Sepeda motor adalah raja jalanan Indonesia. Dari jalan-jalan arteri ibu kota hingga gang setapak berlumpur di kampung, kendaraan yang lincah dan terjangkau harganya ini selalu mendominasi. Data Kepolisian Negara Republik Indonesia mengungkap bahwa dari 104,2 juta unit kendaraan yang hilir mudik di negeri ini, 83% alias 86,235 juta di antaranya adalah sepeda motor. Jumlah yang luar biasa, bukan? Belum lagi diperkirakan bahwa angka ini akan terus melesat sebesar 10% per tahunnya.
Celakanya, peningkatan jumlah populasi sepeda motor ini belum tentu dibarengi dengan usaha berkendara yang lebih bertanggung jawab. Catatan terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan: ada 100.106 kasus kecelakaan lalu lintas di seluruh negeri ini sepanjang tahun 2013. Dari angka tersebut, 26.416 orang mesti kehilangan nyawa mereka.
Anak-anak dan remaja termasuk kelompok yang paling rentan menjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas. Sejak 2011, menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization – WHO) 1000 remaja Indonesia meninggal akibat kecelakaan lalu lintas setiap harinya. Statistik yang lebih memprihatinkan lagi, Operasi Zebra yang rutin dilakukan Polri mengungkapkan bahwa jumlah pelanggar lalu lintas berusia anak-anak dan remaja terus meningkat dari tahun ke tahun.
Di atas kertas angka-angka ini memang cuma statistik, kaku dan matematis. Namun di jalan raya yang nyata, angka-angka ini menggambarkan ketidakteraturan, kesemrawutan, kecerobohan yang tak perlu dan amputasi paksa masa depan manusia muda.
Masih pantaskah kita membiarkannya begitu saja?
ADVERTISEMENTS
Ketika siswa-siswa SD dan SMP asyik naik sepeda motor, ke mana orang tua yang seharusnya menjamin keselamatan mereka?
Mau di kota ataupun desa, siswa-siswa SD dan SMP yang berboncengan naik sepeda motor tanpa helm adalah pemandangan yang biasa. Tak jarang mereka memacu kendaraan hingga kecepatan tinggi. Sampai kita yang melihatnya sendiri ngeri.
Pertanyaannya, mengapa anak-anak ini dibiarkan naik sepeda motor sendiri?
Alasan yang umum dilontarkan para orangtua adalah “Kasihan kalau anak-anak harus jalan kaki.” Padahal, kenapa kita harus kasihan? Sewaktu kecil dulu kita juga biasa mengayuh sepeda untuk berangkat sekolah dan pergi main ke tempat teman. Jika menggunakan kendaraan bermotor pun, kita akan duduk di belakang, di kursi penumpang. Orangtua atau sopir angkutan antar-jemput sekolah akan sigap mengantarkan kita.
Saat kecil dulu, kita pun akan dengan senang hati berjalan kaki untuk pergi mengaji atau main ke rumah teman. Ketika kita sudah dewasa, momen-momen itu menjadi kenangan menyenangkan. Jadi, sebenarnya kita tak perlu mengasihani anak-anak ini ketika mereka harus berjalan kaki.
Alasan paling umum yang lain adalah si anak sendirilah yang merengek-rengek minta motor. “Teman-temanku saja sudah banyak yang diberi!” mereka berkilah.
Kita sering lupa bahwa sepeda motor juga bisa seperti pistol: mereka bisa sama-sama membunuh penggunanya. Memberi anak dan remaja izin bersepeda motor sama saja menghadiahi mereka pistol.
Bukan tanpa alasan pihak kepolisian menentukan usia 17 sebagai syarat utama pengajuan SIM. Bocah yang di bawah umur masih belum tentu bisa menjaga keseimbangan bersepeda motor. Pengambilan keputusan anak-anak juga tak secepat orang yang sudah cukup umur, sementara motor adalah kendaraan yang begitu lincah dan menuntut ketangkasan pengendaranya.
Ah, tak usahlah bicara soal ketangkasan dan kemampuan mengambil keputusan. Untuk ambil pijakan yang kokoh buat menopang motor saja, anak-anak ini sudah susah payah.
Benarkah bentuk kasih sayang orangtua adalah dengan menghadiahi motor anaknya yang masih di bawah umur? Apakah menjaga keselamatan anak dengan melarang mereka membawa motor bukan bentuk kasih sayang? Apakah sayang namanya jika kita membiarkan anak, adik atau keponakan kita terancam hidupnya di jalan raya?
ADVERTISEMENTS
Anak adalah peniru terbaik di dunia. Saat mereka tak peduli pada nyawa mereka sendiri, simak kelakuan orang dewasa di sekitar mereka.
Barangkali itu yang terjadi: anak sudah diajarkan untuk mengabaikan keselamatan diri (dan orang lain) sejak pertama kali dia menaiki motor. Dengan niat memberi kebahagiaan pada seluruh anggota keluarga, seorang bapak mungkin mengajak anak pertama, kedua, dan istrinya untuk menumpangi sepeda motor yang ia kendarai. Ya, satu motor untuk empat orang — sementara UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa sepeda motor hanya boleh membawa satu pengendara dan satu penumpang. Anak pertama dan kedua pun mempelajari perilaku ini dari sang ayah.
Orang dewasa pun sering ugal-ugalan dalam berkendara. Mengenakan helm, tapi membiarkan kepala anaknya tak terlindungi. Apakah nyawa orang dewasa jauh lebih penting hingga anak-anak tak perlu memakai helm?
Naik motor hanya berdua, namun si anak duduk di belakang kemudi. Apakah anak bisa dijadikan tameng sehingga kita boleh saja membiarkan mereka duduk di depan?
Kadang para orang dewasa beralasan: “Ya gimana? Saya belum mampu beli mobil.”
Gak ada yang meminta orang dewasa untuk membeli mobil. Yang diminta adalah lebih memperhatikan keselamatan anak dan keluarga masing-masing. Dengan ini, mereka bisa menjaga keselamatan keluarga lain pula. Untuk bepergian beramai-ramai atau bersama keluarga, alangkah baiknya disimpan saja sepeda motor itu di garasi. Tanpa mobil sekalipun, bukankah alternatif kendaraan umum selalu ada?
ADVERTISEMENTS
Tidak ada kecelakaan yang perlu terjadi. Jangan korbankan hidup anak-anak kita untuk hal-hal yang tidak perlu!
Jika hendak bepergian dengan anak kecil, pastikan lagi tujuannya apa. Apakah membawa si kecil memang diperlukan, atau bisakah ia tinggal saja di rumah? Pastikan pula jumlah penumpang tak melebihi kapasitas motor. Ingat, dua itu maksimal.
Para orang dewasa harus mulai sadar untuk melengkapi si kecil dengan helm sesuai standar, karena nyawa anak kecil dan orangtua sama-sama berharga. Helm standar untuk anak kecil juga tak terlalu mahal. Harganya berkisar antara 100.000 – 120.000, serupa harga helm orang dewasa.
Anak kecil juga tak semestinya duduk (atau berdiri) tepat di belakang kemudi. Sama halnya dengan larangan menempatkan anak di kursi paling depan mobil. Alasannya, fisik anak yang masih mungil tak akan mampu menahan gaya jika terjadi benturan dari depan.
Lalu bagaimana dengan anak sekolah yang merengek minta motor? Anak-anak umur tanggung memang sulit untuk dilarang. Kita sebagai orangtua pun tidak mau anak berkecil hati karena mereka tak punya motor seperti teman-temannya.
Jadi, cegah anak berkecil hati dengan cara membuatnya sejak awal tak punya keinginan untuk naik motor sebelum waktunya. Jangan pernah memberikan kesan pada mereka bahwa naik motor itu mudah — selalu ingat lagi analogi motor dan pistol. Ikuti aturan yang berlaku: seorang anak baru boleh mengendarai kendaraan sendiri setelah memiliki SIM di usia 17 tahun. Itupun bukan berarti kita bisa lepas tangan tak mengawasi mereka setelah mereka punya SIM.
SMP-SMP semestinya juga tak menyediakan fasilitas parkir motor yang membuat para siswanya merasa mereka diberi keleluasaan membawa motor sendiri. Salah satu ide alternatif adalah mengalihkan dana pembangunan fasilitas parkir ke pembuatan sistem antar-jemput terpadu aja. Dengan ini, orang tua pun merasa punya pilihan yang lebih aman ketimbang melepas anaknya bersekolah dengan motor.
Jika melarang anak di bawah umur yang keras kepala memang sulit, cabut akses-aksesnya terhadap sepeda motor sejak awal.
Setiap anak dan remaja berpotensi menjadi korban kecelakaan tiap kali dia duduk di atas jok sepeda motor. Sebagai orang yang lebih dewasa, tugas kita adalah mencegah terjadinya hal tak perlu itu.
Yang tak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa kita sendiri menjaga keamanan diri. Jangan lupa: anak-anak bisa menjadi korban tidak langsung jika orang dewasa di sekitarnya tertimpa kecelakaan lalu lintas. Ketika para orang dewasa harus dibawa ke rumah sakit atau bahkan tewas, siapa yang akan melindungi anak-anak mereka?