Hey. Barangkali kamu akan tersenyum geli ketika menemukan surat ini, Priaku. Mungkin kamu pun bertanya. Kenapa jadi aku yang mengirimimu tulisan di Hari Wanita Internasional? Bukankah seharusnya ini giliranmu mengungkapkan perasaan?
Tapi sudahlah, bukankah kita sama-sama cukup dewasa untuk tidak lagi menghitung untung-rugi dalam urusan hati? Di hari paling spesial bagi para wanita ini ijinkan aku sedikit memutar peran, agar kaulah yang justru jadi pusat perhatian.
ADVERTISEMENTS
Seringkali aku membayangkan beratnya jadi dirimu. Bukankah tidak ringan kewajiban sebagai “laki-laki” yang kau sandang di bahu?
Orang bilang sekarang jadi wanita atau pria sama saja beratnya. Kita sama-sama harus bekerja, berbagi peran demi bahu-membahu meringankan beban keluarga.
Setiap hari kau bangun jam 3 dini hari demi ibadah malam kemudian membersihkan dan memanaskan kendaraan. Sementara aku sibuk di belakang, memasak bekal dan membersihkan rumah sebelum ditinggal.
Kita bukan pasangan berlebih yang bisa menyewa orang untuk bersih-bersih. Kita masih perlu berhitung ketat. Tagihan listrik bisa terbayar dari uang jatah makan siang yang dihemat.
Perubahan tuntutan hidup menjadikan kita satu tim yang solid. Tidak seperti generasi ayahku atau ayahmu yang bisa menyuruh istri-istrinya duduk manis mengurus rumah, kini kau harus melepasku keluar dengan pasrah. Gajimu saja tidak cukup untuk memenuhi tabungan pendidikan calon anak kita. Kebutuhan hidup yang kian menggila memang logisnya hanya bisa terpenuhi jika dibagi berdua.
ADVERTISEMENTS
Kerabat kita bilang mereka kasihan melihatku yang harus ikut banting tulang bekerja. Tak sekali-dua kali mereka bertanya,
“Apakah tidak cukup lelakimu saja yang berjuang di luar sana? Tidak bisakah kamu diam di rumah, seperti wanita selayaknya?”
Tapi bagaimana perasaanmu, priaku? Tersakitikah egomu saat mereka membicarakan kita — dan melabelimu sebagai pria yang tidak bisa melindungi wanitanya? Apakah harga dirimu terlukai ketika aku bilang tagihan tv kabel dan listrik bulan ini sudah kulunasi?
Jika selama ini ternyata kau menyimpan sakit itu sendiri, sekarang giliranku berdiri di sisimu dan mengajakmu berbagi. Ketahuilah Priaku Sayang, kamu tak pernah sendiri.
ADVERTISEMENTS
Belum cukup hanya tekanan dari luar saja. Kerumitan menghadapiku juga sering membuatmu sakit kepala. Kuangkat topi, atas kesabaranmu yang tak ada duanya
Kamu bertahan, priaku. Meskipun aku sering bilang “Terserah“, saat ditanya mau makan di mana dan membuatmu geleng-geleng tak percaya.
Kamu juga selalu sabar menjelaskan yang mana arah utara, bagaimana harus mencapai suatu tempat tanpa tersasar sebelumnya. Kamu tak pernah meledak melihatku tidak bisa memarkir mobil dengan lurus, atau ketika aku panik saat komputerku terkena virus.
Belum lagi ketika PMS melanda dan kamu kena getahnya. Atas nama estrogen aku bisa bertingkah jadi gadis manja dengan emosi dan nafsu makan menggila.
Setiap malam, tanpa perlu kuminta, kau akan merentangkan lengan agar aku bisa tidur di bahu atasmu dengan nyaman. Kau sediakan ruang lapang di antara bahu dan lehermu untuk tempat bersandar.
Wanita yang kau cintai ini adalah wanita yang sama, yang membuat otoritasmu sebagai pria tak lagi seperti titah pandita raja. Tapi hatimu besar, Sayang. Kamu tetap ikhlas memberikan semua yang kau punya. Saban hari, kau tetap berada di sisiku layaknya seorang pria.
ADVERTISEMENTS
Sesungguhnya ingin kubilang pada dunia. Jika selama ini hanya aku yang dapat sorotan cahaya, justru kamulah yang paling luas hatinya
Aku tahu, dalam hatimu kau pun ingin melihatku bisa jadi wanita seutuhnya. Seperti ibumu, tantemu, nenekmu, atau seperti penggambaran wanita di buku pelajaranmu dulu.
Mereka yang bisa tinggal di rumah sepanjang hari demi mengurus buah hati. Mereka yang tidak perlu dipusingkan dengan target pekerjaan bulan ini. Wanita yang punya waktu untuk menyemprotkan parfum dan berdandan rapi demi menyambut kepulangan suami.
Walau tidak banyak bicara, tentu sulit rasanya membiarkan pasanganmu membayar beberapa tagihan kebutuhan keluarga. Hatimu tetap mencelos, ketika kau tahu wanitamu berdandan lebih rapi demi bertemu klien yang hanya kau dengar namanya saban hari.
Selama ini orang-orang di luar sana hanya melihatku sebagai pihak yang berkorban demi keluarga. Aku memang bekerja, aku juga ambil andil dalam memberikan kehidupan yang lebih layak bagi kita.
Tapi sesungguhnya kau selalu punya pilihan untuk tetap tampil paling depan dalam pondasi yang kita bangun bersama. Kau bisa saja melarangku memanfaatkan gelar yang kupunya, memintaku di rumah saja — mengatur uang dan hidup seadanya.
Namun hatimu luas, Sayang. Kau biarkan aku berkarya, kau berikan kepercayaan padaku untuk ambil andil membangun hidup kita bersama. Tanpa keikhlasanmu, aku tak akan tumbuh jadi wanita yang berani bersuara dan punya daya.
ADVERTISEMENTS
Genggam tanganku, Sayang. Hari ini tak perlu lagi kita ributkan soal feminisme atau hak asasi. Sebab, priaku — keikhlasan dan pengorbananmu juga tak kalah tinggi
Orang di luar sana boleh ribut soal hak-hak wanita yang mereka rasa belum terpenuhi. Bagaimana pria menginjak-injak harga diri dan kebebasan yang mereka miliki.
Tapi setelah semua yang kita lalui, kini aku mengerti. Perjuangan kita memang tidak di satu segitiga sama sisi — tapi tidak ada yang lebih pantas mengeluh di sini.
Aku bisa saja bilang bahwa kini aku berperan ganda. Jadi pengatur kestabilan keluarga dan pencari nafkah nomor dua. Tapi di balik segala predikat “hebat” yang disematkan padaku, ada pengorbananmu yang banyak orang belum tahu. Ada kelapangan hatimu yang sering tersapu cepat seperti angin menerbangkan debu.
Kau pun berkorban sama besarnya agar wanitamu bisa mengembangkan kemampuan yang dipunya. Kau tekan egomu, kau tundukkan hasrat ingin jadi nomor satu. Meski sebenarnya kau bisa melarangku, kau biarkan aku berjuang sendiri demi mendapatkan apa yang ku mau.
Di hari yang konon penting bagi wanita di seluruh dunia ini, Priaku — ijinkan aku mempersembahkan kemuliaan untukmu.
Sebab sungguh,
kini aku mengerti betapa tak mudah jadi kamu.