Alasan banyak atlet menderita di masa tua | Illustration by Hipwee via www.hipwee.com
Deretan hadiah fantastis masih terus mengalir untuk pebulu tangkis ganda putri Greysia Polli dan Apriyani Rahayu. Pujian dan sanjungan tak henti-hentinya tertuju pada mereka. Gaungnya masih ramai sampai hari ini di berbagai sosial media. Keberhasilan mengharumkan Indonesia di mata dunia lewat raihan medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 melambungkan nama mereka.
Dihujani hadiah dan berbagai perhatian, percayakah kamu kalau masa depan atlet jauh dari kata gemerlap? Di balik kejayaannya, atlet dihantui masa tua yang suram. Tidak ada jaminan hidup dengan layak di masa tua, meskipun mereka pernah berjasa. Bayangan hidup di bawah garis kemiskinan, tidak dikenal, dan terlupakan, menjadi momok yang tak terelakkan.
Di tengah suka cita kemenangan Greysia-Apriyani, sosok Abdul Razak mencuat dan langsung mencuri atensi. Kini, mantan atlet dayung dengan puluhan medali emas sekarang berporfesi nelayan kecil. Jauh dari gelimang harta-benda, apalagi popularitas. Abdul Razak menambah panjang potret gelap masa tua atlet selepas masa kejayaannya.
“Kok bisa, ya?”
Cerita-cerita atlet yang mengalami masa tua yang suram itu bukan bualan semata. Bukan cuma atlet di Indonesia, banyak atlet manca negara mengalami hal serupa. Coba deh, baca dulu ulasan ini. Ada masalah serius di balik kehidupan atlet yang tampak bersinar.
ADVERTISEMENTS
Di masa kejayaannya, atlet jadi pusat perhatian. Mereka dilimpahi banyak bonus dan hadiah dengan harga miliaran
Setiap kali menang dan berhasil menggondol medali, atlet selalu disambut hangat ketika pulang ke Tanah Air. Selain hadiah karena memenangkan pertandingan, mereka masih menerima sejumlah hadian dan bonus dengan harganya selangit. Misalnya, Greysia Poli dan Apriyani Rahayu yang masih hangat di kepala banyak orang. Terhitung lebih dari 7 hadiah yang mereka terima dari pemerintah, perusahaan, sampai tokoh publik. Nggak main-main, ya.
Daftar hadiah Greysia Poli- Apriyani Rahayu:
Pemerintah menyiapkan uang Rp5 miliar
Gilang Widya Pramana sebagai crazy rich Malang menjanjikan uang Rp500 juta
Ketua Umum PBSI memberikan apartemen elit
Pemkab Konawe dan Pemkot Tomohon menghadiahi tanah
Aktor Chicco Jerikco beri kesempatan minum kopi gratis seumur hidup
Anies Baswedan menyerahkan rumh seharga Ro3,3 miliar dan uang Rp800 juta
Sandiaga Uno menjanjikan plesiran gratis ke 5 destinasi wisata prioritas Indonesia, dan masih banyak lagi
Sama halnya dengan Greysia-Apriyani, atlet pebulu tangkis seperti Taufik Hidayat dan The Minions pernah mendapatkan banyak hadiah di masa kejayaannya. Sebagai pemilik predikat juara dunia, Taufik Hidayat pernah diganjar dengan hadiah Rp1 miliar setelah menjuarai Olimpiade Athena 2004 silam. Sementara itu, pemain tunggal Sony Dwi Kuncoro dan ganda Flandi Limpele/Eng Hian mendapatkan ratusan juta karena berhasil menyabet medali perunggu.
Tak jauh beda nih, Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya yang dijuluki The Minions pun mendapatkan bonus. Usai menempati podium juara satu di Dubai World Superseries Finals 2017, mereka menerima bonus Rp150 juta dari pemerintah. Selain tepuk tangan dan pujian, pundi-pundi harta para atlet yang pernah meraih medali dijamin bertambah. Namun, apakah banyaknya bonus dan hadiah menjadi jaminan hidup mereka kelak tetap terjamin dan layak?
ADVERTISEMENTS
Pelan-pelan nama atlet mulai meredup. Masa kejayaan sirna dan mereka menghadapi masa tua tanpa jaminan kesejahteraan
Nasib malang mantan atlet dayung, Abdul Razak, nyatanya cuma satu dari sekian banyaknya atlet Indonesia yang menjalani masa tua dengan penuh keterbatasan. Padahal mereka menyumbang medali dan penghargaan di masa kejayaan. Tapi, kehidupan berubah drastis ketika pelan-pelan nama mereka mulai redup. Yuk, kita bahas atlet-atlet yang masa tuanya jauh dari kata sejahtera:
Abdul Razak
Masa tua Abdul Razak harus berakhir sebagai nelayan kecil. Mantan atlet dayung itu pernah menyabet tiga medali emas dalam kejuaraan nasional tahun 1987. Semenjak itu, karier melesat bak roket. Ia masuk dengan mulus ke dalam jajaran skuad pemusaan latihan nasional setahun kemudian. Jalannya menuju ajang Sea Games pun dipenuhi dengan kemenangan, lagi-lagi ia mendapatkan tiga medali emas. Tahun-tahun berlalu, Abdul Razak terus mengukir prestasi. Sejumlah medali emas dan perunggu ia peroleh.
Asian Games Hiroshima tahun 1994 menjadi kejuaraan terakhir yang diikutinya. Terhitung 48 medali ia kantongi selama berkarier. Setelah gantung kayuh, ia menjadi pelatih. Saat memutuskan pensiun dan pulang ke kampung halaman di Wakatobi, Abdul Razak tinggal di rumah kecil. Gajinya yang ‘mungil’ pun nggak cukup untuk memperbaiki rumah. Karena kebutuhannya pun tak terpenuhi, ia menjadi nelayan. Saking sulit kondisi keuangannya, Abdul Razak harus menjual motor kesayangan ketika ingin mendanai tujuh anak asuhnya yang akan berlaga ke ajang PON Jawa Barat pada tahun 2016 lalu.
Rachman Kilikili
Kematian Rachman Kilikili tahun 2017 telah memberikan jejak kelam bagi dunia olahraga Indonesia. Semasa hidup, Rachman dikenal sebagai petinju yang sering mengikuti ajang internasional seperti Pra Olimpiade di Uzbekistan tahun 1995 dan kejuaraan tinju dunia amatir di Jerman tahun 1994. Meski sampai kahir hayat nggak pernah mengantongi gelar juara di ajang internasional, namanya tetap harum di Indonesia. Saat memutuskan pensiun, ia menjadi pengangguran. Tragisnya, ia memilih mengakhiri hidup karena tekanan terus menderanya. Stres akibat sulit mencari pekerjaan setelah menanggalkan sarung tinju diduga menjadi penyebab utama kematiannya.
Denny Thios
Mantan atlet Denny Thios harus menghadapi kenyataan pahit yang sama. Pernah mengharumkan bangsa lewat kejuaraan angkat besi dunia tahun 1990-an. Ia meraih medali emas International Powerlifting Federation (IPF) World Championships. Namanya tercatat pernah mengikuti kejuaraan dunia angkat besi sebanyak 5 kali di berbagai negara seperti Belanda dan Australia. Sepanjang lima kali keikutsertaannya, Denny meraih tiga emas dan satu perunggu.
Masa gemilang Denny tak berjalan seiringan dengan masa tuanya. Denny akhirnya bekerja sebaagai tukang las di bengkel kecil peninggalan orangtuanya usai pensiun. Hingga akhir hayatnya tahun 2018 lalu, ia masih belum lepas dari jerat kemiskinan. Ia ‘terjebak’ bersama dengan besi-bei tua di bengkel lasnya. Padahal prestasinya nggak perlu diragukan lagi. Ia pernah menang dalam perlombaan di Inggris dan Swedia. Bahkan ia sukses memecahkan tiga rekor dunia sekaligus.
Sayangnya, kebanyakan masa tua atlet di Indonesia sangat memprihatinkan. Sebagai sosok yang pernah membanggakan bangsa, di masa tua mereka justru hidup penuh kekurangan.
Fakta tentang masa tua atlet | Illustration by Hipwee
ADVERTISEMENTS
Jadi masalah umum di negara lain, nasib atlet di masa tua dipenuhi tanda tanya
Setelah menang olimpiade, lantas apa selanjutnya?
Masalahnya adalah bukan seberapa banyak bonus dan hadiah yang diterima. Tapi, masa depan para atlet setelah mereka tak lagi aktif bertanding dan pensiun yang menjadi tanda tanya besar. Beberapa atlet memang beruntung, bisa hidup layak setelah menggantungkan raket atau sepatu bolanya. Sayang, lebih banyak lagi atet yang harus menjalani hari-hari tua dengan kondisi tidak sejahtera. Mereka kesulitan mencari pekerjaan dan membiayai kebutuhan sehari-hari. Seolah dunia mereka terbalik sepenuhnya setelah sempat mencicip masa jaya.
Walaupun banyak hadiah, sebuah studi global yang dinukil dari Insider menunjukkan hasil mengejutkan. Sekitar 60% atlet peraih medali olimpiade mengaku tidak stabil secara finansial. Beberapa atlet mungkin mendapatkan sponsor, tapi itu pun hanya segelintir. Meskipun mereka bisa mendapatkan tunjangan, tetap saja pendapatan tersebut tak menutupi kebutuhan. Situasi inilah yang kerap dialami oleh atlet Amerika Serikat.
Bagaimana dengan atlet yang tidak mendapatkan medali dalam olimpiade?
Kabar buruknya, para atlet Amerika Serikat tidak mendapatkan kompensasi bila mereka tidak menang. Jalan satu-satunya mendapatkan uang dan menjadi kaya adalah mereka harus memenangkan pertandingan dan meraih medali. Tapi, mengandalkan bonus dan hadiah dari kemanangan olimpiade bukanlah jaminan utama. Apalagi bila atlet tidak lahir dari keluarga jutawan. Bayang-bayang masa depan tanpa stabilitas finansial masih menjadi momok yang menakutkan.
Atlet dan masa depannya yang tak terjamin sebenarnya bukan masalah baru. Sejak bertahun-tahun lalu, dengungan itu sudah terdengar bahkan dari kalangan atlet sendiri. Seharusnya, masalah ini segera ditindaklanjuti. Jangan sampai ada lagi atlet yang sudah purna tak terurus di masa tua. Karena perjuangan mereka layak dihargai sebesar-besarnya.