Kita yang hidup di kota-kota besar, mudah sekali terganggu dengan naiknya harga bahan makanan. Kita mudah emosi ketika fasilitas umum kurang memuaskan. Padamnya listrik lebih dari dua jam sudah membuat kita tak tahan untuk tidak koar-koar di media sosial. Tapi itu semua, tentu belum seberapa daripada yang dirasakan oleh saudara kita yang hidup di perbatasan.
Harga bahan makanan yang mahal itu sudah biasa. Sarana transportasi yang parahnya tak terdefinisikan, itu adalah kenyataan sehari-hari. Dan jangankan mengeluh soal listrik padam, banyak dari warga perbatasan yang tak kenal pada listrik. Sambil berharap pemerintah dan negara bisa memperbaiki layanan kepada seluruh rakyat, yuk kita intip kehidupan saudara-sadara kita di perbatasan Indonesia – Malaysia!
ADVERTISEMENTS
1. Salah satu kecamatan terluar di perbatasan adalah Entikong. Dari Pontianak harus ditempuh selama 7 jam perjalanan
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
2. Jangan bayangkan jalan mulus layaknya tol-tol di Jakarta. Lumpur, genangan, pasir, dan berbagai medan berbahaya harus kamu temui. Malu rasanya melihat tetangga yang lebih tertata
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
3. Di Entikong, warga lebih mengenal Ringgit dan produk-produk Malaysia. Merah putih boleh di dada, tapi untuk urusan perut ternyata banyak yang mencari nafkah ke negeri tetangga
4. Begitu juga dengan urusan belanja. Harga yang lebih murah dan jarak yang lebih pendek membuat belanja ke luar negeri lebih digemari
5. Jauh di pedalaman, ada dusun Suruh Tembawang. Untuk ke Kecamatan Entikong, kamu harus mengarungi Sungai Sekayam yang ganas selama 8 jam
6. Sulit untuk menerapkan wajib belajar 9 tahun. Karena fasilitas pendidikan sendiri masih sangat menggenaskan
7. Untuk mendapat pendidikan yang bagus, berjalan 6-8 jam sehari adalah hal biasa. Apa kabar kamu yang macet satu jam saja sudah ngomel-ngomel di media sosial?
8. Di desa terluar seperti Suruh Tembawang, banyak yang memilih menyekolahkan anaknya di kampung sapit, Malaysia. Sebab sekolah di dusun mereka benar-benar tak layak digunakan
9. Soal listrik pun masih banyak yang bergantung ke Malaysia. Sebagian lagi memilih bertahan dalam gelap gulita
10. Karena kurangnya perhatian membuat mereka merasa terabaikan. Krisis kewarganegaraan membuat mereka banyak yang memilih menyeberang
11. Namun saat ini, perhatian ke perbatasan sudah mulai digalakan. Sedikit demi sedikit fasilitas sudah mulai dikembangkan
12. Semoga Entikong bisa mengejar kota-kota lainnya. Sebab sebagai wilayah Indonesia, warga Entikong berhak pada atas kenyamanan yang sama
Entikong hanyalah salah satu daerah perbatasan Indonesia – Malaysia yang jelas sangat tertinggal soal fasilitas dan pembangunan oleh negara. Masih ada Pulau Sebatik yang terbagi dua, dimana warganya punya rumah di Indonesia tapi dapurnya di Malaysia. Dan masih ada daerah-daerah lain yang kurang lebih sama tertinggalnya. Sungguh ironis, bila daerah yang sangat rawan dan dekat dengan dunia luar, justru diacuhkan dan tidak dipedulikan oleh pemerintah pusat. Baru ketika terdengar isu separatisme atau pencaplokan, prinsip NKRI kembali digiatkan. Seharusnya sudah jadi kesadaran bersama untuk bersama menjaga kedaulatan Indonesia, sampai garis dan perbatasan terluar.