Artikel ini dipublikasikan untuk menyambut Hipwee Inspirational Summit 2015. Sudah daftar jadi pesertanya? Sampai bertemu di sana, ya!
Nama Harvard sebagai salah satu universitas terbaik di dunia nggak lantas menjadikannya tujuan no. 1 bagi mahasiswa Indonesia yang ingin meneruskan studi ke luar negeri. Buktinya, mahasiswa Indonesia di Harvard jumlahnya segelintir dibanding mereka yang berkuliah di Eropa atau universitas top di Singapura.
Dari jumlah yang segelintir ini, salah satunya adalah Widharmika Agung — founder organisasi sosial Indorelawan yang juga akan menjadi pembicara pada Hipwee Inspirational Summit 2015 nanti. Widhar, demikian panggilan akrabnya, tercatat sebagai mahasiswa Harvard Kennedy School of Government sejak tahun 2008 hingga 2010.
Gimana sih rasanya bersekolah di universitas terbaik dunia? Apa yang harus kita siapkan jika bertekad mengikuti jejaknya?
Simak obrolan Hipwee dengan Widhar di bawah ini, yuk!
ADVERTISEMENTS
“Perasaan paling bangga itu ya cuma ada saat pertama kali tahu elo diterima. Habis itu… ya ‘biasa aja’.”
Apa sih rasanya mendapat konfirmasi dari Harvard bahwa kamu pantas menyandang status sebagai mahasiswa mereka? Senang dan bangga, pastinya.Persentase aplikan yang diterima Harvard memang termasuk yang paling rendah di dunia. Artinya, seleksinya sangat ketat. Untuk Kennedy School — institut yang ditujukan untuk menggembleng calon-calon pemimpin politik dan pemerintahan global –persentase yang diterima atuh di kisaran 20% dari seluruh pelamar. Padahal, setiap pelamar ini punya pengalaman kerja mentereng, latar belakang pendidikan yang nggak bisa dianggap remeh, serta bahasa asing yang mumpuni.
Tapi namanya juga euforia, tentu kegembiraan diterima di Harvard ini hanya sementara. Widhar sendiri bercerita: “Begitu sampai di Boston, terus mampir ke Harvard Square… Yah elah, isinya anak Harvard semua. Pintar-pintar semua. Jadi, jangan pernah deh ngerasa elo istimewa!”
Mental rendah hati itu pula yang dipelihara Widhar sampai akhirnya ia sukses mengantongi gelar Master in Public Administration pada tahun 2010. “Kalau di universitas di Amerika itu, susah masuk gampang keluarnya. Kalau di Eropa, gampang masuk susah keluarnya,” ia setengah bercanda. Asal kamu mengobservasi dengan baik yang terjadi di kelas, aktif dalam diskusi dan seminar, serta tentu saja tidak menggampangkan dosen dan pelajaran, nilaimu akan baik-baik saja, kok.
ADVERTISEMENTS
Lalu, gimana caranya agar diterima? Bisa dibilang, persiapan melamar Harvard itu butuh seumur hidup lamanya
Sekolah bereputasi Ivy League di Amerika tentu tidak main-main dengan siapa yang mereka pilih sebagai mahasiswa. Karena itu, untuk mendapatkan tiket masuk ke sana kamu harus bersaing dengan putra-putri terbaik dunia. Inilah yang membuatmu harus benar-benar menyiapkan diri sebelum mengirimkan aplikasi.
Bisa dibilang, persiapan melamar ke Harvard itu berlangsung seumur hidup lamanya.Pasalnya,kamu nggak hanya harus menyertakan nilai tes GRE, GMAT, dan TOEFL saja — kamu juga harus menulis esai motivasi dan meminta surat rekomendasi. Pengalaman hidupmu dari bertahun-tahun yang lalu, jaringan yang sudah kamu bangun dari masa S-1dulu, pasti berpengaruh terhadap persiapanmu ini.
Widhar sendiri sudah bekerja tiga tahun di bidang consulting — dan satu tahun sebelumnya sebagai MT di sebuah perusahaan MNC — sebelum akhirnya “menyeberang” ke sekolah pemerintahan. Alumnus jurusan Teknik Industri ITB ini mendapat rekomendasi dari alumnus Kennedy School yang dikenalnya secara personal lewat pengalaman kerja. Karena itu, untuk menembus Harvard kamu tak hanya perlu memperhatikan angka-angka yang tertera pada IPK atau TOEFL-mu. “Kalau GRE atau GMAT sih bisa dikalkulasi ya. Itu ‘kan standardized test. Justru esai dan surat rekomendasi itu yang bakal menunjukkan siapa elo sebenarnya.”
“Cari tahu juga apa yang paling dicari oleh sekolah tempat lo ngelamar. Kalau Harvard, dia secara spesifik mencari leadership skill dari kandidat-kandidatnya.”
Widhar menekankan bahwa sama sekali belum terlambat buat kita untuk memulai persiapan aplikasi dari sekarang. “Saya juga nggak lahir sebagai anak berprestasi kok. Dulu pas SD atau SMP, yang ranking satu pasti murid lain.”
ADVERTISEMENTS
“Justru pembuktian kualitas kamu itu baru dimulai setelah lulus dari sana. Intinya, habis ini mau apa?”
Menurut Widhar, setelah mendapatkan gelar dari Boston perjalanannya untuk membuktikan kualitas diri baru dimulai. “Intinya, setelah semua ilmu yang kamu dapat dari situ, sekarang kamu mau apa? Rasanya justru berhutang karena sudah dikasih banyak kesempatan buat belajar.”
Sepulang ke Indonesia, Widhar sendiri memilih kembali bekerja di industri consulting yang membesarkannya. Namun, pengalaman traveling bersama istri ke Sumba dan daerah-daerah terpencil di Indonesia membuatnya penasaran untuk melakukan sesuatu demi membantu mereka yang membutuhkan. Di saat bersamaan, Widhar sendiri menyadari bahwa animo untukvolunteeringdi Indonesia termasuk tinggi. Di tahun 2013 — tiga tahun setelah ia lulus dari Harvard — organisasi sosial Indorelawan lahir dan mulai beroperasi.
“Lewat Indorelawan, yang ingin membantu bisa dipertemukan dengan yang butuh bantuan.”
Sekali kunjungan ke situs mereka akan menyadarkanmu bahwa ada banyak sekali kegiatan yang bisa kamu bantu. “Waktu itu ada event pameran seni dan Indorelawan bisa mengerahkan sampai 10.000 orang,”kata Widhar. Inilah titik di mana Widhar sadar bahwa “Wah, walaupun masih banyak yang bisa dikembangkan sana-sini… yang kita usahakan selama ini berhasil juga ternyata.”
Masih banyak yang bisa diceritakan Widhar tentang pengalamannya membesarkan Indorelawan! Nggak mau ketinggalan, ‘kan? Jadi pastikan kamu datang ke talkshow Hipwee Inspirational Summit 2015 di Aula Universitas Paramadina hari Sabtu, tanggal 21 November 2015. Info lebih lanjut tentang acaranya bisa kamu cek di situs summit.hipwee.com. Selain Widhar, ada juga 8 pembicara lain yang siap berbagi inspirasi tentang anak muda dan semangat melakukan kebaikan!
Di akhir hari, toh kecerdasan tak melulu ditentukan oleh nama universitas. Yang lebih penting adalah mengabdikan ilmu dan membuktikan kualitas.