Perhatian publik saat ini terus tertuju pada pasal-pasal ngawur yang ada dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Bersama dengan pihak-pihak terkait, mereka terus mengawal DPR merumuskan kebijakan baru agar nantinya tidak ada pihak yang malah dirugikan. Soalnya memang di RKUHP saat ini masih banyak banget pasal yang ngasal dan terkesan bercanda.
Salah satu konteks yang jadi perhatian terutama para pekerja media adalah pasal-pasal yang mengatur soal kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyayangkan adanya sejumlah pasal yang justru bisa mengkriminalisasi wartawan, seperti mempidana orang yang mengkritik presiden. Sekilas pasal ini mengingatkan kita pada masa-masa kelam orde baru. Simak bareng yuk, gimana sih detilnya?
ADVERTISEMENTS
Setidaknya ada 8 pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers jika RKUHP nantinya benar-benar disahkan. Berikut isi pasal-pasal tersebut…
- Pasal 219: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
- Pasal 241: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.
- Pasal 262: Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
- Pasal 263: Setiap orang yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa kabar demikian dapat mengakibatkan keonaran di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.
- Pasal 281 (ayat 3): Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
- Pasal 304: Setiap Orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.
- Pasal 354: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.
- Pasal 440: Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
ADVERTISEMENTS
Dari bunyinya, sebagian besar pasal-pasal di atas memang berpotensi melumpuhkan kinerja pers. Ini tentu bertolak belakang dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang justru meminta pers “mengawal” jalannya pemerintahan
UU Pers pasal 6 meminta pers berperan untuk mengawasi, mengkritik, mengoreksi, dan memberi saran terkait hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Tentunya pasal itu justru berbanding terbalik dengan pasal-pasal RKUHP yang sudah disebut di atas. Takutnya kalau beneran sudah disahkan, pers yang mencoba mengkritik pemerintah malah bisa kena pidana. Padahal ya maksudnya menerapkan pasal 6 UU Pers itu tadi.
ADVERTISEMENTS
Selain pers, sebenarnya secara umum pasal-pasal ngasal di atas itu juga mengancam kebebasan berekspresi masyarakat sih. Apa ini artinya para kritikus atau pengamat politik dan kawanannya akan “mati”?
Namanya kritikus atau pengamat politik ya tugasnya mengkritik pemerintah dan jajarannya dong. Mereka biasanya dihadirkan di media sebagai pembicara dalam acara bertajuk politik. Ketika ada isu tertentu, mereka akan diminta pendapatnya terkait isu tersebut. Nah, dengan adanya pasal-pasal RKUHP itu, khawatirnya profesi-profesi ini bisa “mati”, nggak ada lagi yang bisa memberikan perspektif baru soal isu terkait politik dan pemerintahan.
Hmm.. padahal biasanya yang jadi pengamat gitu ‘kan kebanyakan dosen-dosen ya? Gimana coba nasib mereka nanti…