Stigma panti jompo dan hal lain yang tidak diketahui masyarakat awam | illustration by Hipwee via www.hipwee.com
Banyak orang yang masih menganggap bahwa panti jompo adalah gambaran tempat ‘terkutuk’ di masa tua. Hidup terpisah dari keluarga dan anak-anak yang sudah susah payah dibesarkan, lalu dititipkan ke tempat yang belum pernah disinggahi sebelumnya dianggap sebagai masa depan yang buruk. Hal inilah yang memicu stigma negatif ketika kita bicara soal menitipkan orang tua di panti jompo.
Bukti kuatnya stigma ini bisa dilihat di jagat media sosial belum lama ini. Warganet ramai membahas seorang lansia 65 tahun yang diserahkan oleh anaknya ke sebuah panti jompo di daerah Malang, Jawa Timur. Lansia bernama Ibu Trimah tersebut dianggap telah ‘ditelantarkan’ oleh ketiga anaknya yang tega menyerahkan sang ibu untuk diurus oleh pihak panti.
Hal yang membuat warganet geram dengan tindakan anak-anak Ibu Trimah adalah beredarnya surat pernyataan bahwa ketiganya juga menyerahkan urusan pemakaman kepada pihak panti apabila sang ibu meninggal di sana. Dengan stigma negatif tentang panti jompo, ditambah media yang memberikan framing ‘dibuang’ atau ‘ditelantarkan’ pada ibu tersebut, akhirnya warganet jadi geram.
Stigma negatif yang timbul disebabkan oleh banyak sekali faktor, seperti nilai agama, budaya, dan moral yang masih dijunjung tinggi. Padahal, panti jompo nggak selalu seburuk yang dipikirkan banyak orang, lo. Ada pula alasan yang lebih bermoral ketika seorang anak menitipkan orang tuanya di panti jompo. Lagipula, ada beberapa hal yang mungkin masih belum disadari oleh orang awam akan fasilitas dan perawatan yang bisa didapatkan oleh orang yang tinggal di sana.
ADVERTISEMENTS
Stigma masyarakat Indonesia terhadap panti jompo yang dianggap buruk dan nggak ramah untuk lansia memicu respons negatif saat menanggapi kabar ada orang tua yang dititipkan di panti jompo
Pemberitaan soal Ibu Trimah adalah satu dari sekian banyak kejadian yang sama di sekitar kita. Hal ini mungkin juga dialami oleh keluarga, tetangga, atau orang terdekat kita. Siapa pun akan merasa iba kepada lansia yang dititipkan oleh keluarganya di panti jompo. Bagaimanapun, pandangan masyarakat terhadap panti jompo memang masih buruk. Bahkan, orang yang memilih tinggal di panti jompo karena keinginan sendiri akan tetap dianggap telah ditelantarkan oleh anak-anaknya.
Masyarakat Indonesia kebanyakan masih menganggap bahwa panti jompo nggak ramah untuk lansia karena mereka dirawat oleh orang lain, bukan dari keluarga sendiri. Panti jompo dianggap tempat bagi orang tua terlantar yang sudah nggak diurus anak-anaknya, hal ini membuat mereka jadi hidup kurang layak, susah, dan tertekan. Banyak orang juga yang menganggap jika orang tua yang tinggal di panti jompo kurang perhatian dan kasih sayang karena jauh dari keluarga.
Stigma semacam inilah yang memicu bayangan buruk terhadap kondisi lansia di panti jompo. Pada akhirnya, muncul pula stigma lain terhadap keluarga atau anak-anak penghuni panti jompo.
ADVERTISEMENTS
Pengaruh nilai budaya dan moral masyarakat timur yang dianut membuat anak yang menitipkan orang tuanya ke panti jompo dianggap nggak tahu balas budi, nggak berbakti, dan durhaka
lansia di panti jompo dianggap telah ditelantarkan | Credit Shurkin_son on Freepik
Menghabiskan masa tua jauh dari keluarga dengan tinggal di panti jompo bukanlah hal yang umum bagi masyarakat di Indonesia. Selain karena stigma terhadap panti jompo sendiri yang masih buruk, nilai budaya dan moral masyarakat timur juga menjadi faktor paling berpengaruh. Balas budi dan kasih sayang anak terhadap orang tua dianggap hanya bisa diwujudkan dengan merawat para orang tua di hari senjanya.
Maka dari itu, menitipkan orang tua di panti jompo lekat sekali dengan stigma penelantaran. Keputusan anak yang mempercayakan panti jompo untuk merawat orang tuanya dianggap salah karena nggak sesuai dengan nilai yang dianut masyarakat. Mereka juga akan dianggap nggak tahu balas budi, nggak berbakti, bahkan durhaka karena nggak merawat orang tuanya sendiri.
Pengaruh nilai budaya dan moral ini nggak bisa disalahkan. Jika kita lihat pandangan orang-orang di negara maju terhadap panti jompo, mungkin stigma buruk ini bisa ditepis sedikit demi sedikit tanpa mengabaikan nilai-nilai yang ada. Melansir dari The Coversation, masyarakat di Jepang menganggap panti jompo adalah bagian dari masa depan setiap orang. Nilai kemandirian yang kuat membuat orang tua memilih untuk tinggal di panti jompo karena mereka nggak mau merepotkan anak-anak mereka.
Sementara itu, dari sisi anak-anak pun mereka nggak bermaksud menelantarkan orang tua. Anak-anak bekerja juga untuk membiayai kebutuhan orang tua mereka di panti. Meski tinggal terpisah, ada budaya tersendiri di mana anak-anak mengunjungi para orang tua untuk merayakan suatu momen keluarga. Tinggal di panti jompo bagi mereka adalah pilihan terbaik daripada nggak terurus di rumah.
ADVERTISEMENTS
Alasan anak menitipkan orang tua di panti jompo nggak selalu karena mereka nggak peduli, kadang justru kepedulian itulah yang membuat mereka terpaksa menitipkan orang tuanya
Anak dan orang tua yang sudah lansia | Credit by Andrea Piacquadio on Pexels
Pro dan kontra pemberitaan soal Ibu Trimah adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Hendaknya kita juga harus terbuka terhadap setiap alasan di balik keputusan para anak yang menitipkan orang tua mereka di panti jompo. Kendati dari sisi orang tua mungkin saja hal itu dianggap buruk karena pengaruh stigma dan nilai yang dianut, ada sisi anak yang harus kita pahami juga posisinya.
Sebelum Ibu Trimah dititipkan ke panti jompo oleh ketiga anaknya, sebenarnya beliau sudah dirawat oleh semua anak-anaknya secara bergantian. Bahkan, beliau juga sempat dirawat oleh adiknya sendiri. Namun, keluarga memiliki alasan, seperti sikap Ibu Trimah yang sulit diarahkan hingga alasan ekonomi keluarga. Melalui sebuah wawancara, Ibu Trimah mengaku dirinya nggak nyaman tinggal bersama anaknya karena masih menumpang di rumah mertua.
Di luar cerita Ibu Trimah, keputusan menitipkan orang tua di panti jompo mungkin hal yang sulit bagi anak-anak dan keluarga. Alasan yang biasanya mendasari keputusan tersebut misalnya persoalan merawat lansia bukanlah hal yang sederhana, belum lagi kesibukan anak yang harus bekerja sering kali membuat orang tua jadi nggak terlalu diperhatikan. Sehingga, menitipkan orang tua di panti jompo sering kali menjadi jalan terakhir yang diambil.
Keputusan tersebut bukan berarti anak-anak nggak peduli, kadang justru kepedulian itulah yang membuat mereka memutuskan menitipkan orang tua di panti jompo, supaya ada yang menjaga secara penuh, mendapat banyak perhatian, dan fasilitas perawatan yang memadai.
ADVERTISEMENTS
Gambaran kehidupan di panti jompo yang sebenarnya nggak diketahui masyarakat awam
Fakta sebenarnya | illustration by Hipwee
Apakah kamu pernah berkunjung ke panti jompo? Jika belum, sesekali mampirlah dan temukan berbagai cerita yang membawa para lansia ke tempat yang banyak mendapat stigma buruk itu.
Realita yang bisa kita temukan di panti jompo bisa jadi nggak seburuk stigma yang beredar di masyarakat, lo. Di sini, para lansia mendapat pemantauan kesehatan secara rutin oleh dokter dari rumah sakit atau puskesmas yang bekerja sama dengan panti. Perawatan dan kebutuhan lansia pun cukup memadai karena ada perawat atau pekerja khusus yang merawat para lansia.
Selain itu, panti biasanya memiliki program kegiatan sebagai hiburan supaya para lansia nggak bosan, mulai dari senam bersama, membuat prakarya, berkebun, menonton film, dan sebagainya. Bahkan, ada panti yang mendukung para lansia di sana untuk menyalurkan hobi mereka. Di panti pun mereka nggak sendirian, banyak teman sesama lansia yang bisa diajak bertukar cerita. Tinggal di panti jompo memungkinkan para lansia yang biasanya kesepian di rumah menjadi punya banyak teman dan pengalaman.
Panti jompo juga nggak seperti penjara yang mengurung penghuninya. Keluarga dan anak-anak bisa berkunjung kapan pun dan membawa orang tua mereka pergi jalan-jalan, bahkan pulang untuk beberapa waktu saat sedang ada perayaan tertentu. Awal mula tinggal di panti jompo mungkin akan menimbulkan kesedihan tersendiri, apalagi setiap orang butuh proses adaptasi di lingkungan baru. Kesedihan itu adalah hal yang wajar, tapi bukan berarti mereka nggak bisa menjalani hidup dengan bahagia setelahnya.
Di Indonesia ada dua jenis panti jompo yang bisa kita temui, yakni panti yang gratis karena dikelola oleh yayasan atau pemerintah, ada pula panti yang berbayar. Biaya bulanan di panti jompo pun cukup beragam, tergantung pengelola dan fasilitas yang dipilih, kisarannya mulai 1 jutaan hingga puluhan juta rupiah.
ADVERTISEMENTS
Panti jompo adalah pilihan yang sah-sah saja jika ingin kita ambil di masa tua nanti, terlepas dari stigma yang beredar saat ini
Lansia | Credit by Jcomp on Freepik
Meskipun menghabiskan masa tua di panti jompo bukan hal yang umum di masyarakat kita saat ini, tapi nggak sedikit orang yang ingin tinggal di sana karena keinginanya sendiri. Sebagai contoh, almarhum NH Dini, seorang sastrawan yang memilih tinggal di Wisma Lansia Harapan Asri, Banyumanik, Semarang di masa tuanya. Hal ini ia pilih karena ingin hidup mandiri dan nggak mau merepotkan anak-anaknya.
Banyak orang yang telah menyiapkan diri dengan menabung dan memiliki asuransi hari tua sejak muda untuk bisa tinggal di panti jompo yang mereka inginkan. Bahkan, nggak sedikit pula anak-anak yang bekerja untuk membiayai perawatan orang tua mereka di panti jompo yang berkualitas. Pilihan tinggal di panti jompo adalah hal yang boleh dilakukan oleh siapa pun, apalagi jika alasannya adalah jaminan perawatan dan kesejahteraan individu.
Kehidupan masa tua nanti mungkin masih terlalu jauh, tapi sudah barang tentu kita bisa menyiapkannya mulai dari sekarang. Tinggal di pantai jompo atau tetap bersama anak dan cucu adalah pilihan terbaik yang diambil setiap orang. Kita hanya perlu memahami apa pun alasan di balik keputusan atas pilihan tersebut, tanpa perlu menyudutkan pihak mana pun dan tanpa mengabaikan nilai-nilai moral yang ada. Kalau pemahaman ini kita terapkan, maka mau tinggal di pantai jompo pun sah-sah saja, kan?