Kekerasan dalam dunia pendidikan kembali terjadi, kali ini dilakukan sekelompok senior di sekolah penerbangan di Makassar kepada juniornya. Korban yang merupakan siswa tingkat pertama ini sampai kehilangan nyawa setelah disiksa dengan sadis oleh seniornya sendiri. Sedihnya lagi, peristiwa pemukulan itu terjadi di kampus mereka sendiri. Alasannya pun sangat sederhana, kita sebagai manusia normal pasti nggak habis pikir kenapa senior-senior itu tega menghabisi nyawa juniornya.
Ayah korban cukup terpukul dengan adanya kasus ini. Terlebih, ia sudah berkorban banyak demi bisa menyekolahkan anaknya di akademi penerbangan. Nahasnya, anak kesayangannya itu malah tewas sia-sia di tangan senior yang bahkan nggak ikut membesarkan dan merawat si anak! Simak kisah selengkapnya yang sudah Hipwee News & Feature rangkum berikut ini.
ADVERTISEMENTS
Taruna tingkat pertama di Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP) harus meregang nyawa setelah disiksa seniornya sendiri. Ia meninggal saat perjalanan ke rumah sakit
Aldama Putra Pangkolan, 19 tahun, seorang siswa tingkat pertama di Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP), Makassar, terpaksa kehilangan nyawa setelah jadi korban kekerasan oleh senior-nya sendiri. Aldama dipukul beberapa kali di bagian dada setelah sebelumnya disuruh melebarkan kaki dengan kepala di bawah dan tangan di belakang pinggang, seperti dikutip Kompas. Alasan pemukulan Aldama ini terbilang sepele, katanya karena dia nggak memakai helm saat berkendara di lingkungan kampus!
Dari keterangan ayahnya, para senior yang memukulinya sempat panik setelah Aladama mulai sempoyongan dan jatuh. Mereka memberi nafas buatan dan memberi minyak kayu putih. Saat dibawa ke RS Sayang Rakyat, sedihnya nyawa Aldama sudah nggak bisa tertolong.
Pihak kampus sempat mengatakan kalau Aldama meninggal setelah jatuh dari kamar mandi. Tapi setelah ayahnya menerima laporan anaknya dianiaya, polisi menetapkan 1 senior sebagai tersangka. Pelaku pun langsung diskors
Masih dikutip dari Kompas, saat itu pihak ATKP sempat menyatakan Aldama meninggal karena terjatuh dari kamar mandi. Tapi ayah korban menerima laporan kalau anaknya disiksa senior. Ia pun melapor ke polisi setelah menemukan juga tanda lebam-lebam di sekujur tubuh anaknya. Setelah dilakukan penyelidikan, polisi menetapkan 1 senior bernama Muhammad Rusdi sebagai tersangka.
Saat ini kabarnya pelaku sudah dijatuhi hukuman skorsing sampai ada kejelasan proses hukum. Kata Direktur ATKP Makassar, Agus Susanto, dalam Sulsel Satu, pihaknya nggak segan-segan mengeluarkan pelaku jika memang proses hukumnya sudah jelas.
Sedih banget ketika ayah korban mengatakan sudah keluar uang puluhan juta demi anaknya bisa sekolah di sana. Tapi ujung-ujungnya malah dianiaya sampai meninggal
Heran lo sama senior yang tega menghabisi nyawa juniornya gini. Walau awalnya mungkin nggak bermaksud membunuh dan “cuma” menertibkan junior seperti bagaimana senior-seniornya dulu bertindak, tapi tetap kita tidak habis pikir kenapa tragedi seperti ini terus berulang. Ayah korban, Pelda Daniel, yang merupakan anggota TNI AU, mengaku sangat sedih dengan kejadian ini. Ia menilai pihak kampus telah lalai membimbing anak didiknya. Padahal seperti dikutip Viva, tiap semester Daniel sudah rela mengeluarkan biaya Rp21 juta demi menyekolahkan Aldama. Tapi miris, anaknya justru tewas sia-sia akibat kultur kekerasan yang sudah mendarah daging.
Kekerasan berujung kematian di akademi militer seperti ini sudah berkali-kali terjadi. Menurut seorang pensiunan polisi, budaya ini baru bisa dihentikan jika ada perombakan total di institusi pendidikan militer
Meskipun sudah banyak pelaku yang berakhir di penjara, tapi rasanya budaya kekerasan seperti di atas masih sulit dihapuskan. Keras dalam hal disiplin sih mungkin masih wajar, seperti push up tiap ada kesalahan, lari pagi memutari area kampus, dan lain-lain. Tapi kalau sampai melibatkan kekerasan fisik yang berujung kematian, itu sih nggak bisa dibenarkan.
Seorang pensiunan polisi, Bambang Widodo Umar, dikutip BBC, berpendapat kultur berlatar amarah atau dendam ini bisa dihilangkan jika dilakukan perombakan total di tubuh akademi militer secara umum. Mungkin dengan menanamkan persepsi kalau kedudukan aparat ini nantinya akan sejajar dengan masyarakat sipil. Ini harus diterapkan di setiap kurikulum pembelajaran. Dengan begitu, rasa senioritas bisa ditekan.
Kita yang melihat berita-berita tragis seperti ini dari luar, mungkin memang tidak akan bisa benar-benar memahami betapa bermasalahnya lingkaran senioritas di sekolah-sekolah. Bahkan intervensi dari pusat atau pemerintah pun kadang tidak cukup, jika pihak sekolah maupun siswanya tidak memiliki komitmen kuat untuk memutus mata rantai kekerasan dalam lingkungan mereka.