Bicara soal kekerasan yang di kalangan pelajar seolah memang tak ada habisnya. Rasanya setiap minggu ada saja kasus kekerasan yang dilakukan sejumlah pelajar, bagai mati satu tumbuh seribu. Kali ini perhatian publik sedang tertuju pada kasus adu gladiator yang menewaskan Hilarius Christian Event Raharjo, seorang siswa kelas X SMA Budi Mulia, Bogor. Meski kejadian ini sudah berlangsung hampir dua tahun lamanya, tapi penyelidikan kematian Hilarius dibuka kembali setelah beberapa waktu lalu ibunya sempat curhat ke presiden lewat akun Facebook-nya. Keluarganya ingin kasus tersebut diusut tuntas.
Saat ini, 4 tersangka terkait kematian bocah malang tersebut telah ditangkap. Baru Senin (25/9) kemarin, Kepolisian Resor Kota Bogor Kota menggelar reka ulang adegan adu gladiator 2016 silam, di tempat kejadian perkara (TKP) tepatnya di Taman Palupuh, perumahan Vila Citra, Bantarjati, Kota Bogor. Dalam rekonstruksi itu ada setidaknya 14 adegan yang diperagakan keempat tersangka, termasuk para saksi yakni siswa dan alumnus dua sekolah, SMA Budi Mulia dan SMA Mardi Yuana. Menurut Komisaris Ahmad Choyruddin, korban meninggal setelah dipukul di ulu hati pada adegan ke-12.
Dari adegan demi adegan yang diperagakan, kita cuma bisa bertanya kenapa tidak ada satu pun orang di ‘arena’ tersebut berpikiran ini sudah keterlaluan. Baru setelah Hilarius jatuh terkapar, acara yang dikenal sebagai tradisi bom-boman ini bubar serentak dalam keadaan panik. Bahkan dikabarkan acara ini tidak dilatarbelakangi motif khusus atau perselisihan antar dua sekolah, ya hanya sebagai ajang eksistensi diri pesertanya. Entah apakah karena saking gilanya dengan eksistensi, para pelajar ini jadi buta untuk melihat betapa berbahayanya acara ‘seru-seru’an klub basket mereka. Sudah separah inikah kultur kekerasan dalam sistem pendidikan kita?!
ADVERTISEMENTS
Nyatanya nggak cuma sekolah berbasis militer aja yang rawan kultur kekerasan, sekolah negeri sekalipun ternyata banyak yang punya sistem senioritas yang mengerikan
Jika dulu tindak kekerasan banyak dijumpai di sekolah-sekolah yang memang berbasis militer, tapi sekarang nggak cuma siswa dari sekolah-sekolah itu saja yang melakukannya. Saat ini kasus kekerasan juga banyak dijumpai di sekolah negeri, swasta, bahkan pesantren! Ini jelas menandakan kalau kultur kekerasan ini rasanya sulit dipisahkan dari kehidupan para pelajar. Sekalipun kamu anak baik-baik, pasti kamu pernah menjadi saksi, entah mendengar atau sampai melihat kekerasan terjadi di lingkunganmu bersekolah. Dan kebanyakan dilakukan senior ke juniornya, menciptakan lingkaran balas dendam yang sulit diputuskan.
ADVERTISEMENTS
Sedih sih, sekolah yang harusnya jadi tempat belajar malah jadi tempat adu kekuatan. Di sini peran institusi pendidikan jelas dipertanyakan
Tujuan orang tua menyekolahkan anaknya pasti untuk tujuan baik. Yakin deh nggak ada orang tua yang rela membayar sekolah mahal-mahal cuma biar anaknya tawuran atau melakukan perundungan, apalagi adu gladiator macam SMA Budi Mulia. Ya semua orang tahu kalau sekolah itu tempatnya belajar, membentuk karakter positif, dan bersosialisasi. Tapi sekarang banyak pelajar yang membawa nama sekolah untuk saling adu kekuatan. Mereka justru bangga kalau sekolah mereka jadi yang paling ditakuti di antara sekolah setara lainnya.
ADVERTISEMENTS
Peran sekolah dalam masalah ini jelas penting. Bukan hanya pembimbing akademik, sekolah sudah sepatutnya membimbing pembentukan mental dan karakter generasi muda
Seperti yang kita tahu, sudah sejak lama sistem pendidikan Indonesia lebih fokus pada aspek akademik, daripada aspek pembentukan karakter. Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Ferdinand Hindiarto, mengatakan kalau maraknya tawuran pelajar juga dilatarbelakangi oleh minimnya kurikulum soal penanaman empati, rasa, dan pengolahan hati pada siswa. Padahal porsi tersebut penting untuk memupuk rasa saling menghormati, memahami, dan menyayangi.
Meski sudah ada pelajaran yang membahas empati, tapi itu hanya sebatas teori saja. Seharusnya siswa tak hanya dibekali pengetahuan, tapi juga praktik, misalnya menjenguk teman yang sakit bersama, melihat langsung kehidupan anak jalan, dan lain-lain. Dengan begitu empati akan otomatis tumbuh.
ADVERTISEMENTS
Belum lagi dari sisi anak-anaknya, mayoritas mereka melakukan tindak kekerasan karena tidak bisa mengatakan ‘tidak’ pada teman-temannya
Berdasarkan penelusuran polisi, motif diadakannya duel gladiator itu tak lain dan tak bukan agar pemenangnya bisa dapat pengakuan dari teman-teman sesama sekolahnya maupun pihak lawan! Ini sebenarnya ada hubungannya dengan sifat remaja yang memang masih dalam proses pencarian jati diri. Sedangkan menurut konselor dan terapis dari Biro Konsultasi Psikologi Westaria, Anggia Chrisanti, kekerasan yang melibatkan fisik pada diri anak-anak dan remaja diperparah dengan fakta soal minimnya asertivitas pada diri mereka.
Asertivitas sendiri adalah kemampuan untuk berkata ‘tidak’ pada sesuatu yang tak mereka sukai. Sebaliknya, mereka cenderung menerima apapun yang orang perlakukan padanya. Ini didorong oleh ketakutan mereka dijauhi teman.
ADVERTISEMENTS
Selain itu pengalaman atau latar belakang keluarga juga bisa memengaruhi. Biasanya pelaku kekerasan juga pernah merasakan hal yang sama
Kalau seseorang dilahirkan di tengah keluarga yang sering ‘main tangan’, kemungkinan orang tersebut melakukan hal serupa pada orang lain juga akan lebih besar. Begitu juga dengan anak-anak pelaku kekerasan di sekolah. Hal yang juga harus jadi perhatian adalah latar belakang keluarganya. Biasanya anak-anak ini pernah merasakan jadi korban kekerasan atau perundungan, entah di lingkungan keluarga atau tempat tinggal.
Dari fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya setiap anak punya potensi menjadi ‘liar’ karena kultur kekerasan yang masih sering terjadi di sekolah sekalipun. Tapi perilaku itu nggak akan tertanam jika keluarga sebagai lingkungan terdekat mampu mengajarkan sikap-sikap positif dan penuh kasih sayang pada anak.