“Indonesia ‘kan kaya sumber daya alam, jadi jangan mau kalah lah sama negara lain…“
Sejak zaman dahulu kala, kita selalu hidup dengan kepercayaan kalau Indonesia punya kekayaan alam yang melimpah ruah. Dari ajaran leluhur di Jawa yang menyebut bumi pertiwi ini ‘gemah ripah loh jinawi‘, sampai gambaran ideal negara agraris yang dipenuhi hamparan sawah hijau, kebanyakan orang Indonesia pasti mengaku bangga dengan keindahan dan kekayaan alam negeri ini.
Tapi mungkin, kepercayaan ini harus rajin-rajin direvisi atau dicek kebenarannnya, bukan malah terus menerus diucapkan layaknya mantra. Bisa jadi sudah tidak relevan lagi di zaman yang makin maju ini lho. Entah sudah habis, atau malah sudah dikuasai asing. Dalam rangka memperingati HUT RI kali ini, marilah kita sama-sama merefleksikan diri, syukur-syukur bisa mencari solusi bagi situasi yang disebut sebagai “kutukan sumber daya alam” ini. Yuk, simak ulasan Hipwee News & Feature kali ini.
ADVERTISEMENTS
Ibarat anak yang terbiasa dimanja dengan harta keluarganya yang melimpah, begitu hartanya habis atau orangtuanya meninggal, mereka tidak bisa menghasilkan apa-apa
Analogi di atas bisa dikatakan tepat untuk menggambarkan kondisi dengan sumber daya alam melimpah. Indonesia yang katanya kaya, kalau cuma mengandalkan SDA-nya, malah bisa jadi berantakan. Ini karena SDA sifatnya sangat fluktuatif. Harga minyak misalnya, bisa naik bisa turun, tergantung faktor-faktor eksternal seperti hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara dunia, dll. Intinya, tidak selamanya solusi buat jadi kaya itu dengan menjual SDA yang dimiliki. Bisa sih untung, tapi sifatnya sementara.
ADVERTISEMENTS
Hasil dari SDA tadi ternyata malah bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesenjangan sosial lho
Secara logika memang rakyat bisa jadi kaya dengan menjual hasil-hasil alam yang dimiliki. Tapi pada kenyataannya, hanya pihak-pihak tertentu aja yang biasanya menikmati. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Kondisi ini juga bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. Masyarakat cuma fokus sama SDA besar, kebutuhan lain terbengkalai, jadinya menggampangkan impor. Kualitas SDM juga tidak ditingkatkan, karena asumsinya “udah kaya ngapain belajar?”.
ADVERTISEMENTS
Karena SDM kurang mumpuni buat mengelola SDA sendiri, akhirnya pemerintah memutuskan menarik investor seluas-luasnya, atau bahkan utang dalam jumlah besar
Kalaupun ada pikiran buat mengelola SDA itu, tapi kalau SDM-nya terbatas ya terpaksa minta bantuan asing, pilihannya mungkin menarik investor atau utang dalam jumlah besar, misal buat membangun pabrik pengelolaan SDA, dll. Sedangkan orang-orang Indonesia? Kebanyakan malah “dipekerjakan” di tanah sendiri, mengelola SDA dari negara sendiri.
ADVERTISEMENTS
“Kutukan” lain yang katanya rawan terjadi di negara-negara kayak SDA ini adalah konflik sipil, kayak perebutan kekuasaan, korupsi, dll
Penduduk yang hidup di negara kaya, kemungkinan rebutan SDA itu jauh lebih besar dibanding negara yang biasa-biasa aja. Awalnya konflik kekuasaan, lalu akhirnya merembet ke konflik bersenjata. Hasil penjualan SDA bukannya dipakai buat meningkatkan kualitas SDM tapi malah buat mendukung kepentingan konflik dan politik tertentu.
Saking percayanya kalau SDA kita melimpah, kita sampai lupa kalau kualitas SDM justru belum mumpuni buat bersaing secara internasional. Kalau sudah begini, jadi ingat sama pendapat penulis dan dosen di The New School, New York, Eugene Thacker. Ia memaparkan soal pesimisme. Menurutnya, mungkin hidup dalam pesimisme barangkali justru bisa menguntungkan.
Layaknya negara Jepang dan Korea Selatan, yang dari dulu malah percaya kalau SDM mereka itu kurang berkualitas. Tapi faktanya keduanya malah jadi negara terdepan dalam teknologi. Ini adalah buah dari pikiran yang tidak puas dan selalu mau belajar serta berinovasi.