Para pecinta K-Pop pastinya sudah tahu rentetan skandal terkait school bullying yang menyeret nama-nama besar dalam dunia hiburan Korea Selatan. Dari beberapa anggota grup populer K-Pop sampai aktor muda yang sedang jadi lead dalam drakor terbaru, belasan nama besar itu dituduh pernah melakukan bullying semasa dulu di sekolah.
Layaknya seperti gelombang #MeToo sebelumnya, di mana para korban satu per satu mengumpulkan keberanian mengungkap pelaku pelecehan seksual, gelombang pengakuan-pengakuan baru dari para korban bullying kini terus bermunculan di platform forum online di Korsel. Meski hal-hal yang dituduhkan kebanyakan terjadi bertahun-tahun lalu, namun masyarakat di sana tetap menganggap isu ini relevan dan penting untuk diselesaikan. .
Hmm, jadi bertanya-tanya, “kenapa sih, isu bullying di Korea Selatan jadi hal yang sangat sensitif dan nggak gampang selesai?”
ADVERTISEMENTS
Isu bullying di Korea Selatan semakin ramai diperbincangkan setelah sederet artis ternama terseret. Selesai satu tuduhan, muncul lagi tuduhan lain yang sama
Isu bullying di Korea Selatan ini bergulir bak efek domino yang bergantian menyeret berbagai nama besar dari dunia K-Pop maupun K-drama. Beberapa diantaranya adalah Soojin (G)I-DLE, Mingyu SEVENTEEN, Kihyun MONSTA X, Hyunjin Stray Kids, aktor Jo Byung gyu, aktor Kim Dong Hee, aktris Park Hye Soo, dan aktor Ji Soo. Beberapa diantaranya langsung membantah, ada juga yang mengeluarkan pernyataan lewat perusahaannya, dan ada juga seperti Ji Soo yang akhirnya mengunggah permintaan maaf di Instagram pribadinya.
Meskipun semua kasus ini masih bergulir, ada yang menempuh mediasi dan jalur hukum, netizen Korea di berbagai platform online seperti Pann atau Naver bereaksi keras terhadap artis-artis yang dituduh sebagai bully ini. Tuduhan-tuduhan yang sebenarnya terjadi bertahun-tahun lalu ini pun tidak menyurutkan seruan-seruan untuk memboikot artis terkait. Pasalnya, bullying terutama di lingkungan sekolah, memang merupakan permasalahan pelik yang sudah sangat mengakar dan banyak makan korban di negeri Gingseng itu.
ADVERTISEMENTS
Sebelum isu bullying ini menggegerkan publik beberapa waktu yang lalu, ternyata isu yang sama juga pernah jadi persoalan yang cukup serius bagi pemerintah dan masyarakat Korea Selatan
Terungkapnya beberapa kasus bullying yang memakan korban jiwa membuat pemerintah saat itu menganggap bahwa bullying di lingkungan sekolah adalah permasalahan yang sangat serius. Bahkan kasus ini meningkat hingga 14 kasus dalam waktu kurang dari dua tahun. Dilansir dari Asia One, menurut survei tahun 2012 yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Sains dan Teknologi Korea Selatan, mengungkap bahwa satu dari sepuluh siswa di sekolah dasar hingga menengah, pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan oleh teman-teman sekolahnya.
Bertahun-tahun yang lalu pemerintah sudah mengambil langkah preventif dengan meningkatkan keamanan di lingkungan sekolah, namun upaya tersebut tidak membuat kasus menyurut. Kurangnya perhatian dan pendampingan dari sekolah saat itu, dinilai menjadi salah satu faktor kasus bullying tidak bisa ditekan. Masyarakat pun semakin resah ketika tak sedikit siswa yang takut pergi ke sekolah, bahkan hingga mengalami kecemasan hanya karena menyaksikan temannya yang diintimidasi oleh teman-teman yang lain.
Korban bullying biasanya menerima perlakuan intimidasi dari teman di sekolahnya mulai dari kekerasan verbal, pengucilan, pemerasan, pemaksaan pencurian, pengeroyokan, hingga pelecehan. Akibatnya pun mulai dari ketakutan, kecemasan, stres, depresi hingga berujung kematian.
ADVERTISEMENTS
Semakin banyak kasus terungkap, ternyata semakin banyak isu yang sama bermunculan. Masyarakat Korsel yang super kompetitif ditengarai jadi salah satu penyebab utamanya
Dilansir dari CNN Edition, Dr. Bae Jo-mi, seorang spesialis di Korea Youth Counseling Institute mengungkap bahwa, kasus bullying di Korea Selatan terjadi karena sifat hyper-competitive atau budaya bersaing dengan ketat di masyarakatnya.
Tuntutan kehidupan ekonomi yang tinggi, ikut memberikan tekanan yang cukup besar pada siswa melalui tuntutan pencapaian akademis untuk bisa sukses. “Para orang tua lebih senang mengajari anaknya untuk terampil di berbagai bidang agar nilainya bagus dan bisa sukses, namun mereka tidak minat mendidik anaknya agar bermoral dan memiliki kepribadian yang baik.” Ujar, Bae.
ADVERTISEMENTS
Hyper-competitive culture membuat siswa akan memandang teman sebagai saingan yang harus dikalahkan. Mungkin mereka tidak punya teman kelas, tapi mereka punya musuh di kelas
Siswa yang nggak bisa punya pencapaian bagus dalam hal nilai akan beralih dengan cara lain untuk menegaskan kekuatan mereka, salah satunya dengan melakukan bullying pada temannya. Hal ini juga bisa terjadi pada siswa yang memiliki pencapaian nilai bagus, mereka tetap nggak mau dikalahkan jadi bertindak sebagai penguasa untuk ditakuti teman-temannya.
Dalam kasus bullying pada anak dan remaja, korban adalah korban sementara tersangkanya juga korban; korban dari lingkungan atau sistem yang tidak ramah bagi pola perkembangan mental dan kognitif anak.
Menurut pandangan behaviorisme psikologi, siswa bisa dibentuk sesuai lingkungan. Perilaku siswa adalah hasil belajar dari kondisi di lingkungannya. Jika lingkungannya sangat kompetitif, maka akan membentuk perilaku yang kompetitif, baik dengan cara yang baik maupun cara yang buruk. Bullying di sekolah biasanya karena persaingan yang buruk, jadi menimbulkan agresifitas karena pelakunya adalah anak dan remaja yang masih labil dan kesulitan dalam menghadapi permasalahan.
ADVERTISEMENTS
Korban bullying biasanya butuh waktu hingga bertahun-tahun untuk mengumpulkan keberanian hingga bisa angkat bicara mengenai peristiwa yang menimpanya. Alasannya tentu cari aman karena takut ancaman
Terlepas dari gerakan sosial yang mendukung buka suara bagi korban bullying, dan hasil klarifikasi pihak agensi yang menaungi para artis tersebut; ramainya isu bullying beberapa waktu terakhir ini memang menjadi hal yang wajar bagi sebagian kasus bullying.
Menurut Miguel, seorang ahli cognitive skill yang dilansir dari NBER, mengungkapkan bahwa efek bullying paling parah pada korban akan menimbulkan rasa sakit hati yang meningkat hingga 75% pada tiga hingga lima tahun ke depan. Seenggaknya ketika korban telah menemui perubahan yang signifikan pada tersangka.
ADVERTISEMENTS
Belajar dari Korea Selatan, bullying di sekolah harusnya jadi tanggung jawab semua pihak di lingkungan tumbuh kembang anak dan remaja, lo!
Masalah bullying di Korea Selatan adalah pelajaran berharga bagi semua masyarakat dunia. Dari sana kita jadi paham, kan kalau kasus bullying nggak cuma persoalan pendidikan dan pola asuh tapi juga sistem kebijakan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat angka kasus bullying pada anak dan remaja di Indonesia bukanlah angka yang kecil, jadi butuh gotong royong dari pihak orang tua, sekolah, masyarakat hingga pemerintah untuk mewujudkan anak dan remaja Indonesia yang bermoral dan menciptakan sekolah yang aman serta berdaya saing sehat. Wujudkan bareng-bareng, yuk!