Revina VT, seorang selebgram yang lebih dikenal sebagai mantan kekasih Young Lex ini begitu marah, geram, sekaligus gemes sama sosok bernama Dedy Susanto. Dedy yang ngakunya –karena ditulis di bio IGnya– sebagai doktor psikologi dan trainer motivasi ini cukup populer karena sering sharing tentang kesehatan mental dan mengadakan semacam seminar motivasi sampai menerapi “pasien”. Soal testimoni jangan ditanya, buanyak banget orang yang mengaku cocok diterapi si Dedy ini, ada yang merasa lega, atau sembuh dari luka batinnya.
Singkat cerita, suatu hari Dedy mengajak Revina untuk berkolaborasi membuat konten YouTube. Kejanggalan mulai terendus saat Dedy memberikan pernyataan-pernyataan justifikasi terhadap bipolar dan LGBT yang kedengarannya kayak bukan psikolog. Revina kemudian mengecek nama Dedy di SIK HIMPSI (Sistem Informasi Keanggotaan Himpunan Psikologi Indonesia), dan voila! Namanya nggak terdaftar di sana.
ADVERTISEMENTS
Nggak cukup sampai di situ, rasa penasaran Revina seolah makin besar. Ia pun makin getol membongkar siapa sosok Dedy sebenarnya, mulai dari riwayat pendidikannya sampai akhirnya terkuak dugaan isu pelecehan seksualnya kepada klien
Sebenarnya kalau mau tahu lebih lengkapnya, mending lihat sendiri ke Instagramnya @revinavt deh. Dia juga udah bikin highlight soal kasus ini. Intinya sih bongkar-bongkar Revina ini nggak berhenti sampai di HIMPSI-HIMPSI tadi aja, masih banyak lagi hal-hal terkait Dedy yang ditemukannya. Bahkan sampai ada beberapa orang mengaku ke Revina kalau ia pernah jadi korban pelecehan seksual oleh Dedy dengan dalih “bagian dari terapi”. Mengenai benar atau nggaknya sih kita nggak tahu ya, tapi kalau ada bukti chat-nya harusnya ya bisa dilaporkan ke pihak berwajib.
Dedy juga menyangkal semua hal yang dibeberkan Revina. Cek juga deh IG-nya di sini. Biar kalian bisa nilai sendiri.
ADVERTISEMENTS
Dari ribut-ribut Revina dan Dedy ini sebenarnya kita bisa mengambil banyak pelajaran penting. Pertama, orang nggak bisa asal ngaku-ngaku jadi psikolog tanpa melalui sejumlah tahapan wajib
Psikolog klinis sekaligus Dekan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (UNDIP), Dr. Hastaning Sakti, M.Kes, seperti dikutip Kompas, menegaskan kalau sebelum jadi psikolog, seseorang harus kuliah S1 jurusan Psikologi, lalu dilanjutkan mengambil S2 Profesi Psikologi. Harus ambil yang profesi lo ya, kalau Magister Psikologi itu masuknya program sains, mereka nggak bisa jadi psikolog, apa lagi buka praktik konsultasi. Jelas kan ya, jadi yang baru lulus S1 Psikologi itu belum bisa dikatakan sebagai psikolog, bahkan walau pun dia kuliah S3-nya ambil psikologi sehingga punya gelar dokter di bidang tersebut, sedangkan S1 dan S2-nya beda jurusan, dia tetap bukan psikolog!
Setelah kuliah S1 dan S2 dengan mengambil profesi psikologi, seseorang masih harus mendaftar sebagai anggota HIMPSI. Nanti HIMPSI-lah yang mengeluarkan lisensi psikolognya.
ADVERTISEMENTS
Kedua, psikolog dan psikiater itu beda. Dan orang yang bisa melakukan terapi itu juga nggak bisa sembarangan
Nah, lain psikolog lain lagi psikiater. Kalau psikiater berasal dari lulusan S1 Ilmu Kedokteran dan mengambil spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa. Baik psikolog atau psikiater sama-sama berurusan sama kesehatan mental, tapi bedanya kalau psikiater punya wewenang mengeluarkan resep obat, misalnya anti depresan atau yang lainnya. Tentu saja psikiater juga harus punya izin praktik. Nggak mentang-mentang akademiknya udah memenuhi syarat terus buka praktik dan bikin plang nama gitu aja.
Untuk terapi pun juga nggak bisa orang dengan embel-embel gelar psikologi sembarangan menerapi kliennya. Agar bisa melakukan terapi psikologi, orang harus punya Surat Izin Praktik Psikolog (SIPP). SIPP ini juga punya batas waktu berlaku, yang kalau habis harus diperpanjang. Nah, psikolog yang dapat memberi terapi harus masuk dalam Ikatan Psikologi Klinis (IPK). Jadi, please, kalau ada dokter, doktor, psikolog, psikiater, atau siapapun yang raba-raba bagian tubuh kalian tanpa izin, dengan dalih bagian dari terapi yang nggak jelas, apalagi ngajak berhubungan badan, itu berarti merekanya aja yang mesum.
ADVERTISEMENTS
Ketiga, jika merasa perlu bantuan psikolog atau psikiater, kita mesti sangat selektif dalam memilih siapa yang berhak menyembuhkan kita. Soalnya kalau salah pilih bukannya sembuh, malah bisa bikin makin kambuh
Sebenarnya miris juga sih, soalnya salah satu alasan kenapa di Indonesia ini banyak orang suka buka praktik sembarangan ya karena kita-kita ini mau aja dikibulin. Kita masih sering termakan testimoni atau janji-janji manis tanpa lebih dulu membuktikan legalitasnya.
Jika memang perlu bantuan psikolog atau psikiater untuk mengatasi masalah, kita harus sangat selektif. Hal yang pertama bisa dilakukan adalah mengecek namanya di HIMPSI tadi. Cari juga tenaga medis yang memang praktik di RS atau puskesmas. Tips selebihnya bisa kalian cek di sini ya.