Menstruasi atau haid sepertinya sudah lumrah diterima sebagai bagian dari kehidupan perempuan sehari-hari. Meski perut suka kram atau terkadang sakit luar biasa, tapi ya tetap bersekolah maupun bekerja. Paling-paling kalau tidak tertahakan, izin di hari pertama. Bukan sesuatu yang membuat perempuan sepenuhnya berhenti beraktivitas. Namun ternyata di kota Leeds, Inggris, sejumlah siswi terpaksa membolos dari sekolah ketika sedang datang bulan. Kenapa? Alasannya karena tidak mampu beli tampon, tipe pembalut yang lebih umum digunakan di luar negeri.
BBC melaporkan bahwa penemuan mengejutkan tersebut berhubungan langsung dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi di kota Leeds. Tapi semahal apa sih tampon sampai orang di negara semaju Inggris tidak bisa mencapainya? Sementara di Indonesia, pembalut bukan hal yang sulit dibeli. Kalaupun tak ada yang lusinan, toh ada yang sachetan. Jadi kenapa bisa negara yang katanya terkaya no.5 di dunia, warganya kesulitan beli tampon?
ADVERTISEMENTS
Fakta ini terungkap ketika melihat daftar kehadiran sejumlah siswi, yang selalu absen berhari-hari dalam sebulan. Ternyata mereka malu ke sekolah saat haid karena tak bisa beli tampon
Sara Barrie, seorang polisi wanita yang bertugas di kota Leeds, mengungkapkan banyak remaja putri di sana yang tidak masuk sekolah saat sedang haid. Beberapa diantaranya sangat bergantung kepada guru untuk menyediakan kebutuhan bulanan, seperti pembalut atau tampon. Barrie juga mengungkapkan bahwa beberapa guru memang membantu dengan membelikan pembalut dengan uang pribadi, agar anak didiknya bisa tetap ke sekolah saat datang bulan.
Menurut pengakuan siswi-siswi tersebut, banyak cara yang coba dilakukan untuk menampung pendarahan ketika haid. Mulai dari memakai kaos kaki sampai menempelkan tisu toilet ke celana dalam dengan selotip. Ini jelas memprihatinkan dan bukan hanya soal bisa sekolah atau tidak. Bayangkan saja bagaimana sebuah kaos kaki bisa dijadikan pembalut darurat. Sementara ketidak-higienisan saat datang bulan bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.
“Aku membalut sekeliling celana dalam dengan sebuah kaos kaki untuk menghentikan pendarahan karena aku tidak mau diteriaki. Dan aku membalut satu roll tisu di sana agar celana dalamku tetap kering sampai tiba di rumah. Sesekali aku menempelkan tisu ke celana dalam. Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan.” ujar salah seorang gadis remaja kepada BBC Radio.
ADVERTISEMENTS
Kesulitan ekonomi adalah faktor utamanya. Sungguh ironis sebab Inggris dikenal sebagai negara yang kaya raya
Yang lebih mengangetkan tentu karena di balik semua itu, alasan utamanya adalah soal kesulitan finansial. Akan sedikit masuk akal bila terjadi di negara-negara Afrika yang memang masih tertinggal ekonominya. Kebanyakan dari siswi yang tidak hadir di sekolah saat menstruasi ini memang berasal dari keluarga yang penghasilannya rendah. Kesulitan keuangan membuat barang seperti tampon atau pembalut tidak menjadi salah satu prioritas.
“Aku tidak punya uang karena ibuku adalah orang tua tunggal dan dia punya lima mulut yang harus diberi makan, jadi tidak ada uang yang tersisa untuk diberikan ke kami.”
Di Inggris, pembalut yang harganya 2,98 Poundsterling atau sekitar Rp48 ribu. Memang sedikit lebih mahal dibanding di Indonesia, namun bukankah Inggris terkenal sebagai negara kaya?
ADVERTISEMENTS
Fakta yang mengejutkan adalah bahwa isu ini terjadi di Inggris, karena biasanya lebih sering terdengar ditemukan di negara-negara Afrika
Leeds bukan satu-satunya yang mengalami permasalahan soal ketersediaan pembalut atau tampon. Dilansir dari Global Citizen, UNICEF mengestimasikan 1 dari 10 pelajar putri di negara-negara Afrika tidak masuk sekolah. Siswi-siswi ini melewatkan hampir 20% dari waktu sekolah selama satu tahun karena tidak mampu beli pembalut. Kasus ini kembali menunjukkan bahwa tidak peduli dimanapun baik di Inggris maupun Afrika, yang paling menderita dalam kemiskinan adalah perempuan.
Bahkan di Indonesia sendiri. Sejujurnya saja, pembahasan tentang masalah ini sepertinya kurang. Padaha mungkin saja, di daerah-daerah pelosok banyak juga gadis-gadis yang mengalami dilema seperti ini tapi tetap bungkam karena rasa malu. Padahal tampon atau pembalut bagi perempuan merupakan kebutuhan mendasar yang mungkin sama pentingnya dengan makanan. Ironisnya di hadapan kemiskinan, kebutuhan itu seringkali diabaikan.
ADVERTISEMENTS
Menjadi sorotan dunia, kini organisasi Freedom4Girls turun tangan. Meskipun begitu, persoalannya ternyata jauh lebih besar karena menyangkut soal kemiskinan
Freedom4Girls adalah sebuah organisasi nirlaba yang men-supply kebutuhan menstruasi untuk gadis-gadis di Kenya, kini melakukan hal yang sama di Inggris. Sang Co-founder, Tina Leslie sudah memulai aksi penggalangan dana untuk mengatasi persoalan ini. Akan tetapi, persoalannya tentu tidak selesai di sana. Karena akar dari persoalan yaitu kemiskinan, tetap harus dipikirkan.
“Kalau kamu tidak punya makanan, tentu kamu tidak punya uang untuk beli perlengkapan menstruasi.” Ungkap Tina Leslie.
Karena hal ini juga, parlemen Inggris tengah disorot karena dianggap kurang mewadahi kesetaraan gender dengan fasilitas kesehatan yang timpang. Sementara itu di Skotlandia, sedang marak pula kampanye agar tampon dan pembalut disubsidi oleh pemerintah alias digratiskan. Barangkali langkah yang sama harus dilakukan oleh Inggris. Subsidi pemerintah tak hanya soal makanan dan bahan bakar saja, melainkan juga kebutuhan dasar perempuan, entah itu tampon, pembalut, atau menstrual pad.
Apa yang terjadi di Inggris dan Kenya bisa menjadi gambaran bahwa masih banyak perempuan yang kesulitan dalam menghadapi tamu bulanan. Bahwa fasilitas dan keamanan kesehatan untuk perempuan yang belum memadai tentu menjadi tanggung jawab global untuk dipikirkan. Tak hanya semata soal ekonomi, tapi juga kesempatan perempuan untuk tampil di dunia. Pembalut dan tampon jelas termasuk kebutuhan wajib untuk perempuan, untuk tetap bisa beraktivitas dengan nyaman meski sedang datang bulan.