I can’t believe the news today
Oh, I can’t close my eyes
And make it go away
How long?
How long must we sing this song?
How long, how long?‘Cause tonight, we can be as one
TonightSunday, Bloody Sunday
Sunday, Bloody Sunday
Potongan lirik lagu milik U2 di atas laik bergema seharian di hari Minggu lalu (13/5), bahkan sampai detik ini. Rentetan aksi terorisme, atau kita sebut mentah saja sebagai “pembunuhan”, masih terjadi susul menyusul, entah sistematis atau sporadis karena saling ikut-ikutan. Kasus terakhir menjelang artikel ini ditulis justru kian barbar lagi, modalnya adalah senjata tajam sejenis samurai. Wahai netizen, hidup di zaman apa kita ini sebenarnya?
Untungnya, beberapa hal memang sudah bisa kita pastikan. Contohnya, para pelakunya sudah pasti akan masuk neraka. Beres, tak perlu diperdebatkan lagi.
Sementara untuk detail kasus, mari kita pantau bersama-sama lewat sumber-sumber terpercaya (baca: bukan sebaran caper di grup Whatsapp). Ingat, kasus terorisme sangat rentan mengundang desas desus, lantaran itulah yang disasar oleh kerja teroris. Jika tidak banyak yang tahu bahwa ada bom meledak di Surabaya, namanya bukan terorisme, melainkan kasus pemboman belaka. Terorisme menjadi “terorisme” karena informasinya tersebar luas, dan menimbulkan ketakutan massa.
Nah, yang seyogianya perlu kita lakukan sekarang tidak cukup dengan hanya “tidak takut”. Kita perlu secara aktif memukul balik terorisme. Tentu serahkan pada yang berwenang untuk pemberantasan secara fisik. Bagi kita, apa yang bisa dilakukan sebenarnya sangat sederhana, yakni lebih peduli dengan orang lain.
Teruntuk orang yang perangkat pikirnya masih berfungsi, “membunuh orang lain agar masuk surga” itu sudah tidak masuk akal. Baru masuk logika jika disunting menjadi “agar masuk penjara”. Dari sini, mungkin kita bisa bilang bahwa para pelaku teror adalah orang yang tidak waras, terlampau bodoh, atau terlanjur jahat.
Saya percaya tidak sesederhana itu.
Jadi kita mulai dengan mencoba membedah masalah mendasar yang menjadi akar tindakan-tindakan keji ini.
Benih-benih teroris bukan bakat bawaan, tapi produk lingkungan dan masyarakat. Adalah kita yang melahirkan mereka
Mencari benang merah dari akar sebab terorisme atas nama agama laksana mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak penelitian dilakukan, tapi hasilnya berbeda-beda karena memang pola-polanya sungguh beragam. Yang pasti, ada unsur intoleransi di dalamnya.
Atas beragam perspektif tentangnya, saya cenderung lebih yakin dengan amatan Sana Jaffrey dalam studinya di buku Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme (2017) yang menyebutkan tiga pendekatan untuk menjelaskan konflik keagamaan dalam masyarakat, yakni institusionalisme, instrumentalisme dan penjelasan kultural.
Penjelasan institusionalis terkait dengan bagaimana peraturan yang berlaku di masyarakat seharusnya dapat mengatasi konflik-konflik keagamaan di Indonesia. Ini termasuk kebijakan negara atau penegakan hukum. Apesnya, aparat saja masih sering melempem berhadapan dengan isu-isu toleransi, terutama yang melibatkan ormas-ormas you know who. Lihat betapa seringnya acara-acara seni atau diskusi ilmiah dibiarkan dibubarkan pihak-pihak tertentu dengan dalih mempromosikan LGBT, komunisme, seks bebas, dan sebagainya. Alih-alih melindungi, negara justru memberi jalan bagi semangat intoleran untuk berbuat sewenang-wenang. Mereka baru menjadi tegas ketika intoleransi itu sudah berbuah aksi terorisme.
Sementara itu penjelasan instrumentalis melihat bagaimana seringkali unsur-unsur etnis dan agama dipolitisir atau dijadikan instrumen untuk kepentingan para elit politik dan pejabat negara. Sudah kentara benar bagaimana Pemilu 2014, Pilgub DKI 2017, dan Pilkada 2018 mengumbar isu-isu berbasis ras dan agama untuk mencuri dukungan rakyat. Bukannya mencoba mendamaikan dan mengharmoniskan, calon-calon pemimpin ini justru menggarangkan sentimen di tiap-tiap golongan. Ditambahi guyuran kampanye hitam dan fitnah-fitnah, maka terbakar sudah. Bisa jadi para politikus ini awalnya tidak bermaksud sejauh itu untuk sampai menciptakan benih teroris, namun jika sudah kejadian seperti ini, mereka bisa apa? Bisa diulangi lagi besok.
Pendekatan teoretis ketiga dari Jaffrey adalah penjelasan kultural. Dipaparkan bahwa pada dasarnya kelompok identitas tertentu di Indonesia memang punya tendensi primordial untuk melakukan kekerasan. Contohnya adalah ‘amok’ di budaya Melayu yang menggambarkan masyarakat di Indonesia lebih rentan terhadap mobilisasi kekerasan.
Selain ketiga pendekatan itu, beberapa pihak–termasuk presiden kita–meyakini bahwa tindak terorisme juga dampak dari meluasnya kemiskinan. Saya juga percaya, tapi mungkin lebih tepatnya lagi adalah “kesenjangan sosial”. Tentu saja tidak semua pelaku terorisme berasal dari latar belakang kelas ekonomi bawah (termasuk keluarga pelaku pemboman di Surabaya), namun kondisi ekonomi yang lebih baik akan cenderung membuat “insan-insan rentan” untuk dapat berpikir lebih jernih dan tidak harus mencari pelarian pada doktrin-doktrin menyesatkan.
Kecukupan pangan, papan, sandang, dan reputasi sosial diharapkan juga mendukung kualitas pengelolaan emosi dan wawasan seseorang. Rendahnya benteng diri terhadap serangan hoaks dan propaganda sering jadi biang tindakan-tindakan konyol. Kita boleh yakin ada banyak kesalahan informasi yang dipertukarkan dalam anggota keluarga pelaku pemboman di Surabaya. Berbagai platform media sosial dan situs internet banyak mengusung wacana bahwa umat Islam selama ini diperlakukan tidak adil serta mendapatkan ancaman dan serangan dari pihak luar. Maka dari itu, salah satu kata kunci yang paling kerap muncul adalah “kafir”. Waduw.
Maka betapa jenaka ketika ada orang-orang yang masih menyempatkan diri sibuk mengurusi halusinasi bahaya PKI, padahal ada bahaya yang jelas-jelas kasat mata. Bom lho, meledak, membunuh, kurang konkret apa?
Menjadi orang baik tidak lantas membuat orang lain ikut menjadi orang baik. Butuh lebih dari itu
Sejak pemberitaan aksi teror pertama di Surabaya, kita semua mengekspresikan rasa sedih dan kadang-kadang dibumbui sumpah serapah. Namun, apakah ini menyelesaikan masalah? Tidak perlu dijawab.
Ini keresahan saya beberapa waktu belakangan. Anak muda masa kini terlalu peduli dengan urusan personalnya. Kebanyakan dari apa yang mereka (atau kita?) perjuangkan lebih pada impian-impian yang bersifat keuntungan pribadi. Golnya adalah menjadi orang sukses, bukan menjadi seseorang yang benar-benar berguna untuk orang lain.
Generasi X, Y, Z, dan seterusnya kekurangan orientasi kemasyarakatan. Secara sosiologis, ini memang tak lepas dari perubahan sosial seperti maraknya pembangunan mal, hotel, tata kota yang tak terkontrol, dan binasanya ruang-ruang publik. Mengarahkan kita menjadi kian pragmatis dan apatis.
Bahkan, mereka tetap tak tergerak ketika belakangan kita dirundung duka. Isu intoleransi agama adalah masalah sosial yang paling sering dikeluhkan kawan-kawan saya–dibanding soal konflik agraria, eksploitasi alam, atau penegakan HAM misalnya. Sayangnya, hampir nihil dari mereka yang merespons secara aktif. Intinya, jangan pernah berpikir menjadi toleran akan membuat orang lain ikut jadi toleran. “Mulai dari diri sendiri” itu cuma alasan kemalasan. Mem-blocking akun-akun intoleran cuma solusi untuk diri sendiri. Akun-akun itu tetap ada dan bekerja. Menjaga jarak dengan masalah berarti menunggu masalah menjadi makin besar.
Beranilah terjun dalam konflik tanpa melepas akal sehat dan kebijaksanaan.
Ada banyak yang bisa dilakukan. Menggiatan dialog antar umat beragama misalnya. Inisiasi forum-forum yang mampu mempertemukan agama-agama berbeda, meski partisipannya adalah usia sekolah atau mahasiswa. Pantau plus tuntut negara dan kepolisian untuk menyelesaikan pekerjaannya, bukan cuma memburu teroris, tapi juga menjaga keharmonisan masyarakat di keseharian. Tindak pula figur-figur atau acara keagamaan yang giat menyebarkan kebencian atas nama dakwah.
Giatkan apapun yang berorientasi pada kemanusiaan. Aktivisme yang tepat, meski tidak bersinggungan langsung dengan isu agama, pada akhirnya akan turut menyumbang terwujudnya iklim sosial yang kokoh bagi kebinekaan. Misalnya, memperjuangkan hak-hak pekerja atau melawan penggusuran lahan.
Salah satu sektor yang tak boleh terlupakan adalah pendidikan. Dukung pendidikan berorientasi multikultur. Masyarakat dan kita sendiri juga harus makin tahu batasan mana yang digolongkan penyimpangan keyakinan, mana penodaan agama, mana orthodoxy dan mana perbedaan penafsiran teks-teks keagamaan, serta mana perbedaan praktik-praktik keagamaan (M. Adlin Sila, 2017).
Tak kalah penting juga program literasi digital supaya orang-orang terdekat kita lebih peka terhadap paham pembawa petaka yang tersebar di media sosial. Ingat, ruang siber adalah lingkungan paling strategis dewasa ini bagi para teroris untuk beranak pinak.
“Kejahatan terjadi bukan karena banyaknya orang jahat, melainkan karena ada orang baik yang diam.” Saking seringnya dikutip, sampai tidak ketahuan itu tadi sebenarnya quotes milik siapa. Tapi kebenarannya memang tidak diragukan.
Kunci mengalahkan terorisme begitu sederhana secara konsep: lebih peduli dengan orang lain. Yaelah, ketakutan dibilang “sukanya ngurusin hidup orang” itu kebarat-baratan kok.