Jogja memang istimewa. Orang-orang yang tinggal di dalamnya, besar menghirup udaranya, pernah menimba ilmu di sana sebagai mahasiswa, dan turis-turis yang mencari kesenangan untuk sehari atau dua pasti sepakat dengan saya.
Kota ini menawarkan hampir semuanya. Romantisme Malioboro dan perkampungan di sekitar Keraton, dinginnya hawa desa di sekitar Merapi, sampai detak budaya di setiap sudutnya.
Karena itulah, semua orang pergi ke Jogja. Tentu saja saat liburan, macetnya jadi mirip-mirip macet Ibukota.
Saya yang penduduk Jogja pun jadi punya semacam curhatan sederhana. Nggak muluk-muluk kok, yang ingin saya bilang ini saja.
ADVERTISEMENTS
Saya (kami) sebenarnya bangga tinggal di kota dengan banyak tujuan wisata. Di Jogja, semua ada dan suasananya pun berbeda
Wisata alam di Jogja nggak usah diragukan lagi deh. Mulai dari daerah Gunungkidul yang terkenal dengan pantainya, sampai Sleman, Bantul, dan Kulonprogo yang juga memiliki wisata alam yang tak kalah indahnya. Siapapun yang pernah merasakan naik kereta gantung di Pulau Timang, Gunungkidul ini pasti akan ketagihan dan ingin kembali lagi. Begitu juga bagi mereka yang pernah menikmati pemandangan dari rumah pohon di atas Kalibiru, Kulonprogo.
Sementara, Kota Yogyakarta sendiri adalah gudangnya wisata budaya. Di kota, wisatawan bisa masuk ke ‘mesin waktu’ berupa Keraton dan Taman Sari, bernostalgia tentang Indonesia zaman dulu kala. Di Jogja, kamu memang bisa menemukan apa saja.
ADVERTISEMENTS
Kami pun bangga, kala wisatawan luar bilang Jogja mempesona. Apalagi pas mereka bilang “Enak ya tinggal di Jogja…”
“Enak ya tinggal di Jogja? Di sini nyaman banget suasananya…”
“Masa’ tadi aku makan nasi pakai ayam, telur, sama sayur cuma 7000? Udah sama es tehnya, lagi!”
Kami pun juga senang kalau wisatawan melempar pujian. Sepakat sih, Jogja memang punya kenyamanan tersendiri. Makanya kami tinggal di sini. Dan nggak cuma memuji saja, mereka pun akan mengunggah foto-foto keren mereka di Jogja via Instagram atau Path-nya. Makin terkenal deh Jogja kami tercinta 🙂
ADVERTISEMENTS
Tapi yang namanya kota wisata, pasti ada risikonya. Tiap libur panjang, kenyamanan khas Jogja itu terancam hilang
Saat musim liburan tiba, kami harus bersiap berhadapan dengan hal yang selama ini jarang kami temui. Yaitu m-a-c-e-t. Libur Natal kemarin, saking m-a-c-e-t-nya saya butuh 2 jam (2 jam!) untuk berkendara dari Gereja Kotabaru ke Jalan Malioboro.
ADVERTISEMENTS
Suasana libur panjang sungguh berbeda dibanding suasana Jogja setiap harinya. Ini yang bikin penduduk Jogja jadi “agak gimana”
Orang asli Jogja sebenarnya terbiasa dengan yang namanya macet total. Kalaupun ada kemacetan, pasti karena pengerjaan proyek di jalan yang bersifat sementara. Kalau ramai pun, jalanan masih bisa dibilang lancar. Macet yang sampai level stuck dan ngga bisa jalan sama sekali jarang banget terdengar.
Orang Jogja juga sudah biasa dengan perjalanan yang singkat dan dekat ke mana-mana. Mau dari kost ke kampus, sejauh apapun 15 menit juga sudah sampai. Nah, kalau tiba-tiba harus pergi ke tempat yang jarak tempuhnya hanya memakan waktu 15 menit jadi 1 jam, wajar saja kami berubah senewen.
ADVERTISEMENTS
Saat liburan tiba, berbagai kendaraan dari luar kota masuk secara bersamaan ke Jogja. Jalan raya lebih terlihat seperti parkiran.
Nah saat musim liburan tiba, macet parah sampe yang nggak bisa jalan bisa terjadi di Jogja. Jalan utama udah nggak keliatan kayak jalan, tapi lebih mirip parkiran. Penyebabnya karena volume kendaraan yang masuk ke Jogja naik berkali-kali lipat. Penyebabnya apa lagi kalau bukan wisatawan yang datang dengan kendaraan pribadi? Padahal jalanan di Jogja itu termasuk kecil, bukan jalanan metropolitan yang besar-besar dan multiruas. Hasilnya bisa ditebak deh, kemacetan sudah bisa dipastikan terjadi di sejumlah ruas jalan utama.
Kalau sudah begini, penduduk asli pun harus mengalah untuk lebih memilih lewat di jalan tikus dan jalan alternatif. Selain uda hafal banget dengan jalan pintas, pastinya jalan alternatif ini masih bisa bebas dari macet.
ADVERTISEMENTS
Macet aja sih masih mending. Lebih bikin kesel kalau ada kendaraan yang ugal-ugalan.
Macet ternyata nggak cukup ngeselin. Masih ada yang lebih ngeselin kalau ada pengendara yang ugal-ugalan. Udah jelas rambu-rambu lalu lintasnya apa, tapi malah dilanggar. Terus kalau ditilang, marah-marah. Maunya apa cobaaaaa?! Kalau ugal-ugalan cuma bisa ngerugiin dirinya sendiri sih nggak papa. Tapi orang lain yang nggak salah apa-apa, bisa lebih dirugikan.
Jadi guys, pastikan kalau kalian berkendara di manapun, tetap tertib, ya. Kalau kata pepatah Jawa sih… alon-alon asal kelakon (pelan-pelan asal terwujud).
Dan banyak juga kendaraan yang nggak mau kasih jalan buat para pejalan kaki. Padahal banyak juga orang yang menikmati Jogja dengan cara berjalan kaki.
Penderitaan juga dirasakan oleh para pejalan kaki yang melintas di jalanan Jogja saat musim liburan tiba. Saking banyaknya volume kendaraan, mau nyeberang jalan aja susah. Padahal udah berdiri di tempat yang benar buat nyebrang, yakni zebra cross, tetep jarang ada yang mau ngasih jalan buat nyeberang. Nasib jadi pejalan kaki di Indonesia, selalu terdiskriminasi.
Bukannya melarang wisatawan datang. Tapi lain kali setiap berkunjung ke Jogja, naik kendaraan umum bisa jadi pilihan utama?
Memang sih, naik kendaraan sendiri itu super nyaman. Mau ke mana-mana, tinggal nyetir aja. Tapi kalau macet kayak gini, bukannya kita semua yang rugi? Wisatawan pun nggak bisa cepat sampai ke destinasi yang mereka tuju.
Kendaraan umum di Jogja memang nggak banyak tersedia. Tapi minimal di kota (alias pusat kemacetan), ada TransJogja dan bus berbagai jalur yang siap mengantarmu dari Selatan ke utara. Ada juga persewaan sepeda motor yang murah, mepet-mepetnya. Kalau kalian ingin ke Kalibiru atau pantai di Gunungkidul, bolehlah pakai mobil pribadi. Tapi kalau di kota, please, boleh ya pertimbangkan pakai kendaraan umum lain kali?
Selain pakai kendaraan umum, Mas dan Mbak yang berfoto di Tugu mungkin bisa lebih hati-hati. Jangan sampai aktivitas selfie-nya menghalangi
Tugu Pal Putih alias Tugu Jogja adalah ikon kota. Wajar dong akhirnya banyak wisatawan yang foto-foto di sana. Nggak cuma wisatawan, orang Jogjanya sendiri juga kok. Tentu foto-foto di depan Tugu sah-sah aja. Kalau kami berkunjung ke kota lain, kami pun akan melakukan hal yang sama: berfoto di depan ikon kotanya.
Tapi, foto-foto di sini tentu nggak boleh menghalangi pengendara jalan. Banyak yang foto-foto sampai ke badan jalan, padahal ada motor, mobil, dan bus yang mau lewat. Hehe. Buat siapapun — wisatawan atau orang Jogja asli — yang mau foto-foto depan Tugu, boleh kali fotonya tertib dikit 😀 Kalau memang nggak mau menghalangi jalan, mungkin kamu bisa datang ke depan Tugu dini hari aja. Jam 4 atau jam 4.30 pagi, misalnya. Pasti deh, jalanan sepi! 🙂
Kalau liburan datang, kami yang asli Jogja lebih memilih tinggal di rumah aja selama ini. Kapan ya gak harus begini lagi?
Keriuhan Jogja saat masa liburan tiba pun membuat kita yang asli Jogja memilih tinggal di rumah saja. Karena hanya di rumah, kita nggak bakal menemukan kemacetan dan pekikan suara klakson kendaraan. Di rumah juga kita bisa mendapatkan suasana yang adem dan ayem, nggak perlu kepanasan karena terjebak macet. Ah, kapan ya liburan panjang gak selalu berarti harus mengurung diri di rumah lagi?
Semoga curhat ini jadi titik awal perubahan. Kami penduduk Jogja ingin berbagi kenyamanan, bukan kemacetan
Sebagai penduduk Jogja — kota yang konon berhati nyaman — saya ingin berbagi kenyamanan dengan para wisatawan yang datang. Sayang sekali selama ini saya hanya bisa berbagi kemacetan. Yah, semoga curhatan kecil ini bisa jadi titik awal perubahan sih. Wis tho, kalau ke Jogja lain kali, naik kendaraan umum aja ya 🙂 Atau kalau punya teman yang orang Jogja, bisa banget tuh numpang nebeng motor atau mobilnya. Nggak usah sungkan, kami ramah-ramah kok! 😀
Tertanda,
seorang penduduk Jogja yang bosan di rumah mulu pas libur panjang.