Beberapa hari ini santer dikabarkan bahwa program Dahsyat di RCTI mendapat sanksi dari KPI. Dikutip dari Kumparan, dalam acara Dahsyat ada kata-kata yang sifatnya merendahkan seperti pe’a, pangeran sawan, jenglot, dan jenglot. Kemudian ada juga adegan seorang pria yang mengendarai mobil maju-mundur, padahal ada orang lain di bagasi mobil yang tertutup. Atas aksi yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI, acara ini nggak boleh tayang tanggal 13, 14, dan 19 April nanti.
Huft. Saya selalu menghela napas setiap kali membicarakan tayangan TV dalam negeri. Perlu dicatat, sudah bertahun-tahun saya berhenti nonton TV, kecuali jika ada event favorit seperti Piala dunia atau Piala Eropa. Yah selain di tempat saya memang nggak punya TV, ada banyak alasan yang membuat saya berhenti menonton layar kaca, khususnya acara-acara Indonesia.
ADVERTISEMENTS
Sebenarnya saya juga ingin nonton TV. Beberapa kali sudah mencoba, tapi tumbang tanpa perlu waktu lama
Bagi kaum pekerja muda seperti saya, hiburan adalah hal penting dalam keseharian. Pulang kerja selewat senja, lalu selonjoran di rumah berusaha menghibur diri untuk melepas penat. Alangkah nyamannya jika tontonan di TV bisa menghibur, tapi tontonan di layar kaca sekarang tak ada yang bisa saya nikmati. Berkali-kali saya coba untuk nonton TV, mencari-cari nostalgia seperti yang saya rasakan ketika nonton kartun-kartun di hari Minggu pagi saat masih kecil dulu. Tapi mana? Tertawa pun jadinya maksa. Nggak perlu waktu lama, saya gagal di setiap percobaan.
ADVERTISEMENTS
Lamanya durasi sinetron sering tak masuk akal. Coba bayangkan, dari saya masuk kuliah hingga sarjana, masa wajah-wajah yang muncul masih itu-itu saja?
Fenomena sinetron Indonesia memang luar biasa. Dihujat, tapi ironisnya masih saja banyak yang suka. Durasi sinetron Indonesia seringkali tak masuk akal. Tokoh utama meninggal tak masalah karena bisa dibuat tokoh utama baru. Masih ingat sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang kabarnya baru-baru ini ‘dipaksa’ tamat? Sudah ada sebelum saya jadi mahasiswa dan masih ada setelah saya melepas status mahasiswa. Wow. Super. Spektakuler. Kreasi layar kaca jadi sepenuhnya soal bisnis semata. Selama ada yang nonton ya kenapa harus ditamatkan? 2000 episode, itu sinetron apa harga gorengan?
ADVERTISEMENTS
Adegan demi adegan sinetron ditayangkan tanpa mengindahkan logika. Entah untuk yang lainnya, tapi bagi saya itu sangat menyiksa
Oke, mari kita mulai dengan adegan paling umum di sinetron. Tabrakan, kemudian saling bantu membenahi bawaan, lalu tak sengaja pegangan tangan, jatuh cinta, dan bahagia selamanya. Lalu tokoh antagonis yang jahatnya amit-amit dan tokoh protagonis yang lebih baik daripada malaikat. Argh! Kenapa sinetron Indonesia nggak dibuat seperti drama Korea saja sih?
Toh, Indonesia juga punya banyak stock artis seganteng Song Jongki atau Lee Min Ho. Dan sebenarnya drama Korea juga nggak hebat-hebat amat. Kadang saya masih bertanya-tanya ‘kok bisa?’, tapi saya masih bisa menikmatinya. Dan yang penting, di drama nggak ada cerita yang sampai turun temurun ke anak cucu tokoh utama.
ADVERTISEMENTS
Yang katanya acara musik juga hanya sekadar haha-hehe tanpa arti. Sebagai pecinta musik yang agak fanatik ya saya pilih mematikan TV
Saya juga sering susah membedakan antara acara musik dengan acara lawak. Kalau disebut acara musik, kok musiknya cuma 20% sisanya haha-hehe nggak ada artinya. Kalau disebut acara lawak, kok nggak bisa bikin ketawa. Ironisnya, candaan para host sering keterlaluan dan mengandung unsur bullying, atas nama menghibur pemirsa. Apa nggak bisa kalau acara musik dikembalikan seperti dulu? Selain menyuguhkan lagu, juga info ringan soal musik? Atau kalau memang mau bercanda, bisakah yang lebih bermutu dan mendidik?
ADVERTISEMENTS
Terkadang saya bertanya, apalah jadinya bila internet tak pernah ada. Mungkin saya benar-benar tertekan, karena kekurangan hiburan
Kadang saya penasaran, kenapa orang bisa terhibur dengan hal-hal seperti itu. Yah, sebab tayangan itu masih ada tentu tak lepas dari peran penonton, bukan? Penonton banyak, rating tinggi. Biar saja saya yang terus-terusan bertanya kenapa oh kenapa. Apa yang salah? Saya atau memang mutu tayangannya? Tapi untung saja di masa kini banyak alternatif hiburan. Untung ada Youtube, jadi saya bisa pilih sendiri apa yang ingin saya tonton. Untung saja ada media sosial, jadi saya bisa nonton banyak drama di sana tanpa perlu susah payah menahan tegukan ludah.
ADVERTISEMENTS
Padahal bagi banyak orang, TV adalah hiburan satu-satunya. Dengan mutu tayangan yang ‘aduh’ banget, bagaimana bisa mengharapkan generasi yang cerdas?
Okelah, saya bisa memilih untuk mematikan TV dan mencari hiburan lainnya. Saya juga bisa menilai kalau adegan sinetron itu nggak layak ditiru dan harus dibanned dari cara hidup saya. Tapi ‘kan nggak semua orang seberuntung saya. Bagi banyak orang Indonesia, TV memang menjadi hiburan satu-satunya. Anak-anak sekolah menonton sinetron yang menayangkan adegan kekerasan. Anak-anak kecil melihat presenter TV saling bully dengan kata-kata kotor yang nggak pantas. Mereka-mereka ini, nggak punya pilihan lain. TV yang harusnya bisa jadi sarana edukasi justru merusak generasi muda. Kalau sudah begini, salah siapa?
Berhenti menonton TV pun juga bukan hal mudah. Ada rasa bersalah, karena lebih suka drama Korea. Tapi mutu tayangan yang membuat saya tak punya pilihan
Sebenarnya saya tidak bangga mengaku sebagai orang yang berhenti nonton TV. Barangkali ada yang menganggap hal itu sebagai tindakan cerdas oleh orang-orang cerdas. Tapi sesungguhnya saya malah sedih. Mungkin juga orang-orang seperti saya yang memilih meninggalkan televisi kita ini juga menyumbang barang beberapa persen soal kebobrokan tayangan televisi. Saya ingin juga menonton dan mendukung karya anak bangsa. Dengan begitu mungkin kualitas program TV kita bisa lebih baik lagi. Tapi jika setiap kali menyalakan TV bikin sakit kepala, saya bisa apa?
Minimnya acara bermutu membuat nasionalisme saya terganjal televisi. Semoga era acara musik MTV, sinetron Dunia Tanpa Koma, Keluarga Cemara, dan kawan-kawannya bisa kembali lagi.