Di dunia ini, ada banyak prosesi pemakaman yang biasa dilakukan manusia. Biasanya proses pemakaman ini dilakukan berdasarkan kepercayaan agama atau adat istiadat setempat. Bagi orang Islam, pemakaman dilakukan dengan cara dikubur setelah sebelumnya dibalut dengan kain kafan putih. Lain halnya dengan masyarakat Toraja yang mengikuti nenek moyang mereka dengan menyimpan jenazah keluarga di goa yang terletak di tebing-tebing. Atau orang Tionghoa dan Hindu yang memilih mengkremasi jasad mereka lalu abunya disimpan atau dihanyutkan.
Nah, di Amerika Serikat, ada sekelompok ilmuwan yang memilih menciptakan metode pemakaman baru yang klaimnya lebih ramah lingkungan. Jasad manusia yang telah meninggal dunia akan diubah menjadi tanah lewat serangkaian proses biodegradasi. Selain lebih eco-friendly, metode ini disebut bisa jadi solusi mengatasi lahan pemakaman yang makin menipis. Pusat daur ulang tubuh manusia ini rencananya akan dibuka tahun 2021 mendatang.
ADVERTISEMENTS
Recompose –perusahaan yang mulanya fokus pada pengurusan jenazah alias rumah duka, akan mengembangkan bisnisnya dengan menyediakan proses pemakaman yang lebih ramah lingkungan: mengubah jasad manusia menjadi tanah
Perusahaan asal Seattle Amerika Serikat, Recompose, akan segera membuka jasa mengubah jasad manusia menjadi tanah lewat serangkaian proses biodegradasi. Proses ini katanya akan memakan waktu 30 hari. Mereka mengklaim kalau cara ini akan lebih hemat energi karena hanya akan menggunakan satu per delapan energi yang digunakan untuk kremasi sehingga lebih ramah lingkungan. Jenazah yang diubah jadi tanah juga nggak membutuhkan lahan pemakaman seperti halnya pemakaman tradisional, sehingga akan menghemat lahan.
ADVERTISEMENTS
Apa yang dilakukan Recompose ini sebenarnya mirip-mirip dengan metode “pemakaman hijau”, di mana jenazah dimakamkan di hutan untuk mempercepat proses dekomposisinya
Sebenarnya, tubuh manusia yang telah meninggal akan melalui proses pembusukan dan penguraian secara alami di dalam tanah. Tapi katanya tetap bakal ada bagian tubuh yang nggak bisa terurai. Belum lagi peti mati atau kain kafan yang ikut dikubur juga, akan tetap tinggal di dalam tanah, menyisakan sampah yang mungkin saja membahayakan ekosistem.
Nah, sebetulnya metode yang dipakai Recompose ini didasarkan pada metode “pemakaman hijau”. Dalam metode ini jenazah akan dimakamkan di hutan untuk mempercepat proses pembusukannya. Bedanya kalau di Recompose, jenazah akan ditempatkan di peti mati yang diisi serpihan kayu, tumbuhan, dan jerami. Suhu di dalam peti juga akan diatur, sementara lingkungan di luarnya diangin-anginkan, sehingga memungkinkan bakteri tumbuh secara alami dan mendekomposisi jenazah, mengubahnya jadi tanah kompos.
ADVERTISEMENTS
Saat sudah berubah menjadi tanah, jenazah akan dikembalikan ke keluarga. Mirip dengan proses kremasi, di mana abu jenazah juga akan kembali pada keluarga masing-masing
Setelah sekitar 4 hingga 7 minggu, jenazah akan berubah wujud menjadi tanah yang kemudian akan dikembalikan ke pihak keluarga. Mirip seperti proses kremasi, saat jenazah telah menjadi abu, abunya juga akan dikembalikan ke keluarga masing-masing. Bedanya, proses dekomposisi jenazah tidak menggunakan api yang dapat menghasilkan emisi berbahaya, serta bebas dari zat kimia dari fase pembalseman, yang mana zat tersebut bisa larut ke dalam tanah dan mencemari air tanah.
Sekilas proses ini terdengar brilian. Selain lebih ramah lingkungan, di sisi lain proses ini bisa meyakinkan orang bahwa ketika telah meninggal pun, mereka masih bisa membawa dampak baik bagi bumi. Apalagi jika pihak keluarga memutuskan memakai tanah hasil dekomposisi itu untuk menanam pohon, lalu pohon tersebut berbuah dan bisa bermanfaat bagi banyak orang di masa depan.
Tapi perusahaan Recompose ini masih melalui proses perizinan yang lumayan rumit. Hingga kini baru negara bagian Washington saja yang memberi ‘lampu hijau’. Nantinya izin dari legislator akan berupa undang-undang terbaru yang memungkinkan rumah-rumah duka mengubah jenazah menjadi tanah. Kira-kira metode ini bisa diterapkan di Indonesia nggak ya?