Presiden Jokowi baru saja memberikan gelar pahlawan nasional kepada Ruhana Kudus atau Roehana Koeddoes, jurnalis perempuan pertama sekaligus pejuang kaum perempuan pada masanya. Namanya memang nggak sepopuler R.A Kartini atau Cut Nyak Dhien. Tapi perjuangan dan pengabdiannya untuk bangsa dan negara juga tiada duanya, membuatnya memang layak disematkan gelar pahlawan nasional.
Kali ini Hipwee telah merangkum rekam jejak Ruhana di masa lampau, mulai dari masa awal kelahirannya hingga perjuangannya melawan ketidakadilan. Mari simak bersama!
ADVERTISEMENTS
1. Ruhana lahir tahun 1884, lima tahun setelah pahlawan emansipasi wanita, R.A Kartini lahir ke dunia. Ruhana kecil tumbuh dan besar di Sumatera Barat
Ruhana Kudus lahir di Kota Gadang, Sumatera Barat, tanggal 20 Desember 1884. Bisa dibilang Ruhana tumbuh di keluarga yang berada dan berpendidikan. Ayahnya, Muhammad Rasyad Maharajja Sutan adalah pegawai pemerintah Belanda yang rajin membawakan buku-buku bacaan untuk Ruhana. Rumahnya juga sering dijadikan tempat bermain, belajar, dan membaca oleh warga-warga sekitar. Tak heran jika sejak kecil Ruhana sudah bisa menulis dan membaca. Bahkan ia juga menguasai beberapa bahasa; Melayu, Belanda, dan Arab.
Oh ya, Ruhana ini lahir di era yang sama dengan R.A Kartini, era di mana pergerakan perempuan dibatasi. Usianya dengan Kartini hanya terpaut 5 tahun saja.
ADVERTISEMENTS
2. Karena tumbuh di keluarga cerdas, Ruhana jadi terbiasa dengan pemikiran-pemikiran kritisnya. Satu hal yang jadi perhatiannya adalah bagaimana sistem matrilineal di daerahnya begitu membatasi pergerakan perempuan
Tahun 1908, Ruhana menikah dengan seorang notaris, penulis, dan aktivis bernama Abdoel Koeddoes. Setelah menjadi istri aktivis, ia semakin semangat belajar dan mendidik kaum perempuan di Kota Gadang. Sayang, upayanya itu justru banyak dianggap merusak tatanan sosial masyarakat yang memang sejak dulu menerapkan sistem matrilineal.
Karena niat baik Ruhana mendidik perempuan di sana tidak mendapat respon baik, ia bersama suaminya merantau ke Padang Panjang dan Maninjau. Di sana ia banyak belajar agama serta mendalami kedudukan perempuan dalam Islam. Tapi disebutkan kalau di tengah masa merantaunya, Ruhana sempat kembali ke kampung halamannya untuk mendirikan “Perkumpulan Karadjinan (PK) Amai Satia”, yang tujuannya untuk memajukan kaum perempuan di sana.
ADVERTISEMENTS
3. Ruhana juga banyak terlibat dalam dunia kepenulisan. Ia membantu pergerakan politik lewat karya-karyanya yang diterbitkan di berbagai surat kabar
Tak hanya dikenal sebagai pejuang kaum perempuan, Ruhana juga aktif menuliskan ide dan pemikirannya di berbagai surat kabar kala itu. Ia pernah diminta untuk menjadi penulis tetap yang kemudian ‘naik pangkat’ jadi Pemimpin Redaksi Sunting Melayu, yang membuatnya tercatat jadi pemimpin surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Selain Sunting Melayu, Ruhana juga menunjukkan kiprahnya di surat kabar Poetri Hindia di Batavia –koran perempuan pertama di Indonesia.
ADVERTISEMENTS
4. Saat Belanda menekan dan menyerang kaum pribumi, Ruhana ikut membantu pergerakan politik dengan menyemangati pejuang lewat tulisan-tulisannya. Sweet banget ya~
Ruhana diketahui turut andil dalam perjuangan politik. Ia menyemangati para pejuang yang membela tanah air melawan Belanda saat itu. Ruhana juga memelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial demi membantu para gerilyawan. Bahkan dengan keberaniannya, Ruhana juga mencetuskan ide menyelundupkan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi dengan cara menyembunyikannya dalam sayur dan buah-buahan dan dibawa pakai kereta api.
Luar biasa banget ya perjuangan Ruhana. Nggak heran kalau ia sampai diberi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi. Bahkan sebelum memperoleh gelar pahlawan, PK Amai yang ia pimpin telah berhasil mendapat sejumlah penghargaan, seperti Bronzen Ster (1941) dan Penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto (1987), dan Penghargaan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007). Wah, salut banget, jadi ngefans sama beliau!