Seperti halnya era reformasi di Indonesia pada tahun 1998, salah satu negara terkecil di benua Afrika yaitu Gambia sedang mengalami momen-momen kritis menyambut berakhirnya rezim otoriter yang telah berlangsung selama 22 tahun. Di bawah ‘tangan besi’ diktator Yahya Jemmeh, Gambia berubah dari salah satu negara paling stabil di Afrika menjadi yang termiskin. Diktator yang mengambil alih kekuasaan pemerintah lewat kudeta militer pada tahun 1994 ini, menderita kekalahan yang tidak terduga pada pemilu Desember 2016 lalu.
Meski awalnya menyatakan menerima hasil pemilu, akhirnya mantan penguasa ini justru memberontak dengan melarikan diri sambil menggondol seluruh kekayaan negara yang tersisa. Sontak saja media internasional ramai meliput aksi kekanak-kanakan dari pemimpin negara yang menolak proses demokrasi ini.
ADVERTISEMENTS
Sejak 2015, Gambia dinyatakan sebagai negara yang bangkrut. Maklum saja kalau rakyatnya menuntut adanya pergantian kepemimpinan
Padahal sejak masa jabatan kepresidenan diemban Yahya Jemmeh pada tahun 1994 silam, Gambia termasuk negara Afrika yang paling stabil. Saat negara-negara Afrika lain tengah mengalami kekacauan (pemberontakan, perompakan, kelaparan dan lain-lain), kondisi di Gambia terhitung stabil dan aman.
Tapi yang namanya stabil belum tentu makmur. Sejak 2015 silam Gambia dicap sebagai negara bangkrut yang bahkan kas negara saja nggak punya. Kondisi sosialnya pun terus menurun setelahnya. Ekonomi yang susah jelas membuat rakyatnya jengah. Meski stabil dan aman, tapi di era seperti ini mana bisa hidup tanpa uang?
ADVERTISEMENTS
Harapan akan transisi kekuasaan yang damai sesuai prinsip demokrasi sirna. Setelah pemilu, mantan presiden Gambia ini malah kabur membawa uang negara!
“Sudah jatuh tertimpa tangga pula”
Mungkin pepatah itu tepat jika diperuntukkan bagi Gambia, negara kecil di wilayah Afrika sana. Ekonomi yang kian terpuruk membuat rakyat Gambia habis kesabaran. Yahya Jemmeh yang memimpin sejak 1994 dinilai tak akan bisa memperbaiki keadaan ekonomi Gambia. Karena itu revolusi dan pemilu diadakan.
“Dia juga mengosongkan kas negara dan mengirimkan mobil-mobil mewahnya ke luar negeri dengan menggunakan pesawat kargo.” – Penasihat presiden baru Gambia, Mai Ahmad Fatty, dikutip dari Kompas.
Sialnya, harapan perbaikan tersebut sirna ketika ada kabar bahwa mantan Presiden Yahya Jemmeh mengosongi kas negara dan membawanya kabur untuk kepentingan pribadinya. Total kas negara senilai Rp 147 miliar dan kendaraan-kendaraan mewah dibawa kabur oleh Yahya Jemmeh yang setelah kekalahannya pada Desember 2016 lalu memilih untuk kabur ke Guinea Ekuatorial.
ADVERTISEMENTS
Kini mereka menghadapi tantangan baru yaitu membangun negara mulai dari nol lagi! Semangat Gambia!
Kas negara yang kosong jelas merupakan pukulan tersendiri bagi presiden yang baru terpilih, Adama Barrow. Bagaimana mungkin menata negara yang tengah kacau ekonominya ketika kas negaranya nggak ada? Hal itu adalah tantangan tersendiri bagi Adama Barrow yang janji kampanyenya adalah memajukan ekonomi Gambia.
Saat ini Adama Barrow masih ada Senegal dengan alasan keamanan dan dijadwalkan akan segera kembali ke Gambia dalam waktu dekat ini. Yah, semoga Adama Barrow bisa memperbaiki kondisi di Gambia sana.
ADVERTISEMENTS
Disamping sikap kekanak-kanakan, kelakuan mantan Presiden Gambia ini juga representasikan buruknya kondisi demokrasi di sana. Seharusnya hasil demokrasi bisa diterima dengan lapang dada
Demokrasi itu memang merupakan konsep ideal yang sulit diwujudkan sebenar-benarnya. Banyak negara yang mengaku demokratis tapi nyatanya hanya sebatas melakukan prosedurnya saja, tanpa memahami substansinya. Mengadakan pemilu tapi ternyata hasilnya bisa ‘dibeli’ lewat jalan belakang. Akibatnya, korupsi menjamur di mana-mana. Seperti halnya Gambia. Diktator Yahya Jemmeh juga sebenarnya memenangi pemilu ‘demokratis’ sebanyak 4 kali dalam 22 tahun kepemimpinannya. Bahkan Kim Jong-Un di Korea Utara pun juga sebenarnya dipilih melalui pemilu, dengan keyakinan penuh dia bakal dapat 100% peroleh suara.
Banyak daerah di Indonesia yang juga tengah menggelar pemilihan umum. Meski belum sempurna, tapi demokrasi di Indonesia jelas lebih baik dari dua negara di atas. Dan semoga saja proses demokrasi di Indonesia jadi makin substansial, tidak hanya sekadar di permukaan.