“…Semoga kepergianmu adalah yang terakhir dan menjadi titik balik damainya antar suporter sepak bola Indonesia. Mungkin lebih baik tidak ada sepak bola jika ternyata harus menghilangkan nyawa-nyawa manusia. Karena membunuh satu manusia sama dengan membunuh seluruh kemanusiaan…” -Ridwan Kamil
Kutipan diatas, dihantarkan Ridwan Kamil kepada Ricko Andrean melalui unggahan instagramnya 27 juLI 2017. Sepak bola adalah salah satu olahraga paling bergengsi di dunia. Disukai seluruh lapisan masyarakat tanpa terbatas gender dan usia. Kedigdayaan sepak bola ini di Indonesia nampaknya kembali memakan tumbal. Seorang Bobotoh, suporter bola untuk Persib, meninggal dunia setelah menjadi korban bulan-bulanan salah sasaran dari sesama suporter Persib. Korban diketahui bernama Ricko Andrean (22) mengalami gegar otak akibat pukulan benda tumpul dan pengeroyokan.
Kronologi tewasnya Ricko tergolong miris. Hanya karena ingin melerai keributan antara Bobotoh dan The Jak, ia yang saat itu kebetulan tengah melepaskan atribut Persibnya menjadi korban pengeroyokan salah sasaran karena dikira berada di pihak Persija. Walaupun sudah menunjukkan KTP Bandung dan melalukan pembelaan, namun saking banyaknya massa pembelaannya pun sia-sia.
Pada kasus Ricko, hanya karena atribut saja massa gelap mata. Tidak pakai basa-basi atau bertukar kata dulu, siapapun yang kelihatan tidak seragam, langsung diserang
Entah apa yang dipikirkan oleh massa yang mengeroyok Ricko saat itu. Emosi dan gelap mata justru membuat mereka membunuh rekan suporternya sendiri. Hanya karena Ricko kebetulan tengah melepas kaus birunya yang menandakan atribut Persib. Massa ketika itu justru menuduh Ricko adalah suporter Persija yang menyamar. Meskipun begitu, bukankah pengeroyokan tetap tidak dibenarkan?
Hal ini jelas jadi pukulan telak untuk para suporter di Indonesia. Moral menjadi tidak ada nilainya ketika mereka saling mengenakan atribut tim sepakbola masing-masing, saling bermusuhan dan saling melukai. Padahal kita sama-sama saudara sebangsa, bahkan mungkin masih satu suku.
Ini masalah serius. Korban tewas akibat bentrok suporter bola di Indonesia selama 1995-2016, telah mencapai 54 orang
Dikutip melalui tirto.id data dari SOS (Save Our Soccer) mencatat jumlah korban tewas akibat bentrok superter bola ini berjumlah 54 orang terhitung mulai 1995 hingga 2016. Jumlah ini belum termasuk korban di 2017, yang sejauh ini sudah tercatat berjumlah 3 orang. Korban di Magelang, Tangerang, dan yang terakhir adalah Ricko dari Bandung. Kasus dan penyebabnya pun beragam. Mulai dari bentrok antarsuporter, perkelahian internal dan aksi saling balas dendam, hingga perkelahian dengan warga dan aparat.
Permusuhan antar pendukung sepak bola seakan-akan sudah mengakar dan terus berlanjut selama klub kesayangan mereka terus bertanding di laga. Memalukan bagaimana sepak bola sebagai sport namun tidak didukung oleh sikap sportif para suporternya. Bahkan ini terjadi sudah sejak lama, hingga sekarang. Seringnya disebabkan masalah klasik yang sama.
Inikah wajah sepak bola Indonesia? Saling bunuh saudara sebangsa hanya demi melampiaskan kemarahan?
Loyalitas dan kekompakan suporter bola di Indonesia memang sangat baik. Tetapi loyalitas yang berlebihan ini kemudian menjadi racun sendiri. Mudahnya emosi tersulut dan sentimen antarsuporter sepak bola bisa jadi tragedi tersendiri. Seolah-olah pertandingan sepak bola tanpa ribut-ribut adalah hal yang janggal. Sudah bukan rahasia lagi, para suporter bahkan sering membawa benda tajam dan peralatan berbahaya yang seolah-olah ‘dipersiapkan’ untuk melukai suporter lawan.
Segala hal yang berhubungan dengan suporter lawan pun bisa jadi sasaran. Hanya dengan memiliki plat kendaraan bernomor polisi kota suporter lawan bisa diludahi dan dirusak. Padahal sang pemilik kendaraan belum tentu warga kota tersebut pun suporter suatu klub bola. Sebaiknya kita renungkan bersama guys, pertandingan sepak bola selamanya hanyalah pertandingan yang sangat membutuhkan soprtifitas baik oleh pemain dan pendukungnya. Jika pertandingan saja dianggap sebuah perang antarklub, mau dibawa kemana moral bangsa yang semakin terdegradasi?
Sebenarnya, upaya mediasi dan rekonsiliasi sudah sering dilakukan. Tapi hasilnya nihil
Permusuhan antara The Jakmania dan Bobotoh pernah beberapa kali di mediasi antara walikota bandung dan pimpinan The Jakmania. Namun kenyataanya rasa saling memusuhi ini tidak begitu saja hilang. Begitu pula dengan klub lain seperti Persebaya dan Arema, PSIM Yogyakarta dan Persis Solo, PSIS Semarang dan Persijap Jepara, serta masih banyak lagi klub yang memiliki ‘tradisi’ saling benci.
Mungkin saatnya untuk mengubah hal ini dari hal kecil dan dimulai dari diri sendiri. Kita nggak ingin ‘kan kalau ada korban berjatuhan lagi hanya karena alasan saling benci klub bola? Miris deh nyawa manusia begitu murah demi fanatisme berlebihan. Sepak bola dan olahraga seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa, bukan pemecah belah dan pencipta tragedi.