Di sebuah warung kopi modern di salah satu sudut kota Yogyakarta, saya duduk seorang diri. Mulanya saya merasa kesepian, mengingat saat itu adalah hari pertama saya menginjakkan kaki di kota pelajar ini. Tak lama berselang, datang beberapa anak muda yang saya rasa mahasiswa, meramaikan suasana warung kopi sore itu. Tapi yang menarik perhatian saya adalah ketika mereka memesan menu pada seorang pelayan di mejanya. Bahasa yang mereka gunakan. Ya, mereka dengan fasih berbahasa Indonesia. Nggak ada yang salah, kendati mereka sejatinya berada di Jogja, dan mayoritas—saya yakin, orang Jawa. Saya merasa seperti masih tinggal di Jakarta.
Mereka mulai bercengkerama, ngobrol ngalor-ngidul enak tenan. Dan di sinilah keheranan saya membuncah. Mereka berbicara dalam bahasa Inggris! Entah apa tujuannya, saya kurang yakin; mentang-mentang di seberang meja mereka ada sepasang turis asing atau karena memang mereka malu menggunakan bahasa ibu?
Masalah penggunaan bahasa ini ternyata memang sangat menarik, terlebih bagi saya pribadi. Pasalnya, nggak hanya di dunia nyata orang-orang lebih suka menggunakan bahasa asing, bahkan di dunia maya pun demikian adanya. Jika hal ini terus berlanjut, kepunahan bahasa ibu, bahasa Indonesia, bisa segera terjadi, bukan? Lantas pertanyaannya, apa sebab mereka—generasi muda—lebih tertarik untuk berbahasa asing daripada bahasa mereka sendiri? Apa kepentingan mereka? Kalau bahasa kita punah, siapa yang harus disalahkan? Pemerintah? Para orangtua?
ADVERTISEMENTS
Sederet alasan ketika ditanya kenapa mereka lebih suka menggunakan bahasa asing, baik lisan maupun tulisan
Alay, kurang representatif, nggak keren, ingin go international, untuk menjaring interaksi lebih luas dengan warganet asing, dan sebagainya, menjadi alasan banyak orang saat ditanya mengenai pemilihan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi di media sosial. Rupanya, seribu hal bisa menjadi alasan untuk nggak menggunakan bahasa kita sendiri, ya?
Sementara Holmes dalam An Introduction to Sociolinguistics (2008) mengatakan bahwa komunikator cenderung menggunakan bahasa ibu dari lawan bicara mereka sebagai upaya membangun solidaritas. Ya, mungkin kalau alasannya ingin go internasional, berkomunikasi dengan warganet asing, memang masih berterima. Tapi kalau teman yang terhubung langsung (saling mengikuti) berasal dari negara yang sama, untuk apa?
Biar orang nggak paham kalau lagi gue sindir. – NN
Kalau memang demikian tujuannya, kita bisa mengatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam media sosial juga menerapkan konsep diglosia. Seperti halnya bahasa Indonesia di era modern ini. Artinya, penggunaan bahasa ini harus menyesuaikan situasinya.
Ketika kita berbicara dengan dosen atau orang yang lebih tua (atasan), bahasa yang kita gunakan adalah bahasa formal. Sedangkan ketika kita nongkrong di warung kopi, bahasa sehari-harilah yang kita gunakan. Begitulah diglosia. Begitulah kiranya bahasa Inggris di media sosial kita saat ini; menggunakan bahasa Inggris untuk menyindir seseorang atau ingin sekadar terlihat keren. Lagipula, apa untungnya menyindir orang lain dengan menggunakan bahasa asing? Bukankah pesanmu juga nggak akan sampai padanya? Bukankah itu sia-sia belaka?
ADVERTISEMENTS
Peran UU Nomor 24 Tahun 2009 yang nggak mendapat tempat di kesadaran masyarakat—anak muda Indonesia
Untuk poin ini, rasanya kita harus mengingatkan para pihak terkait yang memang memiliki kuasa. Seperti para pengusaha yang memasang iklan di pinggir-pinggir jalan, para pengembang pada fasilitas umum (ruang publik), media, hingga figur publik. Pasalnya, mereka memiliki masa yang cukup luas dan kuat dalam penyebaran bahasa. Terlebih ketika mereka menggunakan media sosial sebagai alat pengiklanan.
Seperti nggak peduli, mereka memajang beragam iklan besar-besar dengan bahasa Inggris, Italia, Jerman, hingga Korea di berbagai kesempatan dan tempat. Padahal penggunaan bahasa Indonesia sudah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia. Tapi sayangnya, peraturan ini masih kerap abai oleh mereka yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.
Namun ketika ditanya mengenai pemilihan istilah berbahasa asing pada semua produk, berbagai alasan pun berhamburan; mengurangi nilai jual, nggak keren, nggak eye catching, dll.. Toh, sebenarnya hal itu juga nggak berpengaruh besar pada jumlah pemasukan. Justru istilah atau toponimi dengan bahasa Indonesia bisa memberikan citra kekhasan Indonesia di mata masyarakat luar. Ambilah contoh menu pada sebuah warung kopi: black coffee. Turis cuma melihatnya sebagai segelas kopi hitam. Tapi ketika kamu menggunakan nama kopi item, bisa dipastikan mereka akan penasaran dengan bentuk dan rasanya. Lha wong di negara asalnya nggak ada menu dengan nama kopi item. Masalah hasil jual? Sama saja, nggak akan rugi juga.
ADVERTISEMENTS
Kids zaman now nggak bisa disalahkan. Tapi pemuda-pemudi zaman kinilah yang harus membenarkan!
Secara nggak langsung, kita nggak bisa menyalahkan kids zaman now dalam ketertarikannya menggunakan bahasa Inggris atau asing. Harusnya ini menjadi tanggung jawab anak muda zaman sekarang, yang berkesempatan belajar dan mengajarkan bahasa Indonesia pada generasi di bawahnya. Terlebih, ‘agen-agen’ ini sudah banyak yang menyabet predikat mahmud atau pahmud.
Tapi sayangnya, generasi ini lebih mengedepankan mahir berbahasa asing daripada bahasa Indonesia, apalagi bahasa ibu. Alasannya pun seperti yang sudah saya paparkan di atas. Padahal, dalam banyak konteks, bahasa Indonesia bisa mewakili apapun yang kita kehendaki. Toh, semua kosa katanya begitu familiar di telinga kita, bukan?
Memang nggak ada yang salah menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi, tapi konteks dan situasinyalah yang harus diperhatikan. Dan menanggalkan bahasa ibu adalah sebuah kesalahan pada dewasa ini. Sebab, wacana penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sangat berpeluang besar. Artinya, kita sebagai penutur pertama sangat diuntungkan dengan hal ini dong. Harusnya.
Memang, seyogianya nggak salah kalau kita belajar berbahasa asing. Karena kita tetap akan membutuhkannya sewaktu-waktu. Tapi kalau menanggalkan bahasa Indonesia karena beberapa alasan konyol—apalagi nggak keren—bukan sebuah hal yang bijak, mengingat kita adalah bangsa Indonesia. Ya, paling nggak, kita harus memberikan porsi yang tepat dalam penggunaan bahasa pada adik-adik kita.
Jadi, rasanya akan sulit bahasa Indonesia bisa menjadi tuan di rumah sendiri jika masyarakat, khususnya generasi muda, kurang menyadari betapa pentingnya bahasa Indonesia hari ini, esok, dan seterusnya.