Meski sudah tak lagi jadi satu-satunya standar kelulusan, Ujian Nasional atau UN masih saja jadi momok bagi para pelajar Indonesia. Belajar selama tiga tahun lamanya, masih harus dinilai dari performa satu hari. Konsep ini yang masih dianggap sebagai sebuah bentuk ketidakadilan. Namun pemerintah juga tampaknya masih enggan untuk benar-benar menghentikan UN dan beralih ke sistem penilaian rapor keseluruhan. Keinginan pemerintah menjembatani hal tersebut tergambarkan melalui kebijakan baru yang dicanangkan akan dimulai April 2017 nanti.
ADVERTISEMENTS
Jumlah mata pelajaran yang akan diujikan dalam UN 2017 untuk SMA akan dikurangi. Menariknya, ada satu mata pelajaran yang bebas pilih sendiri
Kalau tahun-tahun sebelumnya UN SMA berisikan enam mata pelajaran, tahun 2017 hanya empat mata pelajaran yang diikutsertakan. Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris tentu tak akan tergantikan. Namun, Biologi, Fisika, dan Kimia untuk jurusan IPA, serta Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi untuk jurusan IPS hanya salah satu saja yang akan diujikan.
Para siswa jurusan IPA, IPS, dan Bahasa diperbolehkan memilih satu mata pelajaran sesuai jurusan masing-masing. Dilansir dari harian Jawa Pos, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kemendikbud Nizam menyatakan, aturan ini dibuat untuk memenuhi rasa keadilan. Harapannya, dengan memilih mata pelajaran yang disukai, maka siswa tak lagi merasa terbebani.
ADVERTISEMENTS
Ada pihak yang bersorak gembira, ada juga sebagian yang menyebut kebijakan baru ini justru mengabaikan kepentingan siswa. Isu blunder pun menggema dimana-mana
Masih dari sumber yang sama, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rochmat Wahab menilai bahwa kebijakan Kemendikbud ini blunder. Dia berasumsi, ketika UN seharusnya mengukur kemampuan siswa sesuai penjurusan secara utuh, kebijakan baru ini justru tak akan mampu mengukur hal yang selama ini menjadi tujuan.
“Anak IPA ya diuji semua mata pelajarannya. Begitu pula anak IPS maupun anak jurusan bahasa. Harus komplet,” terang Rochmat.
Dia pun berpendapat, mestinya ketika usulan moratorium UN ditolak, Kemendikbud tetap saja menjalankan UN yang sudah ada selama ini. Tak perlu repot mencari formula baru lagi. Tinggal kecurangan saja yang harus terus dikurangi.
ADVERTISEMENTS
Memang benar usulan moratorium UN ditolak presiden, tapi apa iya perubahan ini justru menyempurnakan? Bukan malah merepotkan sebagian kalangan?
Usulan moratorium atau penghentian sementara UN telah ditolak dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo pada 19 Desember lalu. Setelahnya berdalih memperbaiki kualitas UN, Muhadjir Effendy yang menjabat sebagai Mendikbud saat ini pun mencanangkan kebijakan baru agar siswa SMA memilih mata pelajarannya sendiri. Hal ini menjadi tak relevan ketika tak semua sekolah ternyata mampu mengaplikasikannya.
Pasalnya, belum semua sekolah mengerjakan ujian dengan berbasis komputer atau yang biasa disingkat CBT (computer based test). Masih ada beberapa sekolah di Indonesia yang masih mengerjakan UN berbasis kertas atau manual. Kenapa tidak hal ini disempurnakan lebih dulu, sebelum mencanangkan kebijakan baru? Sebab, secara tak langsung CBT pun turut andil dalam kebijakan baru ini.
Bagi sekolah yang mengerjakan UN dengan kertas, pilihan mata pelajaran yang diujikan harus seragam. Sementara untuk sekolah yang UN-nya menggunakan komputer, pilihan mapelnya bisa bebas per individu. Apakah yang begini dibilang adil?
ADVERTISEMENTS
Pelaksanaan UN selalu berubah setiap tahunnya. Apa iya sistem pendidikan di Indonesia harus selalu berubah seiring bergantinya menteri atau pejabat di dalamnya?
Sebut saja ketika peralihan dari M. Nuh ke Anies Baswedan pada Oktober 2014 silam, bukankah sempat terjadi kisruh pro kontra Kurikulum 2013? Bahkan ketika menduduki jabatan dalam jangka waktu dua bulan saja, Anies sudah ‘berani’ menghapuskannya. Sempat ada wacana pula bahwa nilai UN tak lagi menentukan kelulusan, nyatanya juga hanya berhenti di titik wacana saja.
Lalu, ketika UN 2014 materi soalnya dari perguruan tinggi, 2015 disebut lebih deep learning disertai dengan CBT. Tahun ini? Ada lagi kebijakan baru untuk siswa SMA yang boleh memilih mata pelajaran sesuai jurusan sesuai kehendak hati. Di saat tahun lalu baru 30 sekolah di Jakarta yang menerapkan CBT, apa iya kebijakan baru ini bisa diterapkan dan tak boleh dinyatakan tergesa?
Sejatinya, negeri ini ingin mencetak SDM seperti apa kalau konsistensi dalam sistem pendidikannya saja belum tercipta?