Dunia sepak bola kembali berduka. Iya, ‘kembali’, karena memang kejadian semacam ini bukan baru sekali-dua kali terjadi di Indonesia. Haringga Sirla, pemuda 23 tahun suporter klub bola Persija Jakarta, harus meregang nyawa dengan tragis setelah dikeroyok sekelompok oknum bobotoh -pendukung Persib Bandung- di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Kabarnya, Haringga jadi korban ke-7 yang pernah tewas karena rivalitas turun temurun 2 klub bola tersohor itu.
Peristiwa ini begitu menyayat hati, apalagi pengeroyokan Haringga itu terdokumentasi lewat sebuah video yang diambil salah satu saksi, dan tersebar luas di media sosial. Video itu seolah membuktikan betapa fanatisme bola di Indonesia sudah kelewat batas, hingga nyawa manusia kerap dijadikan bahan bercandaan. Jadi apa sih yang membuat kejadian ini bisa terus berulang? Apa sebenarnya hukum negara aja tidak cukup memerangi tindak anarki suporter bola ini? Kali ini Hipwee News & Feature sudah merangkum informasinya buat kamu. Simak deh, karena masalah ini sudah benar-benar darurat!
ADVERTISEMENTS
Fanatisme bola kembali memakan korban. Kali ini giliran Haringga Sirla, pendukung The Jak Mania yang harus kehilangan nyawa, setelah dikeroyok habis-habisan sampai berdarah-darah
Hari Minggu (23/9) kemarin, jadi hari terburuk bagi keluarga Haringga Sirla, salah satu suporter klub kebanggan warga Jakarta, Persija, yang harus kehilangan nyawa di tangan bobotoh. Pada hari itu, Persija memang sedang berlaga melawan rival bebuyutannya, Persib, di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Tapi, belum juga mulai pertandingan, kerusuhan dilaporkan sudah terjadi di area parkir gerbang biru.
Saat itu awalnya, ada satu orang yang diduga Haringga, dikejar oleh kerumunan massa dari bobotoh, setelah ketahuan kalau dia berasal dari Jakarta. Ketika dikejar-kejar, Haringga sempat meminta tolong pedagang bakso di sekitar situ. Tapi saking banyaknya massa yang membabi buta, ia pun tetap tak bisa lepas dari kejaran dan serangan bertubi-tubi pakai balok kayu, botol, piring, dan benda-benda lain. Dalam video yang beredar, meski sudah berdarah-darah dan minta ampun, Haringga masih terus ditendang, dipukul, dan dihajar sampai meninggal di lokasi. Sungguh-sungguh biadab!
ADVERTISEMENTS
Sikap fanatis di Indonesia tampaknya sudah ‘berjalan’ terlalu jauh, sampai dapat menghalalkan tindak anarki dan pengeroyokan yang berujung kematian
Mengidolakan tim sepak bola memang tidak dilarang. Tapi ketika sikap fanatisme itu sampai bisa menghapus akal sehat manusia, namanya jelas sudah kelewat batas. Contohnya ya ketika terjadi tawuran antar suporter atau pengeroyokan yang berakhir kematian seperti yang dialami Haringga. Sekalipun membawa nama tim yang dibanggakan, tetap aja itu termasuk melanggar hukum yang diatur jelas dalam KUHP Pasal 170 tentang Pengeroyokan. Bunyinya seperti ini:
(1) Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
(2) Tersalah dihukum:
ke-1. Dengan penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika
kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka;
Ke-2. Dengan penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh;
Ke-3. Dengan penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.
ADVERTISEMENTS
Solusi selama ini sepertinya ya cuma memenjarakan siapapun yang terlibat. Padahal kalau mau bicara fakta, solusi itu kurang efektif karena kejadian macam begini tetap terus berulang
Masalahnya, sekedar hukum saja nyatanya tidak cukup buat menghapuskan fanatisme berlebihan yang kadung mendarah daging ini. Selain karena faktanya tidak bisa benar-benar membuat jera, penerapan hukuman ini juga terbilang sulit karena melibatkan kerumuman massa yang banyak. Jadi sebenarnya susah juga menentukan siapa dalang di baliknya. Kalau provokatornya gagal ditangkap, ya tidak kaget kalau kejadian yang sama bakal terus berulang.
ADVERTISEMENTS
Kalau emang akar dari krisis kemanusiaan macam ini adalah fanatisme, mungkin tim bola yang dijadikan panutan seharusnya lebih aktif turun tangan. Bukan hanya sekadar mengimbau secara verbal lewat media melainkan juga ada aksi
Sebenarnya, salah satu alasan kenapa hukum pidana aja tidak cukup, ya karena akar masalahnya belum disentuh. Dari kasus ini ‘kan bisa diketahui kalau penyebab utamanya itu rasa fanatik berlebihan sama klub bola tertentu. Harusnya klub bola yang dijadikan panutan itu juga bisa turun tangan. Mungkin selama ini sudah ada para pemain yang mengimbau lewat media, kayak Bambang Pamungkas yang sebenarnya mewanti-wanti pendukungnya untuk tidak datang ke Bandung hari Minggu kemarin, demi meminimalisir konflik. Tapi kenyataannya, imbauan verbal aja kurang bisa mengerem fanatisme di hati pendukungnya.
Mungkin butuh solusi yang lebih ekstrem, misalnya tim bola yang suporternya alay itu mogok main sampai pada beneran sadar tindakannya melampaui batas. Atau sekalian aja tidak usah ada penonton di setiap pertandingan, biar terjamin aman dan nyaman?
Gemes banget lho sama kasus kayak gini. Memangnya mereka bisa dapat apa sih setelah berhasil mengeroyok suporter rivalnya? Perasaan bangga dan merasa menang gitu? Bangga gimana, orang setelahnya hidup mereka berakhir di penjara. Kalau hukum memang tidak bisa bikin jera dan nyawa manusia terus jadi mainan, sekalian aja sepak bola di Indonesia dihapus, kayak kata Pak Ridwan Kamil di Instagramnya.