Jika kamu adalah seseorang yang punya antusiasme terhadap isu-isu politik, masa-masa menjelang pemilu mungkin bagai sebuah perjalanan yang bisa kamu nikmati per setapaknya. Berita-berita politik di media massa adalah santapan yang terkadang pahit, nyelekit, tapi lahap juga kita memamahnya.
Kontestasi yang ada dibumbui drama-dramanya –baik yang berbobot maupun yang picisan–membuat kita punya bahan obrolan dengan kawan kantor, atau memberi kita peluang untuk mempelajari kehidupan di luar keseharian kita: tentang sejarah-sejarah penting negeri ini, bagaimana sebuah pemerintahan bekerja, nasib-nasib orang yang berada di pelosok sana, dan sebagainya.
Tentang aktivis buruh yang dihilangkan aparat, populasi tunakarya yang buram kepastian hidupnya, hingga jumlah panser yang kita miliki demi menyiapkan diri jika siapa tahu mendadak kita ditembaki Amerika. Kita mendadak lebih peduli pada persoalan-persoalan negara dibanding sebelumnya.
Perspektif atas semua perkara itu mengerucut pada pertimbangan memilih segelintir orang yang kita percaya untuk mengambil keputusan-keputusan besar.
Sengit dan menarik.
Tapi beberapa hari terakhir, kita seharusnya mulai lelah.
Kita lelah menonton orang-orang berpangkat saling menarik uratnya dan adu keras tudingan di televisi
Kita lelah menemukan bahwa grup Whatsapp keluarga kita berubah menjadi arena kampanye
Kita lelah mendapati orang terdekat kita sendiri tergerak untuk menyebarkan berita dusta
Kita lelah melihat agama tak lagi dihormati namun dijual murah bak rokok eceran
Kita lelah mengambil risiko kehilangan teman setiap mengunggah pendapat politik kita di media sosial
Kita lelah mendengar suara knalpot konvoi jalanan yang lebih berbunyi seperti ajakan perang dibanding perayaan dukungan
Kita lelah dengan batin dan emosi kita sendiri yang terkadang tak mampu kita bendung dan berakhir kebencian
Perseteruan adalah sisi gelap dari politik, Tak bisa dihindari, melainkan harus diarungi untuk menemukan kesepakatan menuju kepentingan bersama.
Hanya saja pemilu tahun ini adalah jalan yang amat terjal, dan mungkin kita sudah tersengal-sengal.
Maka bagaimana jika kita sepakat untuk mengambil napas sejenak?
Selepas jari kita berubah ungu, kita semua kembali menjadi rakyat yang sama. Kita akan tertindas bersama jika ia yang terpilih ternyata melalimkan diri, dan maju bersama jika yang terpilih mampu memprioritaskan kebijaksanaannya. Keuntungan dan risiko itu kita tanggung bersama.
Siapapun yang menang, kita tetap harus kembali bekerja esok hari, masuk kantor, dan mencari uang dengan keringat sendiri.
Siapapun yang kamu pilih–termasuk golput sekalipun–kita tetap punya hak dan akses yang sama untuk mengkritik maupun mengawal mereka yang terpilih.
Jadi apa yang mau dipertarungkan lagi setelah ini? Sudah cukup kita diadu bagai ayam sabung, pada akhirnya kita adalah satu: rakyat yang memegang kedaulatan. Mari simpan energi untuk mempertahankan itu.