Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru Nasional. Inilah waktu yang tepat untuk mengenang kembali jasa berharga mereka kepada kita, sedari kita mungil hingga mendewasa. Surat ini ditulis sebagai ucapan terima kasih sederhana, serta peluk jarak jauh untuk mereka. Bagaimanapun, kita semua berhutang pada mereka: yang kerap didaulat ‘pahlawan tanpa tanda jasa’.
Bapak, Ibu Guruku,
Assalamualaikum.
Bagaimana kabar Bapak dan Ibu saat ini? Mungkin Bapak-Ibu sudah tak mengingatku lagi. Rambutku sudah tak disisir seperti dulu, tinggiku pun bisa jadi sudah setara denganmu. Suaraku telah matang, berubah satu oktaf lebih rendah dibanding dulu — saat Bapak-Ibu dan diri mungilku pertama kali bertemu.
Pertama kali masuk sekolah adalah masa yang mendebarkan buatku. Seumur hidup dimanjakan kehangatan rumah, duduk di ruangan kelas bersama anak-anak lain yang tak kukenal membuatku tak nyaman. Engkau tahu sekali itu. Kau berjongkok untuk menyeka air mataku.
Engkau yang menghidupkan semangat belajarku kala itu. Membiarkanku menyanyikan lagu riang, menggambar pohon yang bentuknya seperti cakar ayam, mewarnai papan gambar dengan berbagai rona. Engkau meyakinkanku bahwa daya cipta tak ada batasnya.
Bahkan engkaulah alasan kenapa aku mampu mengetik surat ini sekarang. Tidakkah kau ingat, ketika aku masih salah menulis abjad dan angka? Ketika aku masih sering bertanya: “Huruf b dan d bedanya apa?”
Kekuatan terbesarmu adalah keuletan, agar kami tetap sabar dalam belajar. “Ibu, bagaimana cara menulis “aku” ?” “Bagaimana berhitung 1 + 1?”
Sesungguhnya, jasamu ada pada tiap huruf dan kata yang kurangkai. Pada tiap hitungan sederhana yang selalu ada dalam hidup sehari-hari orang dewasa.
Bapak-Ibu, apakah yang engkau lakukan ketika kelelahan?
Karena bukan aku saja yang harus engkau pertanggungjawabkan. Tugasmu pun tak cuma mengulang isi buku pelajaran. Perjuanganmu yang lebih besar, adalah menumbuhkan cinta kami pada ilmu pengetahuan.
Tak banyak tantangan di dunia ini yang lebih besar dari tantangan yang datang padamu. Apalagi mengingat betapa muda dan merasa-sudah-paling-tahu-nya anak-anak yang harus kau asuh itu.
Tidak sedikit dari kami, anak didikmu, yang nakal. Membolos, menyontek, merokok, sampai menggunakan fisik untuk bertengkar. Lalu kadang engkau dapati aku pergi melompati pagar sekolah, lalu engkau menghukumku berdiri di lapangan. Terik, malu, dan tentu saja melelahkanku.
Aku jadi membencimu dengan sangat. Menyumpah-nyumpah bahwa engkau adalah guru yang jahat, galak dan menyebalkan.
Tak jarang, aku kesal pada aturan yang engkau terapkan. Belum lagi kau memaksaku mengerjakan banyak hal. Menggarap berbagai soal mungkin masih bisa kuterima… namun mendengarkan ceramahmu yang membosankan? Ah! Buat apa?
Nilai-nilaiku tak selalu yang menjadi terbaik di kelas. Bahkan, motivasiku untuk belajar pun kembang-kempis. Tapi kau tak melihatku sebagai anak yang malas. Kau memutuskan melihat lebih jauh, menyadari bahwa bocah yang terlihat tak peduli ini sebenarnya krisis kepercayaan diri. Memang benar, aku selalu merasa bahwa aku tak mampu. Ada satu masa dimana aku lelah harus mengejar ketertinggalanku.
Engkaulah yang memegang pundakku sambil berkata, “Kamu bisa.”
“Kamu harus percaya, kamu bisa!”
Hingga detik ini, aku selalu mengingat matamu saat kau mengatakannya.
Tentu itu tak langsung menjadikanku murid yang cemerlang. Aku akan menangis seharian, menyalahkan guru yang tidak becus mengajariku. Jauh di dalam hati kecilmu, sesungguhnya engkau yang menangis lebih lama dariku. Tentu kau berhak merasa gagal mendidikku. Lambat laun aku tahu, itu bukan semata-mata kesalahanmu. Kau diam saja, menerima sangkaan itu.
Bapak-Ibu Guru,
Bapak dan Ibulah yang pernah bertanya padaku dulu: “Apa cita-citamu?”
Waktu kecil aku mantap menjawab pertanyaan itu, namun semakin besar, semakin aku ragu. Tak jarang, engkau memaksaku untuk mencari jawabanya. Dengan sabar, engkau terus menyalakan semangat bermimpi dalam hidupku. Tidak pernahkan engkau juga memikirkan masa depanmu sendiri? Misalnya… tentang kenaikan gaji misalnya.
Tentu pernah. Bagaimanapun engkau manusia dewasa, punya keluarga yang harus mesti disuapi. Tak jarang aku berpapasan padamu di sore hari, sepulang sekolah. Aku sedang duduk-duduk di warung bersama teman-teman, sementara engkau baru pulang dari tempatmu bekerja sambilan.
Ya, untuk mengimbangi kebutuhan hidup yang semakin membumbung tinggi, engkau harus mengemban dua pekerjaan.
Aku malu ketika sadar beratnya tanggung jawabmu.
Bapak Ibu, masihkah kesehatanmu terjaga hari ini?
Dengan memutuskan menjadi guru, engkau sudah berani menjalani hidup sederhana. Engkau yang rela mendapatkan gaji pangkal 500.000 rupiah setiap bulannya. Engkau yang rela menempuh jarak jauh dan menghabiskan waktu bersama kami di sekolah. Anak-anakmu tak hanya mereka yang istrimu atau kau lahirkan sendiri. Anak-anakmu adalah kami.
Bagaimana kau menjaga tenagamu? Setelah pagi mengajar, sore kerja sambilan, malam mengoreksi tugas dan mengurus keluarga… sampai-sampai aku ingin sekali bilang pada Pak Presiden agar hidupmu lebih diperhatikan. Bukankah tugasmu tidak ringan?
Aku tidak ingin engkau sering bolos mengajar hanya karena biaya transportasi yang digunakan setiap hari lebih tinggi dibandingkan gaji yang engkau terima. Aku tidak ingin engkau hanya bisa mengajar perkalian matematika karena tak mampu melanjutkan sekolah untuk belajar aritmatika.
Bapak-Ibu Guru, masihkah engkau mengenalku?
Aku yang sudah tumbuh besar, bukan lagi anak ingusan yang belajar membaca aksara. Engkau yang mengajarkanku untuk membaca tentang kehidupan yang ternyata tidak sesederhana menghafalkan puisi Rendra.
Sekarang, mungkin juga engkau takut dengan pertanyaan-pertanyaanku yang sudah jauh lebih maju dari yang dulu. Mungkin engkau cemas tak lagi bisa “meladeniku”.
Ketahuilah, jika sekarang aku lebih pintar, itu bukan berarti aku lebih hebat darimu. Engkaulah yang mengantarkanku ke pintu-pintu pengetahuan yang lebih maju. Bagaimana bisa aku sombong di depanmu?
Hari ini, aku menulis suratmu Bapak Ibu guru.
Mungkin engkau sedang letih setelah sibuk mengajar di sekolah. Atau capai, karena harus apel dan upacara seharian. Tapi aku hanya ingin engkau tahu, aku sangat berterima kasih atas semuanya. Maafkan aku yang membebani pikiranmu dengan kenakalan-kenakalanku. Maafkan aku yang seringkali tidak mematuhimu. Maafkan aku yang jarang sekali menyapamu untuk hanya sekedar menanyakan “Apa kabar, Bapak-Ibu?” Maafkan aku yang lupa bagaimana berterima kasih padamu.
Terima kasih telah rela membesarkanku. Terima kasih telah membentukku menjadi manusia yang baru. Terima kasih untukmu, berjuta-juta kali dariku.
Dari anak didikmu,
Yang sudah lama tak menyalamimu.