Maaf aku menyapaMu dalam marah yang tak terbendung. Tak mampu lagi berbasa-basi. Ramah tamah menguap. Renjana yang gersang semakin menjadi-jadi; terjebak di pusaran pilu. Sebab, tiada yang lebih perih dari peristiwa kehilangan yang sungguh pedih. Ya Tuhan, aku datang kali ini dalam kondisi telanjang sebagai umatmu yang tak tahu lagi pada siapa harus menitipkan rindu ini. Engkau memanggilnya tanpa permisi.
Ya perlahan aku sadar bahwa itu memang kuasaMu, yang tak terjangkau tangan manusia. Namun, kekecewaan duniawi terlanjur menekan dada membawa jiwa pada kondisi mengambang. Banyak hal yang sempat tertulis dan belum tersampaikan. Banyak hal yang menanti di depan sana dan terlanjur tak terjamah. Terlalu banyak, Ya Tuhan, di antara sepotong cinta yang kupikir akan kutabung, namun ternyata lepas, bebas, dan tiada batas tanpa sanggup kubujuk untuk bertahan, setidaknya beberapa kali lagi putaran Matahari. Aku mengira semua akan baik-baik saja seiring berjalannya semesta, namun ternyata tidak…
Ya Tuhan, aku sungguh menyesal tak sempat membuatnya bahagia. Kini kusadar : tak semestinya hembusan nafas mengabaikan udara.
Penyesalan hanya bualan belaka. Aku sekarang mengerti, kelalaian dapat membawa kekecewaan yang begitu mendalam. Ini semua soal mengabaikan dan bersandar terlalu lama pada jargon usang soal keabadian cinta. Ya, ini akan tetap abadi, tinggal dalam hati. Dia pun demikian. Aku percaya. Namun, kenyataannya dia pergi. Dan penyesalan tak akan pernah tepat waktu. Terbayang, kebencianku padanya yang sempat mampir; luka yang pernah kuberikan; kekecewaan yang sering aku tanamkan; keegoisan yang tak tak tahu malu. Semuanya seakan-akan datang kembali dan menyerang balik; menampar ruh dalam diri. Sekeras apapun kumemohon, tak akan pernah bisa memurnikan sikap burukku padanya. Namun kutahu, Engkau yang segala-galanya bersedia menyampaikan maafku padanya. Ya, aku tahu ini kelewat terlambat di kala hati ini sungguh merasa kering.
Ada yang kosong dan tak lagi utuh. Meski aku sadar di TanganMu, dia menjadi begitu penuh. Kini mohon ajarkan aku bagaimana cara melepas sepi dari tubuh.
Terlanjur sudah Tuhan. Ada yang terpisah dan lepas dari diriku. Hari-hari menjadi tak lagi seperti dulu. Dan inilah yang membuat derita. Aku terus mengamati masa lalu, tiada bosan. Entah reaksi yang wajar atau memang aku tenggelam terlalu dalam. Sepi. Kekosongan membuatku mampu mendengar impian masa lalu, yang sempat kami ukir dan kini hanya bisa kudengar, samar-samar. Kosong yang tak hanya soal ruang, melainkan harapan. Tiada lagi yang mengisinya. Bahkan, kucoba isi dengan harapan yang dibuat-buatpun selalu menguap. Ya, mungkin karena dibuat-buat. Sebab, hasrat terlanjur tumpah dan terbuang. Dan yang tersisa adalah genangan kenangan. Aku mohon, berilah sedikit cahaya, Ya Tuhan. Demi sebuah penghargaan agar kepergiannya tak sia-sia. Aku harus segera beranjak meski terlunta-lunta.
Kelahiran bukan pengganti yang telah pergi. Dia yang berlalu tak akan mungkin pernah kembali. Dan rindu adalah perasaan was-was yang terus membayangi.
Sempat, aku mencoba untuk memahami bahwa ini adalah kehendak semesta. Sebuah siklus kehidupan. Kucoba menerka bahwa kematian adalah bagian dari nafas kehidupan, bukan sesuatu yang terpisah. Namun sungguh, logika tak mampu mengalahkan intuisi. Siklus yang demikian memang benar adanya. Dia melebur menjadi bagian dari putaran semesta; menjadi bagian dari kosmos. Setiap kepergian ada kedatangan agar tiada yang timpang demi rima kehidupan yang seimbang. Ya, itu semua cara dunia ini bergerak. Namun siklus tak akan pernah dapat mengubah sejarah, mengulangnyapun tidak sama sekali. Sempat aku berpikir bahwa ini bantahan manusiawi yang sangat personal dan tak masuk akal untuk kusampaikan. Namun, kepedihan ini membuat diri selalu berhasrat untuk menemukan jawaban, setidaknya penjelasan ringan soal ini.
Sebab, kenangan tak kenal permisi. Mereka hadir dan menggedor relung hati, bahkan dalam mimpi.
Rindu yang selalu merangsang kenangan untuk menyembur-nyembur tak karuan, bahkan di bawah pengaruh mimpi yang dalam. Mungkin, dia merasakan apa yang kurindukan. Atau bisa juga, dia sedang memintaku untuk mendengarkan apa yang belum kusampaikan. Kemaren sempat, dia hanya menghampiri di dalam mimpi. Pakaiannya baru dan senyumnya sungguh sumringah membuatku ingin menjamah, namun sayang dia berlalu. Sifatnya masih sama. Tak kenal permisi kalau mau pergi, bahkan sampai saat ini. Itulah alasan bagiku menulis surat ini. Tolong, sampaikan padanya untuk menyampaikan apapun yang ingin disampaikan padaku, Ya Tuhan.
Meski kusadar, waktu berlalu dan hidup harus mengalir. Aku akan terus berusaha membebaskannya dalam kemuliaan pelukanMu. Sampai akhir…
Kini dia telah betul-betul bebas. Perlahan, aku mulai menerima, meskipun berat adanya. Tiada lagi kebencian, tiada lagi cinta yang menyakiti, dan tiada lagi kecemburuan. Dia bersamamu, dalam kemuliaan cinta yang lebih besar. Itulah yang membuatku cukup tenang sebab tentu saja, cintaku tak ada apa-apanya dibanding kasih surgawi yang sungguh mulia. Hanya satu hal : aku betul-betul rindu. Untuk itu, tolong sampaikan padanya rasa terima kasihku yang begitu besar; rindu yang mendalam; dan maaf yang paling tulus. Sebab kemarin, dia terlanjur pergi ketika aku sedang dalam perjalanan.
Sekian dulu, Ya Tuhan. Maaf kalau aku sempat mengumpat dan marah-marah, tak terima dengan keputusanmu. Tapi sungguh, menulis kali ini membuatku sedikit lebih lega. Kini, restuilah aku untuk meneruskan perjuangannya dalam membangun karya kehidupan dengan jujur tulus. Sebab belakangan aku sadar. Dengan telanjang, manusia keluar dari rahim kehidupan dan dengan telanjang pula manusia kembali ke rahim kemuliaan.