Sekitar seminggu yang lalu, seorang teman melempar pertanyaan untuk kepentingan artikelnya, yang menurut saya lumayan sulit buat dijawab.
“Belakangan ini ada banyak teman aku yang masih single takut untuk berkomitmen hingga menikah karena adanya kisah-kisah viral seputar tiba-tiba cerai di tengah jalan dan sejenisnya. Makanya, aku pengen denger dong dari teman-teman yang sudah menikah. Apakah menikah semenakutkan itu? Nasihat untuk mereka apa?”
Wow! Pernikahan saya memang cukup membahagiakan. Walau nggak jarang juga suami maupun aku kesamber geledek hingga berubah jadi sosok yang menyebalkan. Tapi di antara sekelumit perdebatan dan pertengkaran yang pernah terjadi, nggak ada yang berlangsung sampai berhari-hari. Kayak yang banyak orang bilang, itu sih cuma bumbu-bumbu pernikahan aja.
Karena mostly kehidupan pasca menikah versi saya itu adem ayem, makanya rasanya kok sulit sekali menjawab pertanyaan teman di atas. Semua mengalir begitu aja. Tapi karena saya teman yang baik, ya saya jawab aja begini:
“Berdasarkan pengalaman pribadi ((hiya hiya)) menikah ngga semenakutkan itu kok. Malah bisa dibilang sama kayak pacaran cm bedanya bisa obob bareng uwuw. Nasihat buat yg lain, omongin dulu aja semua sm pasangan. Kl bs libatkan keluarga kedua belah pihak. Kenali keluarga & lingkungan pertemanan si doi sampe ke akar2nya wkwk. Soalnya menurutku itu yg paling mungkin ngaruhin komitmen si cowo di masa dpn.”
Nah, dari jawaban saya di atas kalau di-breakdown lagi bisa jadi setebal novel Harry Potter digabung jadi satu. Terutama yang part ((omongin dulu aja semua sama pasangan)). Soalnya di situ juga bakal ngomongin komitmen, prinsip hidup (halah), selera musik, film favorit, kebiasaan ngupil –pake tisu atau pake jari, sampai kalau lagi poop suka bawa HP atau nggak.
Dan di antara hal-hal yang mesti diomongin sama calon pasangan, yang paling njelimet sudah pasti bab komitmen dan prinsip. Tapi justru itulah yang paling krusial. Kayak contohnya, gimana sih pasangan kalian memandang tugas suami dan istri? Apakah sangat saklek kayak yang tertulis di RUU Ketahanan Keluarga? Atau justru sebaliknya, menganggap tugas suami istri itu selayaknya nggak dibedakan, alias keduanya punya tanggung jawab yang sama? Hmm…
ADVERTISEMENTS
Untungnya, suami saya nggak kaku-kaku amat kayak RUU Ketahanan Keluarga. Dia masih mau dikasih tugas mandiin anak pas weekend, cuci piring dan alat-alat masak setelah saya yang masak, atau ngajak main anak pas saya masih harus nulis (kayak sekarang ini!)
Seriusan, suami yang kayak begini ini masih langka banget walau kesetaraan gender udah digaungkan di mana-mana. Masih buanyak yang belum juga sadar kalau suami, selain wajib cari duit juga wajib bantu ngurus pekerjaan rumah tangga. Jauh sebelum isu gender equality ramai dibicarakan, Islam sendiri (atau mungkin agama lain juga), sudah mewajibkan suami melakukannya. Udah dikasih contoh pula sama Nabi.
Gemes banget waktu ada warganet yang komen nyinyir ke Chef Arnold:
Komentar njijiki di atas cuma 1 dari sekian banyak bukti kalau suami yang merasa najis ngerjain pekerjaan rumah itu emang masih banyak berkeliaran di luar sana.
ADVERTISEMENTS
Padahal, seandainya mereka tahu, suami yang mau bantu nyuci piring, nyapu, ngepel, masak, dan SEGUDANG pekerjaan domestik lainnya, layak dapet piala Oscar! Dan suami kayak gini malah kelihatan jauh lebih macho lo!
Suami yang nggak pernah mau masuk dapur, pegang alat pel, pegang spons cuci piring, atau sekadar ngelap-ngelap piring gelas yang baru dicuci itu justru termasuk suami yang merugi. Salah besar kalau mereka mikir pekerjaan domestik itu pekerjaan cewek, dan cowok yang mau-maunya ngerjain pekerjaan begituan itu cowok lemah yang cocok gabung komunitas SSTI (Suami-Suami Takut Istri).
Padahal, di mata istri, tingkat ke-macho-an suami yang do domestic works itu naik drastis berkali-kali lipat! Mereka layak menyabet piala Oscar, sama layaknya kayak sutradara film Parasite, Bong Joon Ho. Lagian, apa yang salah sih dari membantu istri? Apa yang salah sih dari meringankan bebannya, yang mana dengan melakukan hal tersebut, mereka otomatis bakal membahagiakan istri juga. Kalau istri bahagia, anak juga ikut bahagia karena dibesarkan oleh ibu yang bahagia. Kalau istri bahagia dan masih masa menyusui, akan ngaruh juga ke produksi ASI yang makin melimpah. ASI melimpah ngaruh ke pertumbuhan dan perkembangan anak. Masa iya sebagai seorang ayah nggak pengin lihat anaknya tumbuh sehat?
Jadi, begitulah wujud nyata kesetaraan #TanpaTapi di kehidupan rumah tangga saya. Semoga habis baca ini, suami saya nggak jadi besar kepala :))