasa Tuhan di baliknya, menjadi orang tua juga perlu persiapan yang matang. Maka dari itu, mungkin sekarang ini kita sering mendengar pasangan yang memutuskan untuk child free hingga yang memilih nggak lagi menambah momongan.
Keluarga berencana pun digaungkan sebagai bentuk mengendalikan kelahiran bagi mereka yang belum siap. Nah, kalau ngomongin KB, banyak cara yang bisa dilakukan pasangan untuk menghindari kehamilan. Mulai dari yang dibantu medis sampai opsi lain yang lebih alami. Salah satunya adalah vasektomi, efektif sih, tapi masih banyak batasannya. Simak yuk penjelasan tentang metode ini sekaligus cerita dari seorang pria yang melakukannya!
ADVERTISEMENTS
Vasektomi mungkin terdengar masih kurang familier dilakukan pria yang telah menikah. Padahal, metode ini dinilai sebagai kontrasepsi paling efektif lo~
Vasektomi untuk pria | Credit: Gabriel Tovar on Unsplash
Kebanyakan orang tahu prosedur medis menghindari kehamilan hanya diperuntukan bagi perempuan. Sebenarnya, ada juga metode khusus dilakukan oleh pria, salah satunya adalah vasektomi.
Mengutip Planned Parenthood,vasektomi atau sterilisasi pada pria menjadi salah satu jenis alat kontrasepsi yang paling efektif. Namun, kinerja vasektomi nggak langsung segera berhasil. Diperlukan sekitar 3 bulan bagi air mani atau semen menjadi bebas sperma. Dalam jurnal Scientific Reports, vasektomi disebut sebagai metode kontrasepsi yang sederhana, efektif, dan permanen.
Perlu diketahui bahwa jenis prosedur ini terbagi menjadi dua, yakni vasektomi konvensional dan vaksetomi tanpa pembedahan. Jenis yang pertama dokter akan membuat sayatan di skrotum hingga mencapai saluran testis “vas deferens“. Kemudian dipotong ke bagian kecil, dilepas, dan meninggalkan celah pendek di antara kedua ujungnya. Ahli urologi akan mengikat ujung yang dipotong atau memberikan jahitan di antara keduanya. Ketika setiap vas deferens dipotong, sperma nggak lagi bisa mencapai air mani.
Sementara itu, vaksetomi tanpa pembedahan dengan cara menahan saluran sperma memakai penjepit kecil. Sebuah lubang kecil dibuat di kulit dan direntangkan sehingga vas deferens dapat diangkat dengan lembut. Sebelum akhirnya dipotong, diikat, dan dipasang kembali pada tempatnya.
ADVERTISEMENTS
Vasektomi nggak sepenuhnya permanen, hanya saja untuk kembali ke fungsinya bisa lebih mahal dan terkadang rumit
Vasektomi sering digambarkan menjadi sesuatu yang menakutkan. Apalagi dengan embel-embel “permanen”. Maka dari itu, seseorang yang melakukan prosedur ini benar-benar harus mempertimbangkan dan mendiskusikannya dengan profesional.
Sebenarnya, vasektomi ini nggak sepenuhnya permanen. Dikutip dari Healthline, prosedur keberhasilan pengembalian vasektomi dikatakan meningkat. Namun, pengerjaannya tentu jauh lebih rumit, tarif yang dikenakan pun semakin besar. Dua metode untuk mengembalikan vasektomi, yakni dengan prosedur vasovasostomi (VV) dan epididymovasostomy (EV). Keduanya melibatkan penyambungan kembali vas deferens untuk membuat aliran sperma masuk ke air mani.
ADVERTISEMENTS
Di Indonesia sendiri metode vasektomi jadi pilihan banyak pria. Pahitnya, tak jarang justru terbentur batasan usia
KB yang kerap terbentur batasan usia | Credit: Nik Shuliahin on Unsplash
Kepada Hipwee Premium, Achmad Fatkhur Rozi menceritakan pengalamannya yang pengin menjalankan prosedur vasektomi. Sebenarnya ia dan sang istri sempat terpikir untuk tak memiliki momongan. Akan tetapi, setelah berdiskusi keduanya memutuskan cukup satu orang anak saja. Ia pun berniat untuk melakukan vasektomi lantaran dinilai lebih simpel, tanpa harus berkali-kali ke dokter untuk suntik atau konsumsi pil. Di sisi lain, tekadnya semakin bulat usai menonton proses vasektomi via virtual reality sewaktu di US.
Singkat cerita, pada 2020 silam ia mendatangi 2 rumah sakit di Yogyakarta untuk melakukan prosedur tersebut. Di sana, Rozi ditanya beberapa hal mulai dari status pernikahan, ada tidaknya buah hati dan berapa usianya, hingga apakah sudah mendapat persetujuan dari istri. Sayangnya saat ia menyebut usia 28 tahun, pihak medis menolak dengan alasan takut adanya penyesalan.
“Semuanya menolak karena usiaku masih muda. Padahal, kan, aku sama istri sudah bulat pengin cuma punya satu anak. Kalau nggak salah inget, mereka baru mau vasektomi kalau usiaku sudah 35,” tutur Achmad Fatkhur Rozi, Rabu (1/12/2021).
Hal lain yang membuatnya tak habis pikir, pihak rumah sakit dan dokter memberikan alasan yang seolah-olah menakuti. Padahal, sebelum memutuskan untuk vasektomi pasti sudah dipertimbangkan dengan matang bersama pasangan.
“Alasannya biar aku nggak menyesal nantinya. Takutnya ‘anakku kenapa-kenapa, jadi mending punya opsi untuk punya anak lagi buat jaga-jaga’. Ini nggak make sense buatku,” sambungnya.
Menurut Rozi, penerapan vasektomi yang dari awal sudah ada izin semestinya bisa dipermudah untuk melakukan tindakan. Apa pun alasanya, akan lebih baik jika tidak ada intervensi yang menghalangi akses kontrasepsi bagi pria.
“Kalau emang pasien sudah yakin, ya sudah diproses. Ketika sudah di usia dewasa, harusnya mau tanda tangan consent form saja sudah cukup jadi bukti kalau dia beneran yakin,” tutupnya.
ADVERTISEMENTS
Jika di Indonesia vasektomi masih menyulitkan bagi beberapa pihak. Bagaimana penerapannya di luar negeri?
Pertanyaannya banyak/ Illustration by Hipwee
Dilansir dari Republika, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat menyebut beberapa persyaratan vasektomi, di antaranya keluarga pria minimal sudah memiliki tiga anak, anak terakhir telah menginjak 5 tahun, dan umur sang pria setidaknya 30 tahun ke atas.
Jika melihat persyaratan di negara Amerika Serikat jelas cukup berbeda, secara umum siapa pun yang memilih vasektomi mesti berusia di atas 18 tahun menurut perundang-undangannya. Hal ini juga nggak terbebas dari kontroversi. Vasektomi pada usia 18 tahun mungkin sah, tetapi banyak pihak dokter yang menolak dengan alasan terlalu muda untuk membuat keputusan yang tepat.
Selain itu, berdasarkan laporan National Institutes of Health, banyak dokter yang percaya bahwa mereka yang berusia 20-an lebih mungkin berubah pikiran daripada orang-orang di kelompok usia lainnya. Sedangkan, mereka yang berusai 25 tahun juga mungkin akan mengalami sedikit penolakan, tetapi direkomendasikan agar menyimpan benih di bank sperma untuk prosedur pembuahan di masa depan.
Masih dikutip dari Healthline, setelah usai 25 tahun vasektomi menjadi lebih umum. Penelitian American Journal of Men’s Health menemukan bahwa rata-rata usia untuk vasektomi sekitar 35 tahun, dengan rentang usia tipikal prosedur antara 35 hingga 56 tahun.
ADVERTISEMENTS
Meski diperdebatkan, vasektomi justru jadi gerakan KB yang nggak hanya menitikberatkan pada perempuan
Kleuarga berencana | Credit Lauren Richmond on Unsplash
Sebanyak 34 persen wanita berhenti menggunakan alat kontrasepsi lantaran efek samping yang ditimbulkan pada tubuh. Hal ini berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada September 2021 yang dilansir dari Kompas.
Di sisi lain, kesadaran soal kesehatan reproduksi dan pentingnya kontrasepsi masih sangat rendah di kalangan pria. Sangat sedikit kaum adam yang bersedia menggunakan alat kontrasepsi, yakni sebesar 3,62 persen. Meski demikian, bukan berarti tak ada yang peduli. nyatanya masih banyak di luar sana yang mengutamakan berbagi peran dalam kehidupan rumah tangga.
“Kasihan istri sudah melahirkan, eh dia juga yang harus KB. Sepengetahuanku tubektomi (sterilisasi untuk perempuan) semakin muda saat melakukannya, kemungkinan berhasilnya semakin sedikit. Jadi, biar aman, ya mending aku,” papar Achmad Fatkhur Rozi kepada Hipwee Premium.
Maka dari itu, penting sekali untuk mendiskusikan setiap metode keluarga berencana kepada pasangan. Penggunaan kontrasepsi yang nggak dibedakan bukankah bertujuan baik? Supaya tujuan bersama nggak hanya dibebankan ke salah satu pihak saja, sekaligus menciptakan hubungan yang lebih sehat. Selain itu, juga diharapkan dunia medis lebih ramah dalam menyikapi keputusan yang sudah dibuat oleh pasien. Hal ini dilakukan agar nggak ada lagi kesulitan akses penggunaan kontrasepsi untuk pria.