Hari ini siapa sih yang nggak punya akun media sosial? Mulai dari Facebook, Instagram hingga Twitter pasti setiap orang punya akun tersebut. Malahan ada yang mengelola lebih dari satu akun di tiap jenis media sosial. Meski begitu, masih banyak di antara pengguna media sosial yang belum terliterasi dengan baik.
Berangkat dari hal tersebut, term ‘bijak bermedia sosial’ jadi sering kita dengar. Masih banyaknya pengguna media sosial yang belum mapan secara literasi digital, membuat penyebaran konten sensitif dan hoaks makin sering kita temui. Yang perlu disadari, hal semacam itu lambat laun akan membawa dampak buruk bagi kesehatan mental.
Melihat masa depan media sosial dengan iklim yang terbangun, gelaran Social Media Week (SMW) Jakarta 2019 hadir dengan tema “Stories: With Great Influence Comes Great Responsibility”. Berlangsung selama 11-15 November 2019, gelaran ini berfokus pada kehidupan modern yang saling terhubung dalam ekosistem media sosial, dengan menghadirkan berbagai brand, influencer marketing, serta pegiat sosial media.
Peran pengguna media sosial dalam pusaran pemberitaan sensasional terkait kasus bunuh diri
Pada sesi Community Meet Up SMW Jakarta 2019, ‘Twitter, Please Do Your Magic!’ pada Rabu (13/11/2019), pendiri Into The Light Indonesia, sebuah yayasan yang berfokus sebagai pusat advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri di Indonesia, Benny Prawira, mengatakan penyebaran konten terkait bunuh diri yang serampangan berpotensi memicu kecenderungan bunuh diri bagi mereka yang sedang dalam tahap krisis. Hal ini berkelindan dengan fakta masih rendahnya jumlah pengguna media sosial yang terliterasi dengan baik dan kurangnya kebijakan para pembuat konten.
“Seiring berkembangnya Into The Light Indonesia, kami sering melakukan counter terhadap pemberitaan sensasional terkait kasus bunuh diri. Ketika pemberitaan bunuh diri tayang di media sosial, kami segera akan melakukan konfirmasi fakta. Selanjutnya kami akan membuat lebih banyak edukasi dengan tidak me-mention kasus yang sedang dibicarakan, karena kasus bunuh diri sangatlah kompleks,” jelas Benny dalam sesi community meet up SMW Jakarta 2019, ‘Twitter, Please Do Your Magic!’, Rabu (13/11/2019) di The Hall Senayan City, Jakarta.
Benny mengatakan langkah tepat untuk menyikapi konten yang membahayakan terkait pemberitaan bunuh diri adalah menerapkan prinsip 3R; Report, do not Reply, dan Reach Out. Sebagai pengguna media sosial kamu bisa langsung report dan nggak perlu membalas komentar jika menemukan konten terkait bunuh diri. Hal ini bisa mengurangi resiko seseorang lain terpicu melakukan bunuh diri.
“Atau jika penyebar konten tersebut mereka yang kamu kenal, kamu bisa langsung reach out secara personal lewat DM. Orang yang di-reach out secara personal akan bisa mengapresiasi bahwa kamu punya usaha untuk membicarakan konteks yang mungkin sedang ia alami secara personal,” tambah Benny.
Konten yang trust-working dan Twitter dengan kekuatannya membangun sebuah gerakan
Selain bisa memicu reaksi buruk dalam diri seseorang, media sosial khususnya Twitter juga punya pengaruh luar biasa yang sering pula kita saksikan. Istilah ‘Twitter, Please Do Your Magic’ tentunya udah nggak asing, ya?
Kebanyakan momen yang terjadi di Twitter, apalagi yang menyertakan kalimat ‘Twitter, Please Do Your Magic’, bisa memunculkan sebuah gerakan baru karena melibatkan cerita di dalamnya. Country Industry Head Indonesia Twitter, Dwi Adriansah, mengatakan Twitter sebagai platform terbesar di dunia bisa mengubah sebuah momen menjadi movement atau pergerakan. Hal ini senada dengan apa yang dilakukan Into The Light Indonesia yang konsisten memproduksi konten terkait bunuh diri di laman Twitter mereka dengan cara edukatif.
“Orang datang ke Twitter cenderung untuk bercerita dan atau mencari cerita. Mereka (pengguna Twitter) yang datang akan memperlihatkan sesuatu yang sedang terjadi. Mereka adalah orang-orang yang membuat gerakan dengan discovery mindset,” ujar Dwi.
Sementara Manual Jakarta, majalah online yang berkutat dengan konten makanan, fesyen, seni dan kultur, dalam sesi Community Meet Up SMW Jakarta 2019, ‘How Manual Jakarta Creates Trustworthy Content Through StoryTelling’, membeberkan tips agar setiap pengguna media sosial bisa konsisten menghasilkan konten yang bertanggung jawab. Menurut Founder Manual Jakarta, Hadi Ismanto, salah satu caranya dengan menyadari kalau pengguna bertindak sebagai produser sekaligus konsumer dalam ekosistem media sosial.
“Kita adalah prosumer. Kita mengkonsumsi sekaligus juga membuat konten. Oleh karenanya, harus bisa menyadari hal itu. Sebagai konsumer ingin menjadi tipe yang seperti apa? Sekaligus dalam satu waktu juga harus bertanya kepada diri, kita mau jadi produser yang ingin mencipta konten kayak gimana?” jelas Hadi.
Lebih lanjut Hadi menjelaskan, dengan menyadari hal tersebut pengguna akan lebih bijak menimbang konten seperti apa yang akan ia bagikan. Toh kebanyakan warganet Indonesia tidak suka dengan konten serampangan. Maka jika berhasil memposisikan diri sebagai produser, seharusnya nggak akan ada tercipta konten sembarangan.
Media sosial seumpama dua sisi mata uang. Kebijakan dalam menggunakannya tentu bisa mendatangkan sisi positif yang mewujud kebaikan. Namun jika tanggung jawab diabaikan, bisa saja yang merugi bukan diri sendiri, tetapi juga orang banyak. Sebab dengan media sosial, segala lini kehidupan terhubung hanya dalam hitungan detik.