Aturan soal mudik di Indonesia ini ibarat film yang penuh dengan teka-teki, alias bikin bingung sekali. Dari sejak pertama Jokowi mengumumkan larangan soal mudik sampai detik ini, sudah ada beberapa pernyataan pihak terkait yang nggak nyambung satu sama lain. Yang masih hangat kemarin, Pak Menhub bilang kalau moda transportasi bakal diizinkan beroperasi lagi, yang tentu aja kayak nggak bersinergi sama larangan mudik. Walaupun ada keterangan tambahannya kalau nggak semua orang boleh memakai moda transportasi itu.
Baru-baru ini Pak Menhub mengakui kalau larangan mudik di negara kita memang bikin bingung. Ini karena menurutnya belum ada sosialisasi yang jelas soal aturan itu, akibatnya masyarakat jadi gagal paham dan bingung sendiri. Tapi ia tetap menegaskan kalau intinya, mudik tetap dilarang. Selain memang sudah aturannya begitu, aktivitas mudik yang tahun-tahun sebelumnya jadi hal yang normal, sekarang jadi terlarang karena bisa menimbulkan bahaya. Apa aja sih risiko kalau kita tetap nekat mudik?
ADVERTISEMENTS
Kita yang berasal dari daerah terdampak berpotensi membawa virus dalam tubuh kita dan bisa menularkan ke orangtua, sanak keluarga, atau kerabat. Walaupun kita nggak merasa sakit sedikit pun
Banyak sekali penelitian yang menyatakan kalau orang yang nggak menunjukkan gejala apapun atau asimtomatik ternyata positif Covid-19. Terutama mereka yang tinggal di daerah terdampak atau zona merah. Walau nggak merasa sakit, dalam tubuh mereka sudah ada virusnya. Menurut CDC, pembawa virus ini sudah bisa menularkan virus dalam kurun waktu 48 jam sebelum jadi gejala. Bayangin aja kalau kita ngotot mudik karena merasa sehat, sedangkan kita sendiri nggak bisa memastikan apakah tubuh kita beneran bersih dari virus corona. Lalu kita ketemu orangtua, kakek nenek, dan sanak keluarga, intens berinteraksi sampai akhirnya satu per satu tertular.
ADVERTISEMENTS
Yang lebih miris kalau misal di suatu daerah awalnya bersih dari virus corona. Tapi cuma gara-gara menerima pemudik yang berasal dari zona merah, daerah itu jadi ikutan kena
Aktivitas mudik nggak cuma sebatas berisiko menularkan virus dari penderita asimtomatik ke keluarganya aja, tapi juga ke seluruh kampung. Alur persebarannya ya sama kayak yang di atas. Misal nih, setelah pemudik tadi pulang ia ternyata menularkan virus ke orangtuanya. Lalu karena belum sadar karena semua nggak menunjukkan gejala, pergilah orangtuanya ke rumah tetangganya untuk sekadar mengirim makanan dan ngobrol sedikit. Ternyata lagi-lagi tanpa disadari, tetangganya tadi ikut tertular.
Begitulah seterusnya sampai semua kampung kena, dan yang paling menderita adalah mereka yang punya sistem imun lemah seperti lansia, atau orang-orang dengan riwayat penyakit serius sebelumnya. Bakal makin miris kalau awalnya di kampung itu belum ada yang terinfeksi, tapi gara-gara ada pemudik tadi jadi kena semuanya.
ADVERTISEMENTS
Padahal fasilitas kesehatan di wilayah-wilayah kecil yang seringnya jadi tujuan mudik itu kebanyakan nggak memadai, jauh kalau dibandingin sama yang di kota
Masalah selanjutnya adalah keterbatasan fasilitas kesehatan dan tenaga medis di daerah-daerah. Bayangin aja kalau sekampung pada kena Covid-19 semua, sedangkan di sana cuma ada puskesmas. Kalau ada rumah sakit pun mungkin alat-alatnya nggak secanggih di kota. Belum lagi tenaga medis yang terbatas, jumlahnya mungkin nggak sebanyak di kota-kota besar. Ketimpangan ini bakal bikin situasi makin kacau, angka kematian meningkat tajam, yang tadinya mudik buat seneng-seneng lebaran bareng keluarga jadi berakhir duka.
Bukannya mau nakut-nakutin, tapi fakta di atas sangat mungkin terjadi kalau kita tetap ngotot mudik. Percayalah, dengan kita mudik, itu nggak bakal bikin kondisi membaik. Kita juga nggak bikin wabah jadi menghilang. Malah semuanya bakal jadi lebih runyam. Jadi, please, banget buat kalian yang masih punya penghasilan, masih bisa makan, hidup terjamin di perantauan, urungkan niat untuk tidak mudik dulu ya. Semua demi keselamatan keluargamu juga kok..
ADVERTISEMENTS