“Kak, kenapa langit itu warnanya biru, ya?”
“Ma, kenapa adik bayi bisa tinggal di dalam perut Mama?”
“Pa, kenapa aku dimarahin Ibu Guru kalau tidur di kelas?”
Berbagai ekspresi akan muncul ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan dari adik atau anak kita yang masih kecil. Pertanyaan yang mereka lontarkan kadang membuat kita tertawa, jengkel, bahkan marah. Pasalnya, pertanyaan yang mereka lontarkan seringkali terdengar konyol dan sulit untuk dijelaskan mengingat usia mereka yang masih kecil. Akibatnya, orang dewasa cenderung malas atau mengabaikan pertanyaan-pertanyaan dari anak-anak ini.
Tapi, sadarkah kita bahwa malas memberikan jawaban atau mengabaikan mereka sebenarnya adalah sikap yang keliru?
ADVERTISEMENTS
Anak-anak yang sering bertanya “kenapa” cenderung punya tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada anak yang diam saja.
Jika anak-anak sering bertanya, hal itu merupakan sesuatu yang wajar. Pasalnya pada masa pertumbuhan, sel-sel neuron otak anak pun sedang mengalami pertumbuhan sehingga tidak bisa begitu saja menerima setiap informasi. Sehingga, anak akan terus bertanya sebelum informasi yang didapat disimpan lekat-lekat dalam memorinya.
Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa dalam 12 jam mulai dari saat sarapan hingga makan malam, seorang anak akan mengeluarkan lebih dari 300 pertanyaan pada ibunya. Hal ini tentu sangat baik karena menandakan bahwa sel-sel otak anak telah bekerja sebagaimana mestinya. Masa bertanya merupakan masa yang memang harus dilewati anak-anak. Dan ketika orang-orang di sekitar bisa mendukung masa bertanya yang sedang dijalani si anak, maka bukan tidak mungkin anak akan tumbuh dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENTS
Alih-alih mengabaikannya, menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka sebenarnya adalah kewajiban kita sebagai orang dewasa.
“Kak, kenapa aku nggak boleh hujan-hujanan main air?”
“Kalau hujan-hujanan, kamu bisa sakit.”
“Kenapa bisa sakit? Aku main air di kamar mandi tapi nggak sakit?”
“Duh, berisik deh kamu, Dik. Pokoknya jangan hujan-hujanan. Titik.”
Ya, anak yang cerdas memang tidak akan lahir begitu saja. Anak bisa jadi cerdas dan pandai lantaran melewati proses pertumbuhan yang sesuai. Semakin orang tua dan orang-orang di sekitar bisa memberikan jawaban-jawaban logis atas pertanyaan mereka, maka semakin terasah pula kemampuan nalar dan logika si anak. Dan semakin orang lain bisa mengajak mereka berdialog dan membuatnya mengembangkan pertanyaan yang dilontarkan, maka si anak pun akan semakin kritis dan kreatif dalam berpikir.
Sebaliknya, ketika orang tua atau orang-orang di sekitarnya justru tidak mendukung masa bertanya mereka, maka kesempatan untuk mengasah kerja otak anak pun akan terlewatkan. Akibatnya, kecerdasan dan kepandaian mereka pun mungkin akan tertinggal dibanding teman-temannya yang lain.
ADVERTISEMENTS
Pertanyaan “kenapa” yang mendapat sambutan baik darimu akan merangsang mereka untuk bertanya lagi. Kemampuan analisis, keberanian dan rasa percaya diri mereka pun akan terus terasah.
Ketika pertanyaan yang mereka lontarkan mendapat jawaban, hal itu akan menjadi perangsang bagi anak-anak. Berdasarkan jawaban yang didapat, si anak akan berusaha mencerna dan menganalisanya. Ketika dirasa masih belum sesuai, anak kembali akan melontakan pertanyaan lanjutan.
Di satu sisi, dialog antara anak dan orang dewasa ini merupakan proses belajar yang mengasah kemampuan analisa anak. Di lain sisi, keberanian dan rasa percaya diri anak pun juga akan terasah. Mereka terlatih untuk mengutarakan apa yang mereka rasakan, dan mempertanyakan apa yang membuat mereka merasa tidak nyaman.
“Mah, kenapa aku disuruh Ibu Guru buat hafalin UUD? UUD apa sih, Ma?”
“UUD itu Ujung-ujungnya duit, Nak.” *sambil sibuk masak
Namun satu hal yang perlu dicatat, bahwa orang dewasa juga harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan anak-anak. Asal-asalan menjawab pertanyaan bisa jadi membuat anak kehilangan kepercayaan padamu. Hal ini juga akan berakibat fatal jika dibiarkan hingga mereka tumbuh menjadi remaja hingga dewasa.
ADVERTISEMENTS
Kemampuan berpikir kritis menjadi sangat penting bagi tumbuh kembang mereka nanti. Anak-anak akan terdidik untuk memahami bahwa tidak ada yang instan di dunia ini.
Kemampuan berpikir kritis selayaknya memang dimiliki semua anak. Mulai dari bertanya “kenapa”, menganalisa segala informasi yang didapat dengan nalar dan logika, hingga menemukan solusi atas segala sesuatu yang membuatnya penasaran atau tidak nyaman – sebenarnya adalah hal yang baik bagi mereka.
Dari hal-hal kecil itu pula, anak akan memahami konsep bahwa tidak ada yang instan di dunia ini. Sesuatu akan terjadi karena proses yang ada sebelumnya, setiap kejadian akan dilengkapi sebab dan akibat yang mengikutinya, serta setiap masalah pasti akan datang sepaket dengan solusi untuk menyelesaikannya.
Pemahaman bahwa tidak ada hal yang instan juga akan berimbas positif bagi tumbuh kembang mereka. Untuk jadi pintar seseorang harus belajar, jika mau kaya harus giat bekerja, dan jika punya cita-cita pun harus berusaha mewujudkannya.
ADVERTISEMENTS
Sayangnya, metode belajar dengan menghafal masih jadi primadona di negera kita. Jauh lebih populer daripada metode belajar berpikir kritis yang dampaknya luar biasa.
Kemampuan berpikir kritis cenderung belum begitu populer di Indonesia. Pendidikan kita justru lebih banyak menerapkan metode-metode belajar dengan menghafal. Pelajaran Matematika identik dengan menghafal rumus, Bahasa Indonesia dengan menghafal rumus SPOK dan sinonim kata, lalu pelajaran IPA dengan menghafal bagian-bagian bunga misalnya.
Berbeda dengan pendidikan yang ada di negara-negara maju seperti Amerika dan Australia, di mana kemampuan berpikir kritis justru lebih ditonjolkan dalam pendidikan. Misalnya, anak-anak dibimbing sejak awal untuk memahami bentuk balok. Mengenal panjang, lebar, dan tingginya lalu diajak bersama-sama merumuskan Luas atau Volumenya. Anak bukannya langsung disuguhi rumus: p x l x t atau 2 x (p x l) + (p x t) + (l x t) dan diminta untuk menghafalkannya. Toh, rumus tak lantas jatuh dari langit. Hafalan jauh lebih mudah hilang atau dilupakan, sementara pemahaman akan bertahan lebih lama. Bagaimana pun, anak-anak sepatutnya memahami dan bukannya sekadar menghafal.
ADVERTISEMENTS
Anak-anak dengan pikiran kritis akan tumbuh jadi generasi yang peduli, bukan generasi apatis yang sibuk dengan dirinya sendiri.
Selain pemahaman bahwa banyak hal di dunia ini yang tidak bisa didapat dengan cara-cara yang instan, anak-anak dengan pikiran kritis juga biasanya punya tingkat kepedulian yang tinggi. Apa yang terjadi di lingkungannya, apa yang dirasakan orang-orang terdekatnya, dan isu-isu yang berkembang di dunia pun bisa jadi perhatiannya. Sikap kritis membuatnya lebih peka, bukannya sibuk memikirkan diri sendiri saja. Kemampuan berpikir kritis juga membuatnya ingin ikut andil untuk menemukan solusi bagi masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Setelah dewasa, kelak dia pun akan lebih bijaksana dan dewasa menjalani hidupnya.
Nah, gimana? Apakah kamu setuju dengan artikel ini? Dengan adik atau anak-anakmu nanti, jangan lagi malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka, ya! 🙂